.
Tahun 1996 saya berkunjung ke Wuhan. Saya bertemu dengan sahabat saya yang juga pejabat pemerintah. Saya mengenalnya dulu di Belanda. Waktu dia sedang menyelesaikan S3 bidang lingkungan hidup. Saya sempat bertanya. Mengapa pemerintah melarang koperasi mendapatkan pinjaman dari bank. Melarang Koperasi membentuk bank sendiri. Sementara dunia usaha lain boleh. Jawabannya tidak pernah saya lupa. Saya catat dalam diary saya.
“ Cinta pemerintah kepada rakyat itu sangat besar. Kalau pemerintah terkesan diskriminasi, itu karena keberpihakan politik kepada gerakan koperasi. Kalau mereka dibantu dan dimanjakan, sampai mati mereka tidak akan pernah dewasa. Yang rugi adalah China. Padahal mereka adalah harapan masa depan China untuk melalui lompatan jauh kedepan. “
“ Lantas apa yang pemerintah berikan kepada gerakan koperasi ?
“ Kebebasan. Mereka bisa berkembang sebesar apapun dan pada bidang apapun. Tidak ada lagi pengaturan seperti era bapak Mao. “
“ Lantas apa yang sebenarnya yang hendak dituju pemerintah dari gerakan koperasi ?
“ Semangat kebersamaan.”
Apa yang terjadi kemudian? tahun 2006, gerakan koperasi telah berhasil membuat bank sendiri, Minsheng Bank. Bank itu atas nama PT, bukan koperasi. Hebatnya, walau bank itu bukan atas nama gerakan koperasi namun beroperasi hanya untuk kepentingan gerakan koperasi. Sistemnya adalah kemitraan luas. Lantas mengapa Minsheng bank tidak jadi pengendali gerakan koperasi ? Oh itu karena gerakan koperasi tidak hidup dari bank. Hidup bank justru bergantung kepada gerakan koperasi. Apa pasal? karena tingkat produktifitas koperasi sangat luar biasa. Itulah buah dari kebersamaan.
Kemudian pemerintah, melarang Minsheng jadi bank devisa. Mengapa? agar koperasi tidak jadi agent asing. Tujannya? agar program kemandirian China terlaksana tanpa restriksi kompetisi asing. Dampak dari kebijakan ini adalah mengundang JP Morgan menjadi mitra penjamin likuiditas dollar untuk belanja impor koperasi. Dengan demikian gerakan koperasi yang massive itu tidak mengorbankan devisa China. Mereka bertransaksi ke luar negeri tetap dengan Yuan. Keren ya.
Tahun 2010 saya bertemu lagi dengan sahabat saya yang di Wuhan itu. Kami bertemu di Guangzho. Ada kawasan bisnis kami lewati dalam perjalanan ke Guangzie. “ B, kamu liat itu kawasan bisnis. “Katanya menunjuk kawasan bisnis dan industri.
“ Ya. “
“ Itu dibangun oleh gerakan koperasi. Mereka butuh waktu 4 tahun bangun. Engga mudah menjelmakan impian jadi kenyataan. Dan kini mereka bisa jadi tuan diatas kawasan bisnis bagi para konglomerat”
“ Mengapa tidak pemerintah yang bangun.”
“ Bisa saja pemerintah bangun. Setahun jadi. Tetapi tujuan spirit kebersamaan tidak tercapai. Padahal esensinya pembangunan peradaban itu bukan karena modal tetapi karena semangat kebersamaan. Kalau membangun berlandaskan kepada modal, maka itu sama saja kita mengekalkan feodalisme yang menggunakan kapitalisme untuk menjajah yang lemah.” Katanya.
Sangat sederhana cara China berpikir.
‘ Darimana kalian belajar itu ?kata saya.
“ Kami belajar dari Budha. Misal, kalau membangun tempat ibadah. Walau banyak pemeluk Budha yang kaya dan sanggup membiayai semua. Namun sikap rendah hati Budha lebih suka mengumpulkan uang receh dari setiap orang yang peduli. Yang hendak dicapai bukan bangunan megah. Bukan cepat selesai. Tetapi spirit kebersamaan atas dasar cinta. Cinta itulah yang jadi sumber energi yang mempersatukan rakyat, saling berbagi, peduli tanpa mementingkan diri sendiri. Jadi Proyek tempat ibadah hanya metodelogi melahirkan inspirasi kesalehan sosial ekonomi secara kolektif.”
Yang jadi masalah di indonesia adalah agama tidak melahirkan spirit kebersamaan atas dasar cinta. Yang ada justru saling menciptakan jarak karena perbedaan. Proyek agama selalu yang diburu adalah orang kaya agar proyek selesai dibangun. Tujuannya tak lebih karena politik dan kebanggaan personal. Akibatnya nilai proyek keagamaan tidak melahirkan kebersamaan. Yang kaya dan miskin tetap berjarak. Otomatis pembangunan peradaban dalam bidang ekonomi tetap terbelakang dan hidup dalam keluh kesah berharap subsidi dari negara. Sampai mati tetap jadi beban negara. Penyakit peradaban melahirkan mental pecundang.
Paham ya sayang
No comments:
Post a Comment