Oposisi Jokowi menilai pemerintah gagal mengelola Minyak dan Gas. Laba bersih PT Pertamina (Persero) kembali turun tahun 2017. Padahal perusahaan-perusahaan minyak dan gas bumi di negara-negara lain masih berhasil mencatatkan kenaikan laba bersih seiring naiknya harga minyak dunia. Contoh Petronas berhasil mengantongi laba setelah pajak sebesar 10 miliar ringgit di kuartal III-2017, naik 64% dari kuartal yang sama di 2016 sebesar 6,1 miliar ringgit. Sementara perolehan laba bersih Pertamina turun dari US$ 3,15 miliar di 2016 menjadi US$ 2,4 miliar di 2017 atau Rp 36,4 triliun (kurs Rp 13.500), atau turun sebesar 23%. Kalau melihat fakta memang begitu adanya. Namun ada baiknya kita melihat duduk persoalan secara jernih sehingga kita tahu arah kebijakan Pemerintah agar Pertamina bisa mengalahkan Petronas.
Asset
Dari sisi Asset memang Pertronas lebih besar dari Pertamina atau tiga kali lebih besar. Tetapi harap di catat bahwa semua sumber daya Migas dimilik negara Malaysia dan menjadi cadangan ( asset ) bagi Pertronas. Sementara kita, Pertamina disamakan dengan Badan Usaha lain dibidang NOC dimana sumber daya dikuasai negara atau SKK Migas. Akibatnya Pertamina harus bersaing dengan NOC lain yang ada di Indonesia. Hal ini karena aturan UU Migas 2001 dan PP tahun 2003 Perubahan fungsi pertamina menjadi Perseroan. Kalaulah Cadangan Migas yang dikuasai negara itu menjadi asset pertamina tentu asset Pertamina akan naik lebih besar dari Petronas. Dan ini bisa digunakan oleh Pertamina untuk collateral menarik dana dari pasar untuk ekspansi.
Kebijakan Pemerintah Jokowi dalam hal ini adalah mengubah skama cost recovery menjadi gross split. Apa itu gross split ( PP.N0.53/2017) ? Skema bagi hasil terhadap kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), dengan aturan pembagian migas, 57 persen untuk negara dan 43 persen untuk kontraktor, sementara pembagian untuk gas bumi 52 persen ke negara, 48 persen untuk kontraktor. Nah yang bagian negara ini menjadi asset atau cadangan Pertamina. Namun perlu ada revisi UU MIGAS agar posisi Pertamina menjadi kuat secara hukum. Dengan revisi UU MIgas ini maka fungsi sosial Pertamina terhadap stabilitas harga BBM diseluruh indonesia menjadi sejalan. Selama ini Pertamina sebagai badan Usaha yang profit oriented tetapi pada waktu bersamaan harus melaksanakan Public Service Obligation dalam hal distribusi BBM.Tentu tidak adil atau tidak sejalan.
Struktur Bisnis
Petronas itu di Malaysia sendiri bisnis downstream-nya (bisnis hilir) cuma 40 persen.Jadi fluktuasi harga tidak begitu terpengaruh. Apalagi laba di hilir itu memang tidak besar. Maksimum10% gross. Makanya Pertronas bisa focus meningkatkan laba dari bisnis trading dan hulunya. Bagaimana dengan Pertamina? lebih dari 95 persen bisnis Pertamina itu ada di hilir, dan distribusi sampai daerah-daerah terpencil. Makanya ketika harga Crude naik, downstream memang untung seperti tahun 2016, dimana laba Pertamina lebih tinggi dari Petronas. Tetapi ketika harga Crude naik, ya Pertamina jebol. Bagaimana solusinya ? Pemerintah telah menugaskan Pertamina untuk membangun kilang ( refinery ) agar Indonesia tidak lagi tergantung dengan BBM Impor. Sekarang 4 kilang sedang proses pembangunan. Apabila kilang ini semua selesai dan dukungan Gross split skema, Indonesia akan mandiri di bidang BBM.
Bisnis masa depan.
Karena kebutuhan BBM setiap tahun terus meningkat dan sumber daya migas terus berkurang, dan kita sudah net impor Migas maka Indonesia harus meningkatkan sumber daya MIGAS nya dari sumber dalam dan luar negeri. Disamping terus meningkatkan produksi dalam negeri, Pertamina juga mengambil alih lapangan minyak yang ada diluar negeri. PT Pertamina International EP (PIEP) berhasil menambah sembilan aset minyak dan gas bumi (migas) di luar negeri sepanjang tahun 2016. Angka ini melonjak 200 persen dibandingkan tiga aset migas di luar negeri yang dikuasainya sampai akhir 2015 lalu di Aljazair, Malaysia, dan Irak. Sampai sekarang Pertamina terus memburu landang minyak yang ada di luar negeri. Target produksi minyak di luar negeri tahun 2018 sebesar 108 ribu bph dan gas 266 MMSCFD.
Kesimpulan.
Masalah pengelolaan MIGAS sudah salah urus sejak puluhan tahun. Di era Jokowi di benahi dari tata niaga sampai kepada produksi, kebijakan makro ( UU ) sampai kapada struktur bisnis. Ini sedang berproses dan progress signifincat sekali. Tahun 2025 Pertamina akan mengalah Petronas, dan menjadi Perusahaan berkela dunia. Masalahnya kalau Jokowi tidak terpilih sebagai presiden lagi, mungkinkah tahun 2025 impian menjadi kenyataan?
No comments:
Post a Comment