Thursday, March 10, 2016

Pilihan Rakyat...

Demokrasi itu berdiri di empat pilar yaitu legislatif, eksekutif ,judikatif dan Media Massa. Media massa dapat diperhitungkan sebagai kekuatan karena dari media massa public dapat ikut mengawasi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di Era global society community yang di dukung oleh IT , informasi mengalir begitu derasnya dan darimanapun sumbernya.  Bahkan media massa digital menyediakan ruang interaktif di setiap berita yang dimuat. Media social ( medsos) pun menjadi wahana penyebaran berita dari media massa melalui fasillitas link. Dari medsos pun muncul beragam opini terhadap kebijakan public. Sehingga sulit dikatakan bahwa di Negara yang menganut demokrasi liberal, orang bisa bersembunyi dari kesalahannya sebagai elite politik atau pejabat public. Inilah yang patut disadari oleh siapapun  yang terpilih sebagai bagian dari orang yang duduk di Legislatif, executive ,yudikatif.  Jangan pernah berpikir bahwa kekuasaan pada system demokrasi adalah kekuasaan yang bebas berbuat apa saja seperti kerajaan atau diktator. Sekali jadi penguasa atau pejabat public maka siap siaplah gerak gerik anda di awasi oleh public. Kehidupan pribadi anda tidak  lagi rahasia.  Apabila tidak hati hati maka cepat naik akan cepat jatuh. Cepat di puja, cepat masuk penjara.

Jokowi adalah contoh tepat bagaimana kekuatan media massa bisa mengantarkan si tukang kayu yang bukan jenderal, bukan professor, bukan pimpinan partai dapat melenggang  ke istana menjadi orang nomor satu di republic ini.  Ahok juga akan menjadi contoh bagaimana kekuatan media massa mendukung keberadaan “Teman ahok” untuk mengantarkan Ahok sebagai pemenang dalam Pilgub. Baik Ahok maupun Jokowi bukanlah elite partai. Mereka orang biasa saja. Mereka di dukung partai karena public menginginkan mereka sebagai pemimpin, dan partai “terpaksa “ melegitimasi keinginan rakyat itu. Lantas bagaimana bila ada orang , katakanlah seperti Ahok yang tidak mau di legitimasi partai  dan lebih ingin di legitimasi langsung oleh rakyat melalui jalur independent yang memang di benarkan oleh UU? Ini seharusnya tidak perlu menjadi kesan deparpolisasi atau ingin menggerus keberadaan partai. Ketika UU yang mengatur pemilu/pilkada di syahkan , tentu ini sudah diperhitungkan dengan matang oleh para wakil rakyat. Bahwa siapapun harus diberi ruang dan peluang untuk tampil menjadi pemimpin. Pada akhirnya rakyatlah penentu. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Tidak bisa lagi Partai menjadi penentu siapa yang pantas memimpin.

Dengan adanya kekuatan ke empat atau media massa, seharusnya bisa juga menjadi jalur bagi siapapun yang memang punya potensi untuk menjadi pemimpin, entah berkaliber local atau nasional. Mungkin banyak orang hebat dari segi spiritual, intelektual, pengabdian di tengah masyarakat,namun mereka tidak mau tampil kepermukaan. Mereka lebih suka berbuat dalam diam dalam skala terbatas namun hasilnya fenomenal. Mereka menjauh dari partai karena tak ingin larut dalam kepongahan dan korup. Orang orang seperti ini seharusnya diangkat ke permukaan. Media massa tidak punya cara menemukan orang hebat. Namun Ormas yang berbasis keagamaan, social, budaya, bisnis dapat melakukan konvensi untuk menjaring mereka yang potensi untuk di tampilkan. Pada moment ini media massa akan meliputnya.  Contoh ormas seperti Muhammadiah, NU ,HKTI, Walhi, dll, melakukan konvensi calon pemimpin. Gemanya tentu akan menarik perhatian media massa dan public pun akan memperhatikan untuk bersuara meramaikan medsos. Bulan lalu FPI ( Front Pembela Islam ) telah berinisiatif melakukan konvensi memilih gubernur Muslim. Namun gemanya kurang besar. Karena ada unsur SARA , media massa kurang berminat meliputnya. Seharusnya FPI berfocus kepada “memilih Gubernur ber-akhlakul karimah”.

Bagaimanapun lahirnya kepemimpinan lewat jalur independent jangan disikapi berlebihan oleh elite partai. Semangat demokrasi harus di hidupkan di kalangan masyarakat agar nilai nilai demokrasi semakin mengerucut sehingga partai juga berubah menjadi benar benar lembaga bergengsi untuk mendidik orang menjadi elite politik di negeri ini. Selagi elite partai hidup seperti di istana gading dengan keangkuhan dihadapat rakyat ,maka jangan salahkan rakyat bila pemilu rakyat memilih bukan orang yang di legitimasi partai. Karena semakin lama rakyat semakin cerdas dan tahu siapa yang peduli dan tulus bersama mereka. Mereka tidak peduli jargon idiologi atau agama, mereka hanya meliat apabila calonnya jujur dan adil ,amanah maka mereka menjadi militan mendukung calonnya. Partai yang seharusnya menjadi patron rakyat malah  akan menjadi musuh yang harus dilawan oleh rakyat. Kepada elite Partai , mari sikapi suasana hati rakyat dengan cerdas untuk berubah menjadi lebih baik bagi rakyat dan kejayaan negeri ini.  



No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...