Friday, May 24, 2024

Gen Z yang malang



Di cafe yang ada di mall mewah di Jakarta dan kota besar di Indonesia, yang kita lihat adalah anak muda yang doyan nongkrong berlama lama. Mereka sibuk dengan Hape atau komputernya. Mereka termasuk generasi Z yang lahir tahun 1997. Keliatan mereka hidup dengan gaya lesehan. Para pengamat mengatakan “Itulah kehebatan Gen Z. Mereka tidak mau kerja formal dan mereka hidup nyaman dengan tanpa kerja. Sumber pendapatan lewat teknologi digital memungkin mereka cari uang mudah”  Opini ini meyakinkan bahwa Indonesia punya bonus demografi, yaitu banyaknya kaum muda yang produktif. Jelas opini yang bias.


Padahal itu gaya hidup yang tidak terstruktur. Tepatnya tidak peduli dengan masa depan, yang ditelan oleh semakin kerasnya kompetisi. Mudah jadi korban tawaran too good to be  true seperti investasi bodong. Jumlah Gen Z yang doyan nongkrong di Cafe itu bukanlah cermin dari keseluruhan Gen Z. Mungkin itu hanya mewakili segelintir Gen Z. Jumlah jauh lebih banyak di luar itu.  Menurut data BPS (2021-2022) jumlah mencapai 9.896.019 orang pada Agustus 2023. Mereka diistilahkan, NEET atau not in employment, education, and training/NEET alias do nothing. 


Para ahli dan pengamat mengatakan bahwa itu akibat kesalahan menentukan jurusan sekolah lanjutan. Karena sebagian besar mereka tamatan SMK, yang skill nya tidak sepenuhnya diperlukan oleh pasar tenaga kerja. Itu opini menyesatkan dan tidak menjawab akar masalah secara holistik. Faktanya adalah penyerapan angkatan kerja yang rendah. Itu karena struktur bangun ekonomi di Indonesia didominasi oleh sektor non tradable atau sektor yang rendah penyerapan angkatan kerjanya seperti sektor pertanian, pertambangan dan properti. Semua karena rente. Jadi walau pertumbuhan ekonomi kita positif namun tidak berkualitas.


Jumlah Gen Z ini tidak datang begitu saja. Mayoritas mereka lahir dari keluarga kelas menengah dan bawah, yang secara sistem juga terjebak dengan fixed income yang terpenggal akibat inflasi sembako dan jasa. Secara perlahan dari tahun ke tahun harga harga sembako terus naik dan jasa seperti telp, listri,  air, transportasi, pendidikan juga ikutan naik. Kenaikan harga dan jasa itu lebih cepat daripada peningkatan pendapatan. Makanya mereka semakin tahun bukanya bertambah makmur malah justru semakin miskin. Dan itu tentu berdampak kepada anak mereka, yang tidak punya sumber daya untuk mendapatkan income dari kerja atau wirausaha.




Kita bisa melihat indikator tersebut dari data tabungan. Kelas bawah dan menengah tabungannya turun  Sepertinya dari data index ini kelas bawah dan menengah hidup dari makan tabungan. Itu dampak dari kenaikan harga harga. Beda dengan kelas Atas yang justru naik  Itu sebabnya dana murah perbankan dari tabungan merosot. Likuiditas kering. Sementara kelas atas, mereka bargain minta suku bunga yang tinggi. Atau mereka pindah ke instrument lain. Ini jelas membuat kelas bawah jatuh miskin, kelas menengah yang jumlah populasinya mencapai 140 juta jatuh ke kelas bawah. Yang atas semakin kaya.


Pola konsumsi kelas menengah yang semakin tertekan pengeluaran kebutuhan pokok, memperlihatkan tren defensif yang dapat dibaca sebagai pelemahan daya beli masyarakat RI menilik jumlahnya yang mayoritas dan sumbanga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ini tentu berdampak kepada melemahnya daya beli kebutuhan sekunder. Orang lebih utamakan makan daripada beli pakaian dan lainnya. Pendapatan dunia usaha yang bergantung pasar domestik akan drop. Akan berimbas pada pendapatan negara dari lini pajak, terutama karena sumbangan kelas menengah terhadap pendapatan pajak yang cukup besar. . Pada gilirannya Tax ratio turun, tentu mengurangi daya APBN melakukan stimulus.


Kalau pemerintah berniat baik dan bekerja berdasarkan data, seharusnya pembangunan itu berorientasi kepada pengembangan sektor real yang tradable. Singkatnya, udahan dech onani pertumbuhan PDB lewat subsidi langsung maupun tidak langsung. Itu jahat banget mindset nya. Toxin peradaban. Coba dech focus  lewat insentif pada sektor real yang tradable agar angkatan kerja terserap dan upah meningkat. Seperti halnya, tataniaga diperbaiki sehingga rente tidak ada lagi. Anggaran riset diperbesar agar industri kreatif tumbuh. Sistem pendidikan diperbaiki  agar newcomer entrepreneur tumbuh.  Walau tidak sepenuhnya bisa menghapus korupsi, setidaknya coba dech peluang KKN dipersempit. Ya, perkuat KPK, MA. Polri, Jaksa agung. Bantai mafia peradilan dan makelar kasus.


Selama 7 presiden, sektor real malah dijerat dengan tata niaga yang penuh rente. Akibat nya di era Jokowi, sektor industri kreatif yang tradable justru drop atau terjadi proses deindustrialisasi. Moga Prabowo bisa memperbaiki dan mengubahnya. Bukankah mayoritas pemilih Prabowo adalah GenZ. Selamatkan mereka pak. Kalau tidak, berapapun subsidi tidak akan bisa menahan gejolak amarah orang yang bokek dan frustrasi..Maka yang terjadi, terjadilah..

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...