Di Jakarta, kalau saya ingin
minum secangkir hot capucino di Starbucks maka tak selalu tersedia korsi yang
kosong. Hampir semua outlet Starbucks selalu ramai dikunjungi konsumen. Padahal
harga secangkir kopi Rp. 37,000 atau
setara dengan USD 4. Itu sama juga dengan dua kali penghasilan sehari orang
yang dikatagorikan miskin oleh BPS yang berjumlah 123 juta orang di Republik
ini. Kalau anda pergi ke kawasan kota dalam kota seperti Kelapa Gading, BSD,
Modern Land, Lippo dan lain lain maka anda akan temui mereka tinggal dan
beraktifitas. Lingkungan yang nyaman, tertip dan aman. Belum lagi tingkat
disiplin yang tinggi karena system lingkungan yang tertata rapi, yang sehingga
selalu bersih dari sampah yang menusuk hidung. Ketika duduk santai sambil
menikmati secangkir kopi maka saya perhatikan para pengunjung sebagian asyik
dengan Note book, Tablet, Iphone Tentu mereka sedang berinteraksi dengan pihak
lain melalui device communication nya yang terhubung dengan WIFI. Melihat suasana di Starbucks , saya merasa
berada di Orchard Singapore atau di Causeway Bay Hong Kong atau di CItic Plaza
Shenzhen. Mereka adalah kelompok kelas menengah Indonesia yang jumlahnya sejak
sepuluh tahun belakangan ini bertambah dua kali lipat.
Pada 1999 kelompok kelas menengah
baru 25 persen atau 45 juta jiwa, namun satu dekade kemudian melonjak jadi 42,7
persen atau 93 juta jiwa. Sedangkan jumlah kelompok miskin berkurang dari 171 juta
jiwa menjadi 123 juta jiwa. Data itu direkam dari survei sosial ekonomi
nasional yang dilakukan oleh Biro Pusat
Statistik pada 1999 dan 2009 . Cara
membedakan kelompok miskin dan kelas menengah dengan memilah jumlah
pengeluaran individu per hari. Yang dimaksud kelompok miskin adalah penduduk
dengan pengeluaran di bawah US$2 per hari.
Sedangkan, pengeluaran US$2 ke atas atas tergolong kelas menengah yang
dikelompokkan dalam sejumlah kategori. Kategorinya
sebagai berikut. Kelas menengah bawah adalah mereka yang pengeluarannya
sejumlah US$2-4 per hari, menengah-tengah US$4-10, menengah-atas US$10-20, dan
kelompok berkecukupan dengan pengeluaran US$20 per hari. Berdasarkan data itu,
jika diperinci lebih jauh, selama sepuluh tahun, kelompok menengah-bawah telah
naik dua kali lipat dari 37 juta menjadi 69 juta jiwa. Kelompok menengah-tengah
meningkat hampir tiga kali lipat ,dari 7,5 juta menjadi 22 juta jiwa. Kelompok
menengah-atas naik lima kali lipat dari 0,4 juta menjadi 2,23 juta jiwa.
Sedangkan, kelompok berkecukupan naik 0,1 juta menjadi 0,37 juta jiwa.
Saya tidak tahu apakah data tersebut valid ? . Namun yang
saya tahu pasti memang kelompok menengah bertambah seiring meningkatnya APBN
yang kini telah tembus Rp. 1000 triliun. Lantas bagaimana bisa tumbuhnya kelompok
menengah ini? Apakah dikarenakan daya dukung produksi nasional memang meningkat
? Menurut saya, ini bukan didasarkan
kepada meningkatnya produksi riil yang berbasis SDM dan creativitas tekhnology
tapi lebih dipicu oleh naiknya harga komoditas yang berhubungan dengan Sumber
Daya Alam, seperti minyak, CPO, Coal, Coklat, dll. Kenaikan harga komoditas ini
menguntungkan kelompok menengah yang terlibat didalamnya. Mereka adalah para
professional, pedagang, Karyawan, buruh , PNS , politisi dan lain sebagainya.
Ditambah lagi, business turunan dari kenaikan harga komoditas itu berkembang
pesat dalam maraknya pasar domestik yang umumnya berbasis produk import.
Penjualan mobil , Perumahan , barang elektronik meningkat pesat. Pelanggan telp
selular juga meningkat pesat bahkan Indonesia merupakan pelanggan selular nomor
tiga terbersar di dunia. Dari keadaan inilah ekonomi Indonesia tumbuh pesat dan
juga menjadi penyelamat ditengah krisis global dewasa ini.
Menurut pengamat , kelompok
menengah Indonesia bukanlah kelompok militan. Mereka sangat pragmatis dan gemar
menjadi follower apa saja. Mereka dikenal Mat Nyinyir yang hanya pandai
berbicara tak jelas lewat facebook , twitter dan lain sebagainya dan setelah
itu mereka lupa apa yang dikatakannya. Ketika harga komoditas turun dan ekspor
juga menurun maka kelompok menengah inipula yang paling banyak mengeluh. Tak
sedikit yang menyalahkan pemerintah. Tadinya ketika Amerika , Eropa Barat dan
Jepang memanjakan Negara dengan hutang dan investasi, tak ada gaung
nasionalisme. Bahkan bagi mereka bekerja di perusahaan asing adalah kebanggaan.
Lulusan universitas terbaik berlomba lomba bekerja dengan asing. Kini ketika
orientasi pembangunan dari konsumei ke produksi di canangkan dan business non-tradable
di pangkas, maka mulai bangkit nasionalisme dan paranoid asing atau aseng. Bahkan
ada yang bernostalgia untuk kembali ke era Orde Baru. Namun banyak pula yang tetap sadar untuk tetap berpikir positip. Contoh lahirnya gerakan Teman Ahok adalah kesadaran kelompok menengah yang ingin tegaknya keadilan sosial yang di kelola dengan cara modern dan transfarance. Walau masih ada sebagian mereka rentan, pragmatis namun
tetap sebagai potensi besar untuk lahirnya Indonesia baru yang kokoh dan
berdaulat dinegerinya sendiri tanpa harus menjadi konsumen produk asing.
Caranya , pemerintah harus
menyediakan infrastruktur ekonomi secara meluas dengan memanfaatkan kekuatan
dana yang berputar dikelompok menengah dan pada waktu bersamaan mulai
memberikan kebijakan mendorong produksi dalam negeri. Kehebatan kelompok
menengah yang akhirnya menjadi locomotive pertumbuhan ekonomi berkelanjutan
telah dibuktikan oleh China, Korea, Taiwan, Jepang dan Malaysia. Inilah tantangan
dan sekaligus resiko politik dibalik peluang kebijakan pro-produksi Jokowi. Karena
apabila pemerintah tidak bisa memanfaatkan kekuatan kelompok menengah ini maka
sedikit saja ada goncang ekonomi makro , mereka akan jatuh miskin , tak ubahnya
seperti yang terjadi di AS. Karena tipical kelompok menengah yang rentan ,
pragmatis , mereka mudah frustrasi untuk
bergabung bersama mereka yang sudah lebih dulu terpuruk dalam kemiskinan. Harap
dimaklumi bahwa kelompok menengah yang frustrasi bagaikan bensin yang mudah
dibakar dan menyeret kelompok bawah untuk melahirkan chaos. Revolusi social
akan terjadi secara massive. maka yang
terjadi , terjadilah...
No comments:
Post a Comment