Saturday, August 6, 2011

...kesejahteraan rakyat ?

Ada cerita teman yang bergerak dibidang Kontraktor. Dia cerita bahwa dia harus melobi anggota DPR untuk meloloskan mata anggaran yang diajukan instansi pemerintah. Anggota DPR yang tahu percis bahwa loby itu atas pesanan pejabat pemerintah maka akan menggunakan kesempatan itu untuk mark up project. Maka konspirasi dibangun, pertemuan intensif diadakan secara sembunyi sembunyi dihotel berbintang. Dan jangan terkejut bila anggaran itu cukup besar, pejabat pemerintah minta pula pengusaha untuk mengatur lembaga pengawas seperti BPK dan KPK untk dilibatkan sebagai bagian dari konspirasi. Ketika masuk pembahasan legistatif sudah pasti bisa ditebak anggaran itu akan lolos. Ketika tender dilaksanakan, proses bagi membagi pendapatan semakin meluas kelevel yang lebih rendah untuk tentu akhirnya pengusaha itu sebagai pemenang project.

Itulah mengapa kasus Nazaruddin begitu hebatnya menggetarkan publik namun negara nampak tak berdaya menghadapinya. Walau sebelumnya begitu mudah para Petinggi Partai Demokrat bertemu dengan Nazaruddin di Singapore namun setelah kasus ini melebar maka Nazaruddin menjadi hantu. Ada tapi tiada. Siapakah yang mengtiadakan ittu hingga Nazaaruddin tak bisa mudah diseret ke KPK. Dibelakang Nazarudddin itu ada proses , ada sederetan nama pejabat, ada uang yang bertebaran, tentu ada kepentingan agenda. Anda bisa tebak sendiri apakah itu. Begitulah cermin betapa korupsi dinegeri ini bukan lagi korupsi tradisional tapi sudah menjadi korupsi by design. Rezim demokrasi , demokratisasi anggaran katanya, maka APBN menjadi kanal yang efektif untuk korupsi lewat sharing power , dan by design itu tercermin pada APBN.

Dari buruknya penyusunan anggaran di tingkat Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (RKKL). Berbagai kelemahan sistemis dalam pengelolaan anggaran, baik di sisi penerimaan, belanja, maupun akuntabilitas, ditentukan oleh pelaku utama, yakni yang memutuskan anggaran dan yang menggunakan anggaran. Diperkirakan ratusan triliun dari berbagai pos anggaran itu terbuang sia-sia akibat penyusunan program yang salah sasaran dan cenderung digunakan sebagai alat untuk politisasi kebijakan ekonomi guna kepentingan golongan tertentu. Data riset LSM ( FITRA) , inefisiensi anggaran negara di berbagai bidang, proses, dan tingkatan mencapai hampir 40 persen. Sebagian bilang karena lemahnya pengawasan. Walau sistem pengawasan dari sejak DPR, BPK, KPK, Irjen, BPKP, namun pemborosan terus terjadi. Ya bagaimana mau diadakan pengawasan bila antara yang mengawasi dan yang diawasi sudah terjalin konspirasi untuk kepentingan pribadi.

Yang sangat menyedihkan belanja rutin pemerintah ( belanja Pemerintah Pusat seperti subsidi BBM dan listrik, belanja pegawai, dan pembayaran bunga utang. dan Transfer ke Daerah ) terus meningkat menyedot alokasi anggaran pembangun untuk program kesejahteraan. Data Bank Dunia pada 2009, menunjukkan fungsi anggaran perlindungan sosial di Indonesia hanya dinikmati 10 persen penduduk miskin. Itu disebabkan belanja rutin pemerintah terus meningkat yang salah satu posnya adalah pembayaran bunga dan cicilan hutang. Angka pembayaran utang Rp 115,21 triliun. Sementara alokasi anggaran perlindungan sosial hanya Rp 4,58 triliun dan alokasi anggaran kesehatan Rp 13,65 triliun. Data pokok APBN 2011 terlihat defisit anggaran Rp 124,65 triliun. Angka itu didapat dari pengurangan antara pos pendapatan negara dan hibah Rp 1.104,90 trilun dan belanja negara Rp 1.229,55 triliun. Pada APBN Perubahan 2010, defisit anggaran Rp 133,74 triliun. Sebagian besar pembiayaan diperoleh dengan cara pemerintah mengeluarkan surat utang baru. Ini gali lubang tutup lubang. Inilah jebakan APBN.

Suka tidak suka, APBN tidak lagi berfungsi mensejahterakan rakyat tapi tidak lebih sebagai alat politik kekuasaan untuk kepentingan segelintir orang diatas tesis bahwa mensejahtarakan rakyat banyak tidak lah mudah dan tidak bisa cepat. Inilah membuat saya termenung dan kehabisan kata untuk mengungkapkannya. Namun ada satu tekad yang harus ditanamkan bahwa ini harus dihadapi, harus diperangi. Walau perang tak selamanya berarti bau amis darah dan misiu. Ketidak adilan tidak bisa diserahkan penyelesaiannya ditangan pemerintah lewat administrasi negara. Karena negara akan selamanya terbatas dan culas. Semuanya kembali kepada diri kita sendiri. Apakah masih tetap mempercayai ini semua sebagai sebuah system yang berproses pada perbaikan ataukah memang system ini harus dihentikan, dan diganti. Entahlah..

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...