Saturday, November 30, 2019

Bolivia yang perkasa dan akhirnya loyo


Tahun 2017 data ekonomi makro Bolivia sangat fantastic. Sejak Morales jadi presiden tahun 2006 atau 10 tahun berlansung kekuasannya, koefisien GINI turun sampai 19%. Kemiskinan turun 25% . Kelas menengah tumbuh 42 %. Bahkan ketika Venezuela jatuh ke dalam kehancuran ekonomi, Bolivia memasuki periode pertumbuhan pesat berkelanjutan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tapi, 18 November 2019, Morales mengundurkan diri sebagai presiden dan melarikan diri ke Meksiko setelah menghadapi tuntutan penipuan hasil pemilu. Setelah itu situasi dalam negeri Chaos. Kelangkaan pangan terjadi. Mengapa begitu cepatnya berubah dan terjun bebas ?

Ketika Evo Morales terpilih sebagai presiden pada tahun 2006, ia secara eksplisit menolak kapitalisme dan menyejajarkan Bolivia dengan Venezuela, Hugo Chavez dan Kuba, Fidel Castro. Sejak itu, Morales telah mendistribusikan kembali pendapatan melalui berbagai program pemerintah, menaikkan upah minimum secara substansial, dan menasionalisasi industri seperti telekomunikasi, minyak dan listrik. Bolivia tak ingin rakyatnya dipermainkan oleh kapitalisme mata uang. Makanya kurs mata uang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini dimungkinkan karena Bolivia punya sumber devisa besar Minya, Gas dan Seng.

Di tengah pecaya diri yang tinggi. Cadangan devisa yang besar. Bolivia memacu ekonominya lewat jalan berhutang. Tetapi uang pinjaman ini tidak di salurkan ke sektor real yang bisa melahirkan beragam Industri dan jasa. Uang pinjaman itu digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat lewat subsidi konsumsi dan kenaikan gaji ASN dan Buruh. Dana yang begitu besar di pompa ke publik itu memang cepat sekali mengurangi Rasio Gini dan meningkatkan kelas menengah. Ya sama ketika Era SBY, kebijakan pertumbuhan atas dasar konsumsi domestik melahirkan kelas menengahm yang cepat dan mengurangi kemiskinan.

Sejak tahun 2008, Harga komoditas global mulai jatuh. Sejak itu cadangan devisa tidak bertambah. Karena ekspor Migas tidak cukup menutupi ongkos produks apalagi mau nabung. Lambat laun cadangan devisa berkurang terus. Puncaknya tahun 2014, cadangan devisa habis. Saat itu Bolivia menghadapi masalah. Bolivia punya dua pilihan. Pertama, men-devaluasi mata uangnnya. Tapi konsekwensi kewajiban membayar hutang dalam mata uang boliviano semakin besar. Kedua, menambah hutang dalam mata uang asing agar cadangan devisa bisa menahan kejatuhan kurs. Yang dilakukan Bolivia adalah pilihan kedua, menambah hutang baru. Ternyata utang inilah yang menjadi kunci neraka bagi ekonomi Bolivia.

Sejak tahun 2014 sampai tahun 2018 total hutang mencapai 33% dari PDB. Kewajiban yang harus dibayar dalam mata uang asing semakin besar, sementara penerimaan dalam mata uang asing tidak significant akibat harga jatuh. Dalam situasi , Bolivia harus menentukan pilihan. Pertama, menyatakan default atau surrender terhadap hutang. Ini terhormat. Tapi Bolivia harus mengikuti kehendak konsorsium creditur untuk mengubah platform ekonomi sosialisnya. Atau kedua, menolak default tapi dampaknya hiperinflasi. Morales, tidak mau menentukan pilihan pertama. Apalagi dalam situasi menjelang Pemilu dia yakin menang hanya dengan politik populis. Yakin China dan Rusia akan membantunya.

Kemenangan Evo Morales dalam pemilu tidak menyelesaikan masalah ekonomi. Bahkan semakin terpuruk. Rakyat yang mendukung dan memilihnya ramai ramai menjatuhkannya. Bersama oposisi , rakyat berhasil menuduhnya melakukan kecurangan pemilu dan Morales ngacir keluar negeri. Selesai sudah perjalanan panjang pemimpin yang seperti Abas. Ini pelajaran mahal bagi Indonesia. Jangan pilih pemimpin seperti Morales atau Abas..

No comments:

Jebakan hutang.

  “Jadi walaupun yield-nya stabil, tetapi jumlah stok utang kita naik maka pembayaran utangnya jadi lebih banyak,” tutur Sri Mulyani saat me...