Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengamanatkan agar tidak lagi melakukan ekspor bahan mentah. Kemudian oleh pemerintah, UU ini diterjemahkan dalam stategi hilirisasi mineral. Pemerintah mewajibkan pengolahan sumber-sumber mineral sehingga bisa memberikan nilai tambah.
Saya yakin kajian akademis dari UU ini tidak sempurna. Karena tidak ada pasal dalam UU mengatur peran negara menjaga sumber daya kritiis dari segi ekonomi. Seharusnya secara akademis dan yuridis atas dasar UUD 45 pasal 33, larangan ekspor mentah itu memaksa pemerintah membuat desig industry mineral tambang yang terdiri dari Upstream, midstream dan downstream. Saya coba jelaskan secara sederhana tiga hal itu.
Upstream itu mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi. Dalam hal nikel, ia dalam bentuk konsentrat. Di negara maju dan berkembang, upstream industry ini di kelola langsung oleh negara lewat BUMN. Mengapa? Karena upstream industry itu padat modal dan tekhnologi, tentu sangat sensitive terhadap lingkungan. Tanpa insentif dari negara engga mungkin efisien dan tidak mungkin lingkungan bisa terjaga dengan baik.
Midstream adalah industry antara. Yang mengolah bahan setengah jadi menjadi barang jadi, seperti nikel pig iron, nikel matte, dan mixed hydroxide precipitate.. Tekhnologinya menggunakan Rotary Kiln-Electric Furnace (RKAF), High Pressure Acid Leaching (HPAL). Midstream ini diserahkan kepada swasta PMA/PMDN. Tentu tidak sulit mendatangkan investor dan tentu tidak juga sulit dapatkan dukungan perbankan. Karena adanya jaminan bahan baku dari upstream industry milik negara.
Downstream adalah industry turunan atau hilir. Dalam hal nikel adalah produk seperti baja tahan karat, baterai, bagian dari produk otomatif, produk elektronik, peralatan dapur, material building, produk alat militer dan dirgantara. Downtream ini sangat luas dan jangkauan industrinya bisa kelas UKM sampai kelas besar. Selagi ada jaminan pasokan bahan dari industry midstream, tidak sulit dapatkan dana untuk membangun nya dan tentu akan banyak investor terlibat. Apalagi pasar untuk produk dari bahan mineral kritis permintaan sangat tinggi dan sustain.
Demikian penjelasan saya berkaitan dengan design industry mineral tambang yang seharusnya dilakukan negara. Bahwa tiga industry itu berada masing masing dalam cluster tersendiri. Diatur dengan ketat agar tidak terjadi monopoli dari hulu ke hilir. Dan adanya DMO yang ketat sesuai quota agar lebih utamakan industry domestic.
Kita ambil contoh China mengatur dengan ketat produksi mineral tambang logam tanah jarang (RRE). Dari kebijakan itu terjadi relokasi downstream industry dari negara maju seperti Eropa, Jepang, AS, Korea ke China. FDI meningkat pesat. Itupun diatur soal size industry dan kewajiiban bermitra dalam hal supply chain dengan local terutama UKM.
Akibatnya rakyat disekitar tambang sejahtera karena eksploitasi tambang terbatas ( tidak over exploiting ) dan memberikan manfaat besar bagi ekonomi masyarakat. Industri dalam negeri tumbuh pesat menampung Angkatan kerja. ECI index meningkat karena beragamnya produk downstream yang dihasilkan. Karena memang orientasi dari SDA adalah nilai tambah semaksimal mungkin.
Apa yang terjadi selama ini dengan kebijakan pemerintah Indonesia terhadap hilirisasi mineral tambang ? yang terjadi adalah upstream dan midstream dikuasai asing. Insentif yang menikmati ya asing. Ya tentulah asing mengutamakan jaminan supply chain untuk industri downstream di negara nya. Pemerintah happy saja karena mendatangkan devisa dari ekspor. Nyatanya nilai tambah tidak significant. Dan DHE pun tidak sepenuhnya masuk ke Indonesia karena alasan skema investasi.
Makanya industry downstream nikel dalam negeri kita tidak berkembang. Kalaupun ada sangat terbatas, sepert baterai itupun asing yang kelola dengan alasan efisiensi logistic, mendekati supply chain bahan baku. Sementara sumber daya nikel terus berkurang, polusi dari smelter terus memburuk, lingkungan rusak. Rakyat disekitar tambang tidak sejahtera.
Apa penyebabnya ? Pemerintah tidak paham bagaimana mengelola sumber daya kritis seperti nikel dan lainnya. Makanya tidak ada design terstruktur yang bisa menjamin kepentingan domestic terutama kemajuan industry downstream yang terjangkau bagi semua. Itu bisa dilihat dari rancu nya kebijakan dan pengawasan. Antara Menteri BKPM, ESDM dan Perindustrian, masing masing menafsirkan UU dengan kebijakan yang berbeda. Bikin bingung pelaku usaha dan akhirnya semua jadi kacau dan disorientasi. Moral hazard terjadi meluas dari sejak penambangan sampai kepada ekspor illegal konsentrat.
Kesimpulannya, kalaulah design hilirisasi itu atas dasar konsep akademis yang sudah teruji secara international, kita sudah lama jadi negara indusri berbasis sumber daya mineral. Kita bisa bangga karena itu. Tapi kini kita hanya bangga jadi pemasok nikel kepada negara maju dan pada waktu bersamaan kita jadi konsumen dari produk downstream. Sampai panci dan peralatan dapur stainless aja impor dari China. Apalagi produk downstream lainnya seperti EV dan peralatan elektronika.
No comments:
Post a Comment