Wednesday, October 1, 2014

Mana yang lebih baik?

Mana yang lebih baik Pilkada Lansung atau Pilkada Tidak Langsung ( melalui DPRD)? Kalau itu ditanyakan kepada Pengusaha maka saya yakin dari 10 pengusaha,9 inginkan Pemilu Tidak Langsung. Mengapa ? Sejak adanya Pemilu Langsung tahun 2007 , sangat terasa sekali kepemimpinan di daerah itu sangat lemah. Walau legitimasi Kepala Daerah seperti Gubernur, Walikota, Bupati sangat kuat karena dipilih langsung oleh rakyat namun tidak otomatis membuat Kepala Daerah menjadi kuat. Walau tidak ada satupun kekuasaan yang bisa mengintervensi kepala daerah dan tidak ada satupun kekuasaan ( termasuk Partai dan Presiden ) bisa memecatnya kecuali dia mengundurkan diri atau melakukan tindak pidana atau melanggar undang undang namun tidak otomatis membuat Kepala Daerah bisa begerak cepat dengan powerful. Mengapa? Karena kekuatan yang ada dalam sistem demokrasi liberal berperan sangat efektif sebagai check and balance. Bahwa  legislative ( DPRD)  dengan haknya yang dijamin UU, sangat kuat mengontrol kepala Daerah. Bahwa independensi penegak hukum, sangat efektif mengawasi kepala Daerah dan anggota DPRD. Bahwa kebebasan Pers dan LSM, sangat efektif sebagai kekuatan diluar sistem yang ikut menjadi penyeimbang diatara kekuatan yang ada didalam sistem. Dengan itu, membuat Kepala Daerah bagaikan duduk diatas bara. Itu sebabnya Kepala Daerah terhebat  seperti Jokowi di DKI atau Solo, Ridwan Kamil di Bandung, Ibu Tri Risma Harini  di Surabaya yang tetap saja terkesan lambat mengeskalasi pertumbuhan kemakmuran didaerahnya. Mereka harus menari diatas lantai demokrasi liberal yang licin.

Lihatlah faktanya bahwa realisasi APBN/D setip tahunnya tidak lebih dari 70% dan itupun sebagian besar realisasi anggaran yang ada tanpa perlu ada kebijakan khusus dari kepala daerah seperti gaji PNS atau belanja rutin. Sementara anggaran yang berkaitan dengan program kerja Kepala Daerah yang diusungnya semasa kampanye menjadi hanya cerita sehari hari yang tingkat realisasinya sangat lambat. Mengapa?  Tidak semudah membalik telapak tangan untuk mengeksekusi programnya. Kekuatan di DPR/D punya cara ampuh untuk mengkritisi program itu sehingga terjadi tarik ulur untuk sampai adanya konsesus.Ingat bahwa DPRD yang merupakan kader partai juga punya idiologi yang harus diperjuangkannya. Bila program itu bertentangan dengan idiologinya maka sebisanya anggota DPRD itu akan besikap restriction. Kepala Daerah yang dipilih langsung rakyat menjadi Kepala Daerah yang sangat sibuk yang paling mudah dibenci dan dipuji. Karenanya ia harus selalu sibuk menjalin komunikasi dengan semua kekuatan yang ada didalam sistem demokrasi termasuk Pers dan LSM. Komunikasi dengan elite kekuatan itu sangat penting untuk menjaga mementum  dukungan agar program kerjanya tidak mengalami hambatan. Ini memang melelahkan dan jangan kaget bila APBD baru bisa dipakai biasanya terlambat tiga bulan setelah tanggal tahun berlaku APBD. Bagi Kepala Daerah yang tidak mampu menjalin komunikasi atau diplomasi dengan kekuatan lain dan mencoba culas maka hanya masalah waktu kekuatan yang diluarnya akan menggiringnya menjadi pasien KPK.
 
Sebagian besar proyek yang berkaitan dengan PPP ( Public Private Partnership) terhambat realisasinya karena tidak bisa leluasanya Kepala Daerah memberikan izin yang berkaitan dengan wewenangnya. Hal ini karena dia harus mempertimbangkan bukan hanya soal manfaat sosial dari proyek dalam jangka panjang tapi juga dampak moral yang bisa merusak citranya  akibat izin yang diberikannya. Andaikann izinpun diberikan, Kepala Daerah juga tidak bisa berbuat banyak bila suatu saat izin itu dipermasalahkan oleh masyarakat. Contoh ada pengusaha yang telah punya Izin Lokasi dan Surat Izin Peruntukan Tanah untuk membangun proyeknya namun tak berdaya ketika ada LSM yang menghadang dan kemudian bila sudah ada yang protes maka selanjutnya DPRD akan bersuara dengan hak yang dilindungi oleh UU menekan Kepala Daerah. Andaikan Kepala Daerah mencoba melakukan konsesus dengan menyuap DPRD, itu juga tidak mudah.  Karena KPK atau aparat Kejaksaan sudah berada dipinggir ring untuk siap memangsa siapa yang salah dan kalah. Contoh kasus seperti ini tidak sedikit. Ada banyak sekali kasus yang intinya kebijakan Kepala Daerah terhadap suatu proyek pada akhirnya stuck hanya karena adanya kekuatan by system membuat kepala daerah menjadi lemah. Ini belum lagi proyek yang berhubungan dengan APBD.

Kepala Daerah harus bisa berdamai dengan DPRD , bukan hanya soal pendapat yang harus sama tapi juga “pendapatan “ harus sama. Karena harap maklum bahwa baik anggota DPRD maupun kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat dan ini tidak gratis. Perlu ongkos mahal yang harus ada cost recovery dari jabatan yang ada. Hasilnya ? sejak ada Pilkada Langsung telah terjaring  3600 anggota DPRD dan 160 kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi. Apa artinya ? memang by system tidak ada satupun yang bisa aman dari perbuatan jahatnya. Apakah dengan itu sistem Pilkada Langsung salah? Tentu tidak! Justru ini menunjukan sistem yang diinginkan oleh pro-demokrasi bekerja efektif untuk memastikan siapapun yang pegang amanah rakyat tidak bisa bebas berbuat KKN. Tapi dampaknya adalah sistem tidak efektif mempercepat eskalasi pertumbuhan ekonomi. Semua pejabat takut kena KPK dan selalu play safe dan By system Pilkada Langsung membuat lemahnya kepemimpinan. Teman saya seorang consultant mengatakan bahwa walau tidak ada tindak korupsi namun jangan dikira waktu berlalu sia sia tanpa program nyata bukanlah kejahatan. Ingat setiap detik waktu terbuang berapa uang negara keluar untuk membayar biaya rutin pemda yang minus kontribusinya itu? Ini tidak sedikit. Selain itu setiap hari rakyat bukannya berkurang tapi terus bertambah dengan kelahiran bayi, yang membutuhkan semakin besar tanggung jawab sosial negara kepada rakyat. Apa jadinya bila keadaan ini terus dipertahankan? Secara nasional ini akan semakin membuat beban semakin menumpuk sampai pada batas tak bisa diselesaikan.

Apa jadinya bila berbagai peluang ekonomi akibat geostrategis regional dan international akhirnya hanya selesai diatas meja dan diruang seminar tanpa ada implementasi, hanya karena harus menjaga check and balance bekerja efektif? Demikian kata teman saya yang juga anggota Partai. Kita memang butuh check and balance namun kita juga sangat butuh sistem kepemimpinan yang kuat. UU Pilkada melalui DPRD memang dirancang membuat kepala daerah powerfull karena ada peran partai sebagai pusat penyeimbang antara Anggota DPRD dan Kepala Daerah.  Kalau anggota DPRD mencoba menghalangi program kerja Kepala Daerah maka Partai bisa pecat anggota DPR/D, itu diatur dalam UU MD3. Selain itu, Presiden sebagai Kepala Negara semakin powerful karena berdasar UU Pemda yang baru, presiden bisa memberhentikan Kepala Daerah bila tidak  menjalankan program pemerintah pusat atau tidak disiplin. Dengan demikian dapat dipastikan kedepan, kepemimpinan ditingkat nasional maupun daerah menjadi kuat dan tentu efektif mengeskalasi pembangunan. Namun secara pribadi saya tidak setuju Pilkada melalui DPRD lebih karena adanya UU MD3 dimana Partai sangat berkuasa terhadap anggota DPRD. Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh DPRD , dan ini bisa saja karena perintah Partai.

Saya tidak percaya kepada elite partai yang 90% adalah pengusaha. Mereka bisa saja membuat kartel untuk menguasai sumber daya daerah melalui tangan mitra bisnisnya dari dalam maupun luar negeri. Sebagai pengusaha, bagi saya Pilkada melalui DPRD adalah peluang bisnis tapi sebagai pribadi saya melihat ini ancaman bagi keadilan. Saya berpihak kepada keadilan. Bagaimanapun ya kembali kepada akhlak

2 comments:

Rinaldy Roy said...

Bagaimana kalau ANGGOTA DPR CUKUP 11 ORANG SAJA, 10 dari Partai dan 1 Ulama Yang Zuhud.?

Karena mekanisme pengambilan keputusan ujung2nya voting dan mereka bisa dipecat/recall jika berbeda dengan suara partai.

Rinaldy Roy said...

Keterwakilan GOLPUT di DPR ?

Melihat suasana lebih yg lebih "terjaga" di sidang MPR yg disebabkan "posisi" DPD, maka ada baiknya jumlah golongan di DPR yang saat ini 10 menjadi 11 yg bersifat Independent atau golongan Golput.

Kemudian berapa jumlahnya ?

Salah satu formulanya : GI (Golput Independent) = persentase golput (dr total jumlah pemilih) x total anggota dpr ( yg dr parpol).

Tapi GI ini tidak mendapat tempat sebagai Ketua/Wakil Ketua DPR

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...