Jadi kepala daerah itu tidak mudah. Karena walau dia diberi hak otonomi mengelola Keuangannya ( APBD) tapi hak itu juga diikuti dengan tanggung jawab memastikan APBD itu efektif dan efisien. Mengapa ? APBN hanya memberikan maksimum 40% dari total APBN sebagai dana transfer yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), serta transfer lainnya yang terdiri atas Dana Penyesuaian dan Dana Otonomi Khusus. Untuk lebih jelasnya saya akan uraikan secara singkat masing masing anggaran tersebut agar pada akhirnya kita sampai pada kesimpulan mengenai pemerataan pembangunan.
Apa itu dana Bagi hasil ? Itu pendapatan dari PBB yang 90% dikembalikan ke daerah. Pusat hanya dapat 10% saja. Nah bagi daerah yang punya lahan luas, ini sumber pendapatan yang tidak kecil bagi daerah. Ini sangat efektif untuk menebarkan kemakmuran. Bagi kota besar, lahan tidak luas namun value tanah sangat mahal. Juga potensi besar pendapatan daerah untuk distribusi kemakmuran. Dengan porsi bagi hasil yang begitu besar kepada Daerah, ini mengindikasikan tanggung jawab pemerataan pembangunan itu memang ada pada kepala daerah. Makanya mereka dipilih secara langsung oleh rakyat agar keadilan tegak.
Kalau dana bagi hasil dari PBB itu tidak cukup untuk belanja daerah, katakanlah daerah yang tidak begitu besar pendapatan dari PBB seperti NTT, Sumbar dan lainnya, maka pemerintah pusat menggunakan dana APBN yang berasal penerimaan dari pajak dan bagi hasil migas, untuk menyalurkan dana alokasi umum ( DAU), yang tujuannya adalah pemerataan. Contoh biaya perawatan insfrastruktur ekonomi dan belanja pegawai. Artinya walau ada daerah dengan SDA rendah, tetap saja mendapatkan jatah dari pusat agar bisa melaksanakan fungsi desentralisasi, melaksanakan misi pemerataan pembangunan. Cukup ? Belum.
Masih ada lagi anggaran dari pusat yang digelontorkan kepada Daerah. Apa itu ? Dana Alokasi khusus ( DAK). Dana ini digunakan untuk kebutuhan khusus yang tidak ada dalam anggaran dana alokasi umum. Misal proyek strategis nasional yang mana daerah mendapat tugas melaksanakannya. Seperti revitalisasi pasar, normalisasi sungai, reboisasi, perbaikan lingkungan, program kesehatan. Program swasembada pangan dan lain lain. Cukup ? Belum.
Masih ada lagi pendapatan dari hibah. Katakanlah daerah mendapat bantuan hibah dari luar negeri, itu bisa digunakan daerah tanpa perlu setor ke Pusat. Atas pusat dapat dana hibah yang programnya membantu daerah, itupun langsung ditransfer ke daerah. Contoh, di era Ahok dana hibah untuk DKI besar sekali. Terutama dana CSR. Sementara pendapatan asli daerah seperti Retribusi, pajak kendaraan, pajak hotel dan minuman, pajak hiburan, dan lain lain pajak menjadi pendapatan asli daerah yang sepenuhnya hak daerah tanpa perlu setor ke pusat.
Nah kenapa sampai terjadi defisit? dana transfer itu berupa DBH, DAU, DAK, itu ada hitungannya yang diatur dalam UU penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah. Contoh , Besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah. Kemampuan keuangan daerah dihitung melalui indeks fiskal netto. Daerah yang memenuhi kriteria umum merupakan daerah dengan indeks fiskal netto tertentu yang ditetapkan setiap tahun. Jadi ukuran besaran DAK itu berdasarkan kinerja atau prestasi. Semakin besar prestasi daerah menciptakan kemakmuran lewat APBD semakin besar DAK nya.
Jadi mengapa ada daerah seperti Surabaya, Semarang, Sumatera barat , Sulawesi dan lainnya yang begitu gencar pembangunannya. Itu karena DAK nya besar. Sementara ada beberapa provinsi yang pembangunannya tidak nampak. Bahkan daerah dengan PAD tingggi seperti DKI era Anies dan Riau, Kaltim tidak nampak pembangunan yang berarti. Itu karena Kepala daerahnya tidak mampu menempatkan daerahnya memenuhi index untuk mendapatkan DAK. Prestasi jeblok. Mereka hanya bersandar kepada DAU yang 70,9% habis untuk belanja pegawai. Nah kalau DAK rendah sementara belanja sudah ada dalam APBD maka harus diupayakan dari PAD. Gimana kalau PAD tidak mencapai target? ya tekor. Itulah yang jawabannya mengapa defisit.
Kalau daerah sampai defisit, dia bukan hanya gagal mengeskalasi pembangunan tapi yang lebih miris adalah gagal menciptakan pemerataan pembangunan dan otomatis bertanggung jawab terhadap ketimpangan GINI rasio di daerahnya. Makanya kalau Anies bilang ketimpangan dalam negeri sebagai tanggung jawab pusat, itu karena dia tidak paham untuk apa orang memilih dia sebagai Gubernur dan pasti engga paham fungsi gubernur dalam UU.
No comments:
Post a Comment