Thursday, April 4, 2019

Kepemimpinan.

Salah satu direksi holding saya mengundurkan diri. Alasannya karena dia ingin focus dalam pengobatan kanker nya yang sudah stadium 4. Saya harus mencari penggantinya. Data dari HRD saya pelajari semua. Pendidikan tidak menjadi perhatian saya. Focus saya kepada track record setiap calon yang pantas masuk seleksi. Setelah ditentukan siapa yang pantas ikut seleksi, proses test dilakukan. Akhirnya tersedia dua calon yang lolos. Saya harus memutuskan salah satu dari mereka. Saya panggil mereka untuk ikut wawancara. Wawancara ini tidak dilakukan dikantor tetapi di cafe. Situasi sangat santai. Mengapa?karena saya ingin mengetahui karakter mereka.

Dalam suasana santai itu saya bercerita tentang kehidupan sosial. Tentang ketidakadilan. Tentang ketidak seimbangan ekonomi global. Tentang demoralisasi. Saya perhatikan salah satu mereka, tidak terkesan dengan cerita saya itu. Keliatan dari wajahnya. Keningnya tidak bergerak. Matanya tidak terlihat bersinar. Yang satunya keliatannya antusias namun tidak cepat menanggapi. Sementara yang nampak tidak terkesan dengan kata kata saya, justru cepat sekali menanggapinya. Tanggapanya seperti dia ingin jadi ratu adil, orang suci dan superhero yang ingin mengubah dunia. Sementara yang antusias mendengar saya bicara lebih suka menyimak.

Usai ketemu mereka, saya kirim WA ke Direktur HRD bahwa saya memilih calon yang tidak cepat menanggapi kata kata saya itu. Dia mantan direktur Bank di Eropa. Bagi saya, orang yang terlalu cepat menanggapi dan menempatkan dirinya sebagai solusi, itu tanda dia tidak bisa menjadi solution provider. Mengapa ? penyedia solusi bukan orang yang terlalu banyak bicara dan yakin dengan pikirannya tetapi orang yang mau mendengar. Setiap solusi tidak ada yang menjamin semua akan beres sekali ayun. Setiap solusi selalu melahirkan masalah baru dan manusia berkembang karena justru ada masalah. Tanpa ada masalah, manusia atau organisasi akan stuck.

Tugas pemimpin bukan menghindari masalah. Seperti, gaji kamu kecil, saya akan naikan. Produksi rendah, saya akan naikan. Efisiensi rendah, kita akan naikan. Laba rendah, saya akan naikan dan lain sebagainya. Memang kedengarnya dengan keputusan itu masalah selesai. Tetapi lupa. Pada waktu bersamaan masalah baru yang lebih rumit muncul. Gaji naik akan meningkatkan biaya tetap. Meningkatkan produksi akan meningkatkan biaya produsksi dan pemasaran. Peningkatan efisiensi akan meningkatkan sistem pengawasan. Peningkan laba membutuhkan ekspansi. Semua itu berujung kepada anggaran. Pengeluaran pasti terjadi pemasukan belum tentu.

Jadi tugas pemimpin itu bukan sekedar menghindari masalah tetapi bagaimana menghadapinya. Mengapa ? Pemimpin tidak bisa membuat keputusan yang bisa memuaskan semua orang. Karena pemimpin bukan pedagang es krim. Seorang pemimpin harus bisa melihat persoalan secara menyeluruh dan menyelesaikannya melalui proses, berdasarkan skala prioritas. Engga bisa semua hal diselesaikan sekaligus. Itu utopia namanya. Perhatikan cara kerja Jokowi, periode petama kekuasaanya, dia focus merestruktur APBN dan sistem pengawasan. Mengapa ? kalau APBN sehat, kredibel maka kepercayaan publik semakin tinggi. Kebijakan ekonomi lebih transparent. Dan Jokowi sukses. Indonesia mendapatkan predikat investment grade. Diakui dunia.

Periode kedua, Jokowi akan focus kepada pengembangan SDM. Mengapa ? dengan APBN sehat maka financial resource akan terbuka lebar, investasi akan meningkat, dan itu butuh SDM. Bukan SDM bayar orang tetapi bayar kerjaan. Bayar kinerja. Bayar profesionalitas. Saat itulah orang bisa merasakan kemakmuran. Bukan karena subsidi tetapi karena kerja kerasnya dan kompetensinya. Harga naik tidak lagi dikutuki karena peningkatan penghasilan jauh leih tinggi dari kenaikan harga. Jadi, pilihlah pemimpin yang tidak menjanjikan kemudahan, tetapi pilihlah karena dia mau bekerja. Sekali anda percaya dengan orang yang menjajikan kemudahan, saat itulah anda jadi korban “ modus”

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...