Dulu era orba, format apbn kita adalah model T. Atau neraca seimbang. Nah sekarang struktur APBN dalam format yang disebut I-account. Dalam beberapa hal, isi dari I-account sering disebut postur APBN. Beberapa faktor penentu postur APBN adalah sebagai berikut:
Pendapatan.
Pendapatan negara didapat melalui penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan perpajakan untuk APBN adalah biasanya melalui kepabean dan cukai, PPH dan PPN,. Selain itu, pendapatan negara juga didapat melalui penerimaan negara bukan pajak dan lainnya. Contoh pendapatan badan layanan umum (BLU), pendapatan sumber daya alam (SDA), pendapatan dari kekayaan negara dan hibah yang didapat. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP), berasal dari penerimaan sumber daya alam dan gas bumi (SDA migas), penerimaan sumber daya alam non-minyak bumi dan gas bumi (SDA non migas), pendapatan bagian laba BUMN. Dan Hibah.
Pengeluaran.
Belanja negara. Belanja pemerintah pusat adalah belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan pemerintah pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah. Belanja pemerintah pusat dalam APBN antara lain belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembiayaan bunga utang, subsidi BBM dan subsidi non-BBM, belanja hibah, belanja sosial (termasuk penanggulangan bencana), dan belanja lainnya.
Pembiayaan negara. Pembiayaan negara terbagi menjadi dua jenis pembiayaan, yakni pembiayaan dalam negeri dan luar negeri. Pembiayaan dalam negeri meliputi pembiayaan perbankan dalam negeri dan pembiayaan non perbankan dalam negeri (hasil pengelolaan aset, pinjaman dalam negeri neto, kewajiban penjaminan, surat berharga negara neto, dan dana investasi pemerintah). Sedangkan pembiayaan luar negeri meliputi penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman program dan pinjaman proyek, penerusan pinjaman, dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang terdiri atas jatuh tempo dan moratorium.
Untuk mengetahui kesehatan APBN dapat diukur dari Keseimbangan primer dan defisit/surplus. Kalau defisit/surplus adalah pengurangan pendapatan terhadap belanja negara. Sedangkan keseimbngan primer adalah penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang. Sedangkan defisit/surplus APBN. Nah dalam mengelola APBN itu yang harus diperhatikan adalah ruang fiskal. Apa itu ruang fiskal? menurut Peter S. Heller (2005), merupakan ketersediaan ruang yang memungkinkan pemerintah untuk dapat menyediakan sumber daya tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu tanpa mengancam kesinambungan posisi keuangan pemerintah.
Di Indonesia, mendefinisikan ruang fiskal sebagai pengeluaran diskresioner/tidak mengikat (antara lain Pengeluaran negara untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur ) yang dapat dilakukan oleh pemerintah menyebabkan tanpa terjadinya kebangkrutan fiskal. Dengan demikian ruang fiskal merupakan pengeluaran total yang dikurangi dengan pengeluaran nondiskresioner/terikat seperti belanja pegawai, pembayaran bunga , subsidi, dan pengeluaran yang dialokasikan untuk daerah.
Ruang fiskal pada dasarnya dapat dibedah dalam dua ruang besar, yakni ruang fiskal untuk mendukung belanja rutin, dan ruang fiskal untuk membiayai belanja pembangunan dan investasi pemerintah. Untuk keperluan belanja rutin bersifat mandatory. Sedangkan untuk belanja pembangunan dan investasi pemerintah cenderung tidak bersifat mandatory, tetapi tergantung prioritas, dan tersedia anggarannya atau tidak. Yang tahu ruang fiskal sempit atau longgar tentu pemerintah.
Deficit spending sesungguhnya dapat dipandang sebagai pintu kelonggaran yang dibuka untuk mengatasi problem ruang fiskal yang sempit. Tapi guna menjaga keberlanjutan fiskal, defisit tersebut dibatasi oleh UU Keuangan Negara maksimal 3% terhadap PDB. Jika misal PDB nilainya Rp 10.000 triliun, maka defisit anggaran yang ditolerir adalah Rp 300 triliun. Nah kalau APBN kita 3000 triliun maka ruang fiskal kita hanya 10%. 10% ini didapat dari utang pemerintah, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Nah pada kondisi ruang fiskal yang sempit, maka hal ini akan mengurangi diskresi pemerintah untuk mem-finance pengeluaran – pengeluaran yang bersifat “mendesak” seperti pembiayaan infrastruktur investasi pemerintah, dan pencadangan untuk pengelolaan risiko fiskal. Isu tentang pengelolaan keuangan negara sejatinya berkisar pada persoalan manajemen keuangan negara, Pada level pemerintah, menteri keuangan hakekatnya adalah Chief Financial Officer ( CFO). Sedangkan para menteri /kepala lembaga hakekatnya adalah sebagai Chief Operational Officer (COO) atau dalam sistem keuangan negara biasa disebut sebagai Pengguna Anggaran.
Bagaimana mengatasi sempitnya ruang fiskal itu ? belanja yang tidak penting dan alokasi anggaran pembangunan infrastruktur sebaiknya dinolkan dari APBN. Sebaiknya efektifkan pembiayaan non anggaran ( PINA). Jangan ada double account dalam pembiayaan infrastruktur sehingga beban APBN menjadi berat. Ruang fiskal yang sempit memang harus divermak dengan cara seperti itu, dan hindari ambiguitas kebijakan. Dalam situasi sulit, pertumbuhan yang disumbang pajak harus ditingkatkan agar tax ratio terus meningkat terhadap PDB. Sehingga tidak menimbulkan fiscal distress sehingga kontraksi. Tujuan makro ekonomi yang utama hari ini bagi APBN adalah fokus pada peran menciptakan stabilisasi ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Kesimpulan. Semakin besar defisit semakin sempit ruang fiskal. Mengapa ? Hukum besi dalam pengelolaan belanja adalah tidak lebih besar pasak daripada tiang karena sekali overstretch, keberlanjutan fiskal akan terganggu. Makin parah bila pendapatan negara atau tax ratio terhadap PDB tidak naik secara signifikan akibat pertumbuhan ekonomi rendah. Makanya sangat penting untuk focus meningkatkan pajak.
No comments:
Post a Comment