Sunday, September 1, 2013

Rupiah dan inflasi

Tanggal 13 juni BI menaikan suku bunga acuan ( BI rate ) dari 5,75% menjadi 6%. Kemudian tanggal  11 juli kembali BI Rate naik 50 basis poin (bps) menjadi 6,5 persen. Suku bunga Fasilitas Simpanan BI juga naik 50 bps menjadi 4,75 persen, sementara suku bunga Lending Facility tetap 6,75 persen. Dipenghujung agustus ini kembali BI Rate naik sebesar 50 bps menjadi 7,00 persen, suku bunga Lending Facility (LF) sebesar 25 bps menjadi 7,00 persen, dan suku bunga Deposit Facility (DF) sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen. Artinya dalam tiga bulan terjadi tiga kali kenaikan BI rate. Apa penyebabnya ? tentu sebagai reaksi pemerintah mengerem laju inflasi dan melorotnya rupiah.  Suku bunga adalah instrument kebijakan seperti obat antibiotic, yang bisa langsung dirasakan dampaknya bagi sisakit namun tidak menyembuhkan penyebab penyakit itu sendiri. Hanya masalah waktu, penyebab penyakit itu akan datang lagi. Begitupula dengan kenaikan suku bunga bukanlah instrument memperbaiki kurs mata uang dan inflasi. Kenaikan suku bunga hanya peredam gejolak saja. Yang pasti bahwa kebijakan menaikkan suku bunga acuan adalah tidak pro sektor riel. Ini semakin menunjukan keadaan sebenarnya bahwa pemerintah tidak punya rasa percaya diri atas design pembangunan yang ada selama ini.  Pemerintah panic dan keliatan dibawah tekanan konspirasi para pemain uang dibursa.

Semua tahun bahwa kenaikan suku bunga akan berdampak kepada naiknya bunga deposito dan bunga simpanan masyarakat. Ini tentu sangat menguntungkan orang kaya yang menumpuk uang korupnya di perbankan. Disisi lain mendorong naiknya suku bunga pinjaman yang diberikan perbankan. Ini akan membebani sektor produksi dan dalam jangka panjang bisa menimbulkan NPL, apalagi situasi pasar global yang menyusut dan jatuhnya harga komoditas utama Indonesia.  Masyarakat juga akan menanggung beban kenaikan bunga kredit pada pinjaman seperti perumahan dan kendaraan. Kredit konsumen kemungkinan besar terpengaruh. Menurunnya kredit konsumen akan menekan pula konsumsi masyarakat. Gejala perlambatan konsumsi domestik beberapa bulan terakhir dikhawatirkan akan terus berlangsung dan semakin membuat pertumbuhan ekonomi yang bersandar kepada konsumsi akan jatuh. Perlambatan pertumbuhan PDB yang terjadi pada paruh pertama 2013 bisa berlanjut pada tahun 2014. Efeknya ke penciptaan lapangan kerja. Situasi ini kian memberatkan masyarakat yang kini dihadapkan pada lonjakan harga. Bunga utang yang harus dibayar pemerintah juga meningkat dan semakin lemahnya daya dukung APBN untuk expansi social.

Dalam praktek selalu misal ; bila suku bunga 7 % maka inflasi akan menjadi 14% dan bunga pinjaman bank akan sebesar 17 % ( selisihnya untuk margin bank). Sehatkah ini? Hasil penelitian Robert Shiler tahun 1997  bahwa 77 persen dari masyarakat yang di survey menyatakan bahwa inflasi mengganggu daya beli mereka dan membuat mereka lebih miskin. Jika inflasi membuat orang lebih miskin dan kita ketahui bahwa inflasi mempunyai hubungan yang positif terhadap bunga, maka ini berarti bahwa “suku bunga membuat orang lebih miskin”. Dengan kata lain suku bunga merusak daya beli dan memiskinkan orang yang meminjam uang maupun yang tidak meminjam uang serta menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain “Inflasi = bunga” yaitu sama-sama menurunkan daya beli masyarakaat dan menjadikan masyarakat lebih miskin. Berdasarkan analisis Michael Lipton tahun 1992 menyimpulkan bahwa, semakin tinggi suku bunga maka semakin rendah insentif untuk menerapkan teknik pertanian yang memperhatikan konservasi lingkungan. Dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa makin tinggi suku bunga maka makin besar kemungkinan rusaknya lingkungan dan akan semakin besar sumber daya yang dikuras, akibatnya akan semakin cepat bumi ini rusak.

Menurut saya sudah saatnya pemerintah tidak lagi menerapkan inflation targeting dalam kebijakan moneter dimana Inflasi dijaga terus rendah dengan menahan peredaran uang di masyarakat. Dan cara yang dipakai selalu sama, yakni menaikkan suku bunga. Biarkan saja rupiah  bergerak sesuai kehendak pasar. Sudah saatnya pemerintah untuk berani membuka borok yang selama ini disimpan rapat demi citra. Biarkan rakyat tahu bahwa inflasi kita dua digit. Berapapun inflasi tidak ada masalah selagi rakyat mampu belanja dan barang tersedia. Berapapun nilai rupiah tidak ada masalah selagi kegiatan produksi terus berkembang. Karenanya sudah saatnya pemerintah focus kepada memperkuat neraca pembayaran dan neraca perdagangan. Ini berhubungan dengan kebijakan sektor rill yang bertumpu kepada kemandirian dibidang ekonomi. Jika pemerintah dan BI tetap memilih mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi demi orang kaya , pemulihan dari keterpurukan sektor riil nanti membutuhkan waktu lama. Kalau kegiatan usaha terganggu, maka ujung – ujungnya akan memicu terjadinya gelombang PHK, dan revolusi tidak bisa dihindari. Chaos terjadi, maka terjadilah…

1 comment:

Adhamaski Pangeran said...

justru BI Rate di naikkan untuk meredam inflasi. Naiknya BI Rate dan suku bunga akan menurunkan jumlah uang beredar; kalau rupiah bergerak sesuai dengan pasar, yang rugi justru masyarakat kecil.

inflasi itu bisa karena kebijakan moneter dan fiskal. BI Rate itu kebijakan moneter menekan inflasi. tapi kebijakan moneter saja tidak cukup (seperti tulisan anda), makanya perlu ada kebijakan fiskal. keb.fiskal yg keluar itu 4 paket kebijakan pemerintah. pertanyaannya yg semestinya itu, apa keb.moneter dan keb.fiskal saja sudah cukup? apakah efektif?

jangan campur adukkan masalah fiskal dan moneter dari salah satu sisi saja (misalnya moneter aja, atau fiskal aja)

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...