Ditengah rencana pemerintah akan menaikkan harga BBM, teman bertanya kepada saya apakah benar ada mafia dalam business minyak ? pertanyaan ini diajukannya karena semua tahu bahwa pada saat sekarang Indonesia menjadi net importer minyak. Pengadaaannya diatur oleh Pertamina Energy Trading Ltd (Petral ) yang merupakan trading arm Pertamina bermarkas di Singapore. Suara miring yang selama ini terdengar dimana Petral sebagai kepanjangan tangan dari elite politik untuk mendapatkan komisi dari pengadaan BBM ini. Sebagai praktisis saya katakan kepada teman bahwa mafia perdagangan minyak benar adanya. Namun mafia mekanisme tender dapat dipastikan tidak mungkin terjadi. Mengapa ? tanya teman saya. Karena proses tender minyak itu dilakukan dengan standard international trade dan pemerintah Singapore punya system pengawasan ketat sebagai trade center berkelas dunia.
Justru keberadaan mafia business minyak yang sudah menggurita diseluruh dunia, telah membuat setiap Negara tidak berdaya bermain main dengan system tender. Dalam system tender ini dipastikan siapapun yang tidak qualified sebagai supplier akan tergusur dengan sendirinya. Siapakah yang qualified itu ? ya mereka yang tergabung dalam sindikat perdagangan minyak kelas dunia. Makanya jangan kaget bila pemenangnya itu itu saja. Ini tidak ubahnya dengan pasar uang dalam arena 144 A SEC act dimana hanya pemain yang dianggap sebagai QIP ( Qualified institutional Purchaser ) yang bisa ikut lelang bond berkatagori AAA atau No risk. Minyak dan uang bagaikan sejalin sedarah. Hanya mereka yang benar benar qualified atau mereka yang menguasai stock dan bunker yang bisa masuk dalam proses tender. Bunker dalam sindikat perdagangan minyak tidak selalu berada di refinery tapi bisa juga bunker berjalan yang siap berlabuh dimanapun apabila harga disepakati dan uang tersedia untuk membayar tunai.
Dalam business perdagangan minyak tidak dikenal dengan istilah structure financing. Semua harus bicara cash. Ini transaksi tidak berkisar jutaan dollar tapi sudah mencapai ratusan juta dollar. Nah sudah dapat ditebak bahwa pedagang minyak adalah mereka yang juga menguasai peredaran uang didunia. Mereka umumnya punya access ke system keuangan global yang dengan cepat bergerak untuk menguasai stock refinery. Melalui sindikat perbankan international mereka juga sudah menguasai crude oil sebelum diangkat dari perut bumi. Karena maklum hampir semuan perusahaan drilling oil bergantung dengan pinjaman lembaga keuangan. Sebagai salah satu syarat pinjaman adalah adanya ketentuan akan offtaker market. Para offtaker ini umumnya punya hubungan khusus dengan lembaga keuangan karena mereka juga bertindak sebagai pensuplai likuiditas perbankan.
Apalagi stock dalam perdagangan minyak sudah masuk dalam bursa derivative,yang sehingga supply sampai daengan tiga bulan kedepan sudah habis dikuasai oleh pedagang dibursa. Karena sudah menggurita diseluruh dunia maka tidak mudah bagi setiap Negara untuk mengontrol demand and supply pada harga yang rasional. Suka tidak suka, harga pada akhirnya ditentukan oleh segelintir trader yang menguasai stock. Pada situasi ini segala hal mereka lakukan untuk mempermainkan harga. Mungkin ada kekuatan broker yang mengandalkan hubungan kedekatan dengan pejabat di Jakarta tapi Pertamina ( buyer ) tidak mau ambil resiko bila tidak ada kepastian delivery. Untuk memastikan delivery pihak broker harus bisa menunjukan proof of product dalam bentuk certificate product dari bunker atau refinery. Ini tidak mudah karena untuk menguasai stock , broker harus punya uang tunai sebagai jaminan. Umumnya broker tidak punya uang kecuali akses ke barang dan politik. Dalam Trading oil , ini tidak laku untuk menjadi pemenang tender. Hal inilah yang kadang orang awam tidak paham.
Hal lainnya yang jadi pertanyaan awam selama ini adalah mengapa pemerintah melalui BUMN seperti Pertamina tidak membuat penyulingan minyak ( Refinery ) sendiri sesuai kebutuhan dalam negeri ? kata teman saya. Menurut saya bahwa Investasi refinery bukan investasi kecil. Ini menyangkut dana raksasa. Minimum untuk kapasitas kecil diperlukan dana ratusan juta dollar. Kalau yang menengah bisa mencapai miliaran dollar. Persoalannya adalah resiko business refinery adalah jaminan supply crude oil. BIsa dibayangkan apa yang terjadi dengan investasi kilang berskala raksasa bila tidak ada jaminan bahan baku untuk ber produksi. Memang acap saya dengar rencana pendirian refinery didukung oleh beberapa perusahaan minyak kelas dunia tapi ini hanya dokumen yang tidak bisa menjamin apapun. yang bisa menjamin adalah uang. Siapa yang punya uang ?
Bila jaminan supply crude oil tidak ada maka tidak ada perbankan atau private investor yang akan masuk. Resikonya sangat besar. Pertamina saja harus mengeluarkan segala sumber dayanya untuk mendapatkan pasokan crude melalui pasar international agar pusat penyulingannya di Dumai Aceh, Balongan, Cilacap, Balikpapan dan Kasim Papua dapat berproduksi. Itupun dalam kapasitas tidak penuh maklum sebagian besar kilang itu sudah berumur lebih dari dua puluh tahun. Makanya sebagian kebutuhan BBM di import langsung. Walau kini pemerintah sudah memberikan izin kepada 20 perusahaan dalam dan luar negeri untuk membangun kilang namun , menurut saya itu tak lebih project mimpi. Terbukti project refinery Selayar di Sulawesi sejak tahun 1996, sampai kini belum terbangun, belum lagi yang lainnya. Kita akan selalu tergantung dengan kekuatan segelintir pemain minyak yang menguasai hulu sampai hilir, termasuk financial resource. Sementara kita tidak bisa menunda akan kebutuhan minyak dalam negeri.
Hal lainnya yang jadi pertanyaan awam selama ini adalah mengapa pemerintah melalui BUMN seperti Pertamina tidak membuat penyulingan minyak ( Refinery ) sendiri sesuai kebutuhan dalam negeri ? kata teman saya. Menurut saya bahwa Investasi refinery bukan investasi kecil. Ini menyangkut dana raksasa. Minimum untuk kapasitas kecil diperlukan dana ratusan juta dollar. Kalau yang menengah bisa mencapai miliaran dollar. Persoalannya adalah resiko business refinery adalah jaminan supply crude oil. BIsa dibayangkan apa yang terjadi dengan investasi kilang berskala raksasa bila tidak ada jaminan bahan baku untuk ber produksi. Memang acap saya dengar rencana pendirian refinery didukung oleh beberapa perusahaan minyak kelas dunia tapi ini hanya dokumen yang tidak bisa menjamin apapun. yang bisa menjamin adalah uang. Siapa yang punya uang ?
Bila jaminan supply crude oil tidak ada maka tidak ada perbankan atau private investor yang akan masuk. Resikonya sangat besar. Pertamina saja harus mengeluarkan segala sumber dayanya untuk mendapatkan pasokan crude melalui pasar international agar pusat penyulingannya di Dumai Aceh, Balongan, Cilacap, Balikpapan dan Kasim Papua dapat berproduksi. Itupun dalam kapasitas tidak penuh maklum sebagian besar kilang itu sudah berumur lebih dari dua puluh tahun. Makanya sebagian kebutuhan BBM di import langsung. Walau kini pemerintah sudah memberikan izin kepada 20 perusahaan dalam dan luar negeri untuk membangun kilang namun , menurut saya itu tak lebih project mimpi. Terbukti project refinery Selayar di Sulawesi sejak tahun 1996, sampai kini belum terbangun, belum lagi yang lainnya. Kita akan selalu tergantung dengan kekuatan segelintir pemain minyak yang menguasai hulu sampai hilir, termasuk financial resource. Sementara kita tidak bisa menunda akan kebutuhan minyak dalam negeri.
Jadi suka tidak suka, pemerintah diseluruh dunia termasuk Indonesia sudah terjebak oleh mafia perdagangan minyak yang begitu perkasa dan bermain canggih lewat SOP tender oil international, dimana hanya mereka yang berhak dan pantas sebagai pemenang. Sebentar lagi harga minyak akan naik dan kita meradang dengan ketidak berdayaan APBN menyediakan subsidi. Inilah akibat dari pasar bebas. Secara system kita terjajah dan benar benar terjajah, bukan oleh Negara lainn tapi oleh kekuatan kapitalis…
No comments:
Post a Comment