Anda mungkin hanya tahu uang itu adalah yang ada ditangan anda berupa lembaran dan yang ada di bank dalam bentuk rekening tabungan. Itu ada benarnya. Namun uang dalam dimensi moneter dapat dipahami sebagai M0, yang merupakan ukuran terkecil dan paling likuid. M1 dalam arti uang lebih luas dari M0 dan M2 uang dalam arti luas daripada M1. Gabungan M0, M1 dan M2 itu disebut juga uang beredar. Karena uang tidak lagi dijamin emas, tetapi oleh neraca moneter, maka kurs dan jumlah uang beredar dipengaruhi oleh neraca moneter.
***
Kita perhatikan kurs Rupiah turun naik atau terjadi volatilitas. Itu bukan gamebling. Engga perlu ruwet amat lewat Analisa yang canggih untuk tahu jawabannya dan penyebabnya. Karena itu memang mekanisme pasar yang mudah diketahui sebagaimana hukum demand and supply. Saya akan beri gambaran sederhana soal pasar uang ini.
Pergerakan kurs rupiah terhadap valas, itu dipengaruhi oleh pasar dan pasar melihat dari indicator neraca PII. Misal pada semester pertama 2024. Aset financial Luar negeri ( sudah termasuk Cadev) sebesar 491,5 miliar dolar AS. Sementara kewajiban financial Luar negeri sebesar 738,7 miliar dolar AS. Maka selisihnya kewajiban sebesar USD 247 miliar.
Mari pahami neraca PII itu. Karena kewajiban financial luar negeri jauh lebih besar dari asset financial luar negeri. Artinya uang Rupiah di kantong anda itu, 100% jaminan valas nya berupa utang ( pasar). Dengan demikian maka volatilitas Rupiah dipengaruhi oleh keluar/masuknya modal asing ( uang). Kalau lebih besar keluar, rupiah akan melemah. Kalau lebih besar masuk, rupiah akan menguat.
Jadi BI sebagai otoritas moneter harus menjaga jangan sampai terjadi capital outflow netto. Kalau ada yang keluar, harus diupayakan ada yang masuk. Ya cash flow harus dikelola. Caranya? Ya BI gunakan instrument SRBi (Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia). SBRI ini instrument structure dari SBN yang ada pada BI. Lewat mekanisme lelang (bid/ask) SBRI di tawarkan kepada investor. Tentu bunga harus lebih tinggi dari bunga negara lain, misal the fed-rate. Spread atau jarak bunga dengan negara lain dikelola.
Berapa rate lelang SRBI, tergantung pasar. Tidak sepenuhnya bergantung kepada BI-Rate. Misal, walau BI- rate 6% namun bunga SRBI diatas 7%. Pasar yang berkuasa. BI harus patuh. Kalau engga, lelang SRBi tidak diserap pasar. Maka seketika kurs rupiah melemah. Sekali melemah dalam kondisi BI gagal dalam lelang SRBI, itu dampaknya sangat significant menjatuhkan kurs rupiah. Makanya BI selalu hadir di pasar. Jagain terus biar Rupiah engga tumbang.
Bagi pemain forex kakap, lelang SRBI ini sangat diperhatikan untuk pasang posisi. Mereka tidak terkecoh dengan Analisa pasar yang bias. Apalagi retorika pejabat yang menjanjikan kurs rupiah akan dibuat Rp 5000/1USD. Mereka focus kepada data. Lagian data pergerakan demand and supply SBRI ini bisa dimonitor setiap waktu. Jadi tahu pergerakannya. Juga laporan PII dibuat BI setiap kwartal. Mereka jadikan itu dasar Analisa. Engga sulit dapat cuan dari pasar uang.
Siapa yang menanggung biaya intervensi BI itu? Kan bunga harus dibayar. Apalagi SRBI kan tenornya dibawah 1 tahun tergolong hot money. Ya, yang menanggung adalah negara Indonesia. Siapa yang menikmati ? ya orang kaya. Mengapa negara mau saja berkorban demi jaga kurs? Karena pelemahan kurs berkorelasi langsung dengan index pasar modal dan inflasi.
Kebayang engga. Hampir semua LQ 45 itu saham gorengan yang udah bubble. Kalau terjadi goncangan kurs, akan sangat mudah index bursa terjun bebas. Dampaknya sistemik. Yang korban bukan hanya orang kaya sebagai pemegang saham mendadak asset nya susut, tetapi dana pension, asuransi akan susut asset nya, NPL bank akan meningkat dan tentu PDB kita juga menyusut.
So, apa kesimpulannya? Selagi PII kita negative karena mechanism pasar bebas, maka selama itu juga volatilitas rupiah terjadi dan selama itu juga orang kaya ogah invest di pabrik yang menyerap Angkatan kerja luas. Lebih baik menikmati bunga tinggi. Dan kalaupun ada investasi langsung, orang kaya hanya tertarik dapatkan fasiltas bisnis rente. Misal bisnis minerba atau non tradable. Lewat skema off take market dan inkind loan via trader di Singapore atau HK, Resiko kecil dengan investasi minim, tapi cuan besar. Nah cuan itu mereka gunakan lagi goyang SBRI lewat capital flow (in/out).
Volatilitas kurs terjadi, mesin uang terus bekerja datangkan laba. Tapi tidak ada industri terbangun luas. Yang terjadi justru deindustrialisasi dan index PMI kontraksi. Bahkan perbankan juga ogah biayai sektor real. DPK mereka ditanamkan ke SBN juga. Nikmati spread bunga SBN dan tabungan. Apalagi BI sediakan kanal likuiditas lewat fasiltas REPO. Nah, itu akan berhenti setelah likuidits mengering dan pemerintah surrender. Karena udah engga kuat bayarin ongkos operasi moneter. Yang ujungnya memaksa uang dicetak, dan tissue toilet lebih berharga daripada uang.
No comments:
Post a Comment