Thursday, October 2, 2008

Pendidikan

Departemen Pendidikan Nasional optimistis anggaran pendidikan yang naik secara signifikan pada 2009, tidak akan mengalami kebocoran angggaran. Sebaliknya, anggaran yang nilainya Rp224 triliun atau 20% dari RAPBN 2009, benar-benar akan digunakan untuk pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, dan kesejahteraan guru. Benarkah ? Ini hanyalah jargon politik dari Pemerintah yang pro pasar bebas. Kenaikan pada APBN hanyalah sekedar mengikuti yuridis formal anggaran yang ditetapkan oleh UUD. Kenaikan anggaran tersebut tidak menambah mata anggaran sesuai program kerja tapi mengalihkan ( tadinya terpisah dalam pos anggaran ) gaji PNS guru dan Dosen kemata anggaran pendidikan.

Tidak akan ada perubahan significant terhadap arah pendidikan nasional yang egaliter selagi UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan UU BHP tidak di revisi. Memang semangat UU tersebut segabai reform system pendidikan yang lama. Karena pada 2003 bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP

Walau falsafah UU itu terkesan ideal namun dalam penjabaran pasalnya tetap saja menegaskan tentang privatisasi pendidikan. Artinya peran negara sekecil mungkin terlibat dalam pendidikan, Lembaga pendidikan menjadi lembaga otonom sebagai bentuk Badan Hukum Pendidikan. Maka yang sangat terasa semakin jauhnya egaliter pendidikan bagi kelompok miskin. Tidak ada lagi perbedaan PTN dan PTS. Semua berbicara tentang otonomi kampus untuk mengelola PT tapi sebetulnya mengurangi tanggung jawab negara dalam penyediaan anggaran pendidikan dan menyerahkan masalah itu kepada public.

Dari perspektif ini maka jelaslah akan sikap pemerintah yang tidak mempunyai visi untuk terbentuknya suatu system pendidikan bagi kepentinngan pembangunan nasional. Padahal tanggung jawab negara sudah jelas diatur dalam Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", dan Pasal 31 Ayat 2 yang berbunyi "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Artinya pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang. Ini berarti, pemerintah memiliki kewajiban penuh memikul seluruh beban biaya pendidikan.

Privatisasi pendidikan awalnya dikampanyekan oleh OECD pada satu konferensi international ditahun 1970. Ketika itu
OECD dalam papernya menggugat konsep egaliter pendidikan yang saat itu lebih dipahami hanya suatu pemberian hak yang sama bagi seluruh warga akan pendidikan. Peran pendidikan sebagai promotor perubahan sosial mulai dikritisi mengingat kenyataan, tidak mungkin mengubah masyarakat hanya lewat pendidikan. OECD mengkaitkan pendidikan dengan sector lain yang membutuhkan SDM bagi pertumbuhan ekonomi. Artinya ,saat itulah OECD berusaha merubah mindset dunia bahwa pendidikan adalah output untuk memenuhi lapangan kerja bagi kegiatan ekonomi.

Kemudian berlanjut dengan ditempatkannya pendidikan dalam kesepakatan WTO dan Indonesia di tahun 1995 meratifikasi semua ketentuan dalam WTO sebagaimana UU No, 7 tahun 1994. Maka jadilah pendidikan sebagai satu komoditi yang berbicara soal untung dan rugi. Ini semua tertuang dengan jelas dalam General Agreement on Trade in Services (GATS). dimana intervensi pemerintah dalam sector jasa pendidikan harus dihilangkan. Apabila system pendidikan sudah menjadi suatu lembaga Laba maka semua pengeluaran pendiddikan dilihat dari cost atau disebut dengan beban dari modal yang dikeluarkan. Karena itu sesuai dengan prinsip ekonomi, semua biaya harus dipangkas atau sedapat mungkin ditekan dan sekaligus meningkatkan penjualan (jasa) agar laba (modal )meningkat.

Inilah harga dari tunduknya negara pada kekuatan The Unholy Trinity (IMF,
Bank Dunia, dan WTO), di bawah tekanan ekspansi globalisasi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara. Maka tidak ada lagi hakikat pendidikan sebagai pemberdayaan manusia ke taraf insani melalui proses pendidikan meliputi transfer ilmu dan pengetahuan (transfer of science and knowledge), pembinaan moral dan pengembangan potensi pribadi (peserta didik), untuk tercapainya kemandirian (menempati harkat sebagai manusia yang sesungguhnya). Akankah pemerintah menyadari bahwa visi pendidikan adalah pembangunan karakter (character building) untuk unggul dalam persaingan global, bukannya mengikuti OECD dan WTO yang hanya melihat visi pendidikan sebagai intelektualitas dan komoditas saja. Kalau sudah begitu , anak nelayan ,etani, buruh miskin tidak bisa berharap banyak untuk mendapatkan fasilitas pendidikan terbaik karena mereka bukan “ komsumen “ dalam pengertian itu.

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...