K.J Hoslty mengatakan bahwa national interest yang bertumpu kepada Security, Autonomy, Welfare ,Prestigious, pada akhirnya yang menentukan itu adalah welfare. Sehebat apapun anggaran pertahanan, tekhnologi, prestige, namun gagal mensejahterakan rakyat maka negara itu sudah gagal melaksanakan national interest. Jack Ma dalam pertemuan World Economy Forum di Davos mengatakan bahwa AS membelanjakan USD 14 triliun selama 30 tahun untuk persenjataan dan perang. Itu demi security, prestige dan autonomy namun tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat.
Padahal tekhnologi AS merajai dunia seperti IBM, Cisco, Microsoft dan lain lain menghasilkan triliunan dollar selama 30 tahun. Kemana uang itu ? AS menguasi sistem clearing mata uang dan mengatur 2/3 perputaran uang di dunia melalui the fed system dan lead dalam perdagangan komiditi di Boston Exchange Market, namun harus berhutang kepada China dan negara lain untuk mempertahankan anggaran yang boros dan defisit. Sementara banyak industri AS pindah ke Korea, China, Taiwan dengan meninggalkan pengangguran domestik yang terus bertambah dari tahun ke tahun.
Dan sekarang AS menuduh China mencuri lapangan pekerjaan rakyatnya. Padahal penyebab utamanya adalah AS gagal mengimpelemtansi strategy national interest nya. Mengapa ? AS gagal mendistribusikan sumber dayanya untuk membangun infrastruktur sebagai negara terdepan di bidang tekhnologi. Uang habis hanya untuk security demi meraih Prestigious. Hukum bisnis berlaku, ketika hutang luar negeri sudah diatas PDB, teman dekatpun menghindar. Para mitra AS seperti Arab, Jepang, Korea, Taiwan, Eropa sudah tidak lagi menganggap AS penting dan harus didengar keluhannya.
Apa yang terjadi pada AS pernah kita alami era Soeharto, utang luar negeri digali begitu besar agar kita punya militer terkuat di ASEAN. Kita lead di ASEAN, dan memastikan eskpansi komunis di ASEAN tidak terjadi. Soeharto memanfaatkan Cold War antara Barat dan USSR, untuk mendapatkan sumber daya keuangan dan sekaligus menjaga teritorial. Tetapi sumber daya keuangan itu tida digunakan untuk mensejahterakan rakyat. 32 tahun Soeharto berkuasa, hanya melahirkan segelintir konglomerat dan rakyat masih terperangkap dalam kemiskinan. Ketika Cold War berakhir, Soeharto tidak lagi di pandang sebelah mata oleh AS. Kemudian sekali hentak gelombang hedge fund dari George Sorros, ekonomi yang katanya siap tinggal landas, nyungsep dan jatuh berkeping keping. Korban akibat krismon ini harus ditanggung rakyat selama 30 tahun dalam bentuk bunga Obligasi rekap.
Di era reformasi, national interest kita mulai dibenahi secara jelas. Untuk Indonesia, secara umum kepentingan nasional adalah sesuai dengan yang tercantum dalam pembukaan UUD 45 alenia 4 yang berbunyi“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…”.
Sedangkan kepentingan Indonesia secara khusus, terkait dengan hubungan antar bangsa yang di amanahkan pada Kementerian Luar Negeri adalah “pemantapan politik luar negeri dan peningkatan kerja sama internasional dalam bidang multilateral adalah meningkatnya peran aktif Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional, pemajuan dan perlindungan HAM, kerjasama kemanusiaan serta meningkatnya pembangunan ekonomi, sosial budaya, keuangan, lingkungan hidup, perdagangan, perindustrian, investasi, komoditi, dan perlindungan hak kekayaan intelektual melalui penguatan kerjasama multilateral.”
Dengan pijakan tersebut diatas orientasi kita dalam national interest adalah ekonomi, dan kepentingan domestik. Kita tidak akan terseret dalam blok manapun dalam setiap konflik. Acuan kita adalah UUD 45 dan konvensi PBB. Kalau kita meningkatkan pertahanan keamanan khususnya Armada Timur, bukan karena kita ingin menciptakan hegemoni kawasan tetapi karena kita butuh perdamaian yang bermartabat. Indonesia Timur adalah kawasan strategis yang berhadapan langsung dengan pacific merupakan kawasan tercepat pertumbuhannya. Kerjasama militer indonesia di era Jokowi bukan hanya AS tetapi juga China, Rusia, Korea, Jepang. Ya siapa saja asalkan tidak mengorbankan national interest kita. Lihatlah, sampai kini di ASIA hanya indonesia yang tidak mengakui proyek OBOR sesuai dengan geostrategi China, namun secara B2B kita menerima China sebagai mitra, atas dasar UU PMA, bukan konsesus OBOR. Ketika kapal China masuk perairan ZEE Natuna, jokowi langsung perintahkan armada Barat bergerak. Apapun resikonya China harus keluar dari zona teritorial laut kita. Titik. Dan China menghormati sikap kita.
Kita bisa menendang hegemoni AS di Freeport lewat penghapusan KK menjadi IUPK dan menguasai mayoritas saham di Freeport. Tanpa rasa takut kawasan Perairan Papua di shadow oleh kapal induk AS. Tanpa harus takut dengan embargo Eropa dan AS terhadap komoditas indonesia. Kita juga mempeluas kerjasama billateral SWAP dengan negara mitra dagang agar ketergantungan kepada dollar semakin kecil. Kita melarang ekspor SD-Mineral agar industri downstream dalam negeri tumbuh. AS, Korea, Jepang, dan Eropa menuntut kita di WTO karena larangan ekspor bahan mineral itu, kita hadapi dengan senyuman tanpa takut. Eropa embargo CPO, ya kita pakai sendiri untuk menghasilkan energy. Bahkan kita berani keluarkan UU Ormas sebagai dasar pembubaran HTI, dan memastikan hanya aliran pancasila saja Ormas bisa eksis, itu juga dalam rangka national interest. Karena kita tidak ingin direcoki oleh proxy asing atas nama Agama.
Di bawah Jokowi, national interest adalah welfare atau kesejahteraan rakyat. Kita engga perlu ikut ikutan bermanuver secara international agar kesohor namun tekor seperti AS. Bahkan Jokowi menempatkan politik luar negeri sebagai politik negara yang cukup Menlu menghadiri dalam setiap pertemuan Puncak di PBB. Namun dalam forum KTT APEC, G20, ASEAN, dimana uang dan ekonomi dibahas , Jokowi selalu hadir. Hadir bukan berkoar koar, tetapi jadi salesman manawarkan peluang investasi di Indonesia kepada delegasi APEC. Yang lebih penting lagi adalah kita tidak lagi terikat dengan bantuan dana G2G yang membuat kita terjajah secara politik. Kita menghidupkan sistem pasar uang dalam negeri yang terhubung dengan Money market global. Sehingga kita engga ada urusan dengan negara kaya. Kita berurusan dengan market. Dari sejak era Soekarno sebagian besar ekspor Indonesia melalui Singapore. Tetapi berkat pembangunan pelabuhan berkelas dunia sejak era Jokowi, kita tidak lagi menjadikan Singapore sebagai Hub. Kita bisa langsung ekspor ke negara tujuan.
Jadi kalau ada yang mengatakan negara kita tidak punya national interest, itu karena lack knowledge dan terlalu percaya dengan study national interest AS tahun 80an yang kini membuat AS bangkrut. Kini dan kedepan, national interest itu perluasan kerjasama B2B dalam segala bidang dengan negara manapun. Negara manapun selagi bawa duit dan tekhnologi, ya monggo. Kalau cuma bawa senjata dan ancam pakai kapal perang nuklir, mending ke laut aja. Negara kita terlalu besar untuk diancam oleh apapun.
No comments:
Post a Comment