Dalam teori ekonomi ada prinsip sederhana. Bahwa pertumbuhan ekonomi itu terjadi karena investasi. Dari investasi, mesin ekonomi bergerak melahirkan kemakmuran dalam bentuk penyerapan angkatan kerja dan pajak. Sumber investasi itu berasal dari tabungan domestik dan investasi asing. Kalau tabungan domestik berkurang, maka diperlukan hutang dan investasi asing. Dengan teori sederhana itu, maka kasus kegagalan Soeharto yang tergantung modal asing menjadi acuan untuk mematahkan teori pertumbuhan perlu modal asing. Atas dasar itulah muncul pendapat bahwa modal asing bukan obat mujarab untuk terjadinya pertumbuhan ekonomi.
Sebelum saya sampai kepada pendapat peribadi saya. Sebaiknya saya gambarkan secara sederhana kebijakan ekonomi era Soeharto. Arsitek ekonomi orde baru adalah Soemitro Djoyohadikusumo. Indonesia membutuhkan modal asing agar bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kalau hanya mengandalkan cash in berupa surplus penerimaan negara dari pajak dan bagi hasil tambang, indonesia akan tertinggal. Karenanya Soemitro minta agar negara Barat dan Amerika berada digaris depan memberikan bantuan pinjaman kepada indonesia seperti program The Marshall Plan yang dikenal dengan istilah the European Recovery Program (ERP) paska perang dunia kedua. Untuk itu negara harus lead memacu pertumbuhan. Rakyat hanya sebagai pelengkap saja.
Sebetulnya konsep pembangunan orde baru itu berangkat dari teori ekonom besar bernama W.W.Rostow. Anda bisa baca buku yang ditulisnya yang berjudul “The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto” Wajar saja bila ekonom orde baru ngefan habis dengan Rostow. Belakangan Rostow menjadi mentor para Tekhnorat ekonomi indonesia yang sebagian besar alumni Berkeley University. Teori Rostow itu dasarnya adalah konsep ekonomi dari Albert Hirschman (1915-2012), yang menegaskan pertumbuhan ekonomi lewat hutang dan investasi bisa menjadi lokomotif penyebaran kemakmuran secara luas.
Namun saya pribadi tidak percaya dengan teori Rostow dan Albert Hirschman. Mengapa? terlalu utopia. Berkeyakinan negara adalah Tuhan di dunia sama seperti konsep khilafah. Ia pemilik SDA, sekaligus menjadi penyedia dana dan investasi sebagai lokotomotif menghela gerbong besar. Bahwa para politisi dan pemimpin adalah malaikat yang menjadi tumpuan bagi rakyat untuk kemakmuran. Itu sebabnya konsep Albert Hirschman itu melahirkan satire dari Will Rogers, komedian AS—kemudian dikenal dengan istilah “ trickle down effect “. Satire itu sebetulnya ditujukan atas kebijakan AS pada dekade 1920an dalam mengatasi dampak dari the great depression. Bahwa uang berasal dari atas dan kemudian mengalir kepada pihak yang butuh ( Politisi dan pemimpin). KKN tak bisa dihindari. Itulah yang terjadi era Soeharto.
Tahun 2003 Rostow meninggal. Design dan konsep pembangunan ekonomi Indonesia juga terkubur sudah. Era Reformasi, lahirlah Financial Governance and Social Security Reform ( FGSSR). Dari sini UUD 45 diamandemen. Memisahkan perekonomian nasional dengan kesejahteraan sosial. Artinya, masalah ekonomi nasional yaitu modal dan investasi ada pada publik atau individu. Sementara masalah kesejahteraan sosial adalah tugas negara. Dari mana uang untuk keadilan sosial itu ? Ya, dari pajak. Dari mana pajak ? dari publik. Kini 85% penerimaan negara dari pajak. Dengan konsep ini tidak ada lagi dikotomi modal asing atau dalam negeri. Hutang negara bukan lagi masalah politik tetapi murni masalah bisnis. Kalau tidak rasional, engga ada investor mau beli SBN.
Dengan demikian, kebijakan negara harus melihat modal ya modal. Mau sumbernya dari asing atau dalam negeri itu bukan masalah. Karena modal tidak ada idiologi dan tidak berpolitik. Mereka mellihat dari sisi ease of doing business index. Kuncinya adalah regulasi investasi sebagaimana UU Cipta kerja. Benarkah? Sekian dekade China yang komunis juara menarik modal asing sebagai pemicu pertumbuhan. Arab di saat APBNnya defisit, sibuk menarik hutang dan create Soverign wealth fund agar bisa sekuritisasi aset menjadi hutang berlipat dari pasar uang global. Amerika happy saja pinjam uang dari China. Apa artinya? mau komunis , kapitalis atau agama melihat modal ya modal. Kalau masih ada ekonom terjebak dengan dikotomi modal asing dan domestik, itu karena mindset jadul.
Berubah lah…focus sajalah kepada diri sendiri. Tingkatkan daya kompetisi dan kompetensi. Jadilah kapten atas nasip anda sendiri. Jangan lagi berpikir pemerintah seperti malaikat. Jadilah mesin pertumbuhan untuk negara dan bangsa. Kita sendiri yang menentukan masa depan itu seperti apa. Kini peluang terbuka lebar. Silahkan memilih. Mau diam dan mengeluh, mati konyol. Bergerak dan bersemangat, ada hope di sana..
No comments:
Post a Comment