Wednesday, August 26, 2009

Politik dan Pangan

Berita kompas tanggal 24/8 dimana kebutuhan import produk pangan mencapai USD 5 miliar pertahun. Namun dari segi beras pemerintah dapat berbangga karena berhasil mencapai swasembada. Benarkah ? Sejak tahun 1984 Indonesia tidak pernah mencapai swasembada beras. Publikasi soal swasembada ini tidak lebih hanya jargon politik untuk meningkatkan citra pemerintah dihadapan rakyat. Berdasarkan perhitungan produksi nasional, swasembada itu termasuk sisa stock beras import yang ada digudang Bulog. Keliatannya rakyat cepat lupa soal hebatnya Bulog melakukan inport tahun tahun sebelumnya. Buktinya, tahun ini, Indonesia kembali berencana mengimpor beras, karena alasan produksi dalam negeri diprediksi jauh berada di bawah kebutuhan nasional akibat kemungkinan badai El Nino. Padahal menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, diperkirakan dampak El Nino masih kecil, namun pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 2 triliun untuk mengantisipasi masalah ini.

Kebutuhan akan produk pangan lainnya yang masih tergantung import lebih disebabkan kebijakan pemerintah tidak comprehensive. Pemain atau importir sangat kuat pengaruh lobynya kepada penguasa untuk memingigirkan rakyat agar lemah berproduksi.. Petani sapi perah mendulang nestapa karena kalah bersaing dengan susu import. Siapa pemain industri susu itu ? Sebagian besar asing yang menyerap 70% impor susu. Tanpa ada alternatif pasar, posisi peternak sapi perah akan selalu lemah. Sejak tahun 2001 hingga 2006, susu segar peternak selalu dibeli IPS dengan harga jauh di bawah harga bahan
baku susu impor setara susu segar. Sementara itu, ketika harga susu impor melambung tahun 2007/2008, kenaikan harga beli susu segar dalam negeri tidak setinggi susu impor. Justru pemerintah memberikan facilitas bebas bea masuk bagi importir susu segar. Petani sapi perah semakin tak punya bargain untuk memperbaiki harga ditengah kekuatan pasar yang dikuasai segelintir pemain.

Kedelai, kita tidak mungkin bisa swasembada. Karena loby senat AS sangat kuat membuat pemerintah tidak punya kekuatan untuk memberikan kebijakan purna terhadap produk pangan ini. Begitupula Garam. Bagaimana mungkin PN Garam tidak mendapat dukungan penuh dari segi permodalan ( revitalisasi ) dalam menyangga produksi garam petani ? Semua tahu bahwa importir garam sekarang dikontrol oleh ”pendekar sembilan ” yang juga menguasai import gula ( Refinery). Soal perikanan juga tak ada bedanya. ”Pendekar Sembilan ” yang bekerja sama dengan asing menguasai penangkapan ikan dengan menggunakan floating processing dan eksport langsung dari ZEE tanpa dapat dideteksi oleh bea dan cukai. Kemudian , mereka jual lagi ( re eskport ) ke Indonesia untuk memenuhi industri pengalengan ikan ( food industry ).

Begitupula dengan sapi. Semua tahu bahwa import sapi ini dikuasai oleh segelintir orang yang punya akses kekuasaan dan modal. Pemerintah masih menganggap import sapi pada batas yang wajar karena dibawah 30% dari total kebutuhan daging nasional. Atas dasar inilah , kebijakan peternakan belum peduli rakyat. Namun peternak asing yang ada di Australia diuntungkan.

Ini semua karena kebijakan pro pasar bebas. Pemerintah hanya melihat pemenuhan kebutuhan ( pasar ) dan tidak penting dari mana asal barang tersebut. Tidak penting bila karena impor itu devisa terkuras. Karena selagi SUN Valas masih laku dijual , untuk apa repot mikirin produksi petani yang manja minta subsidi. Subsidi itu anti pasar dan kalaupun ada hanya jargon politik. Implementasinya ..luaaar biasa sulitnya.

Berkaca dengan China, yang mempunyai pusat riset dibidang agro menelan anggaran USD 10 millar pertahun ( Rp. 100 triliun ) dan memiliki bank tani ( Agriculture Bank of CHina). Pemerintah China, tahun kemarin mem bail out hutang petani sebesar USD 19 Milliar dan tahun ini akan kembali di bail out dengan nilai USD 320 miliar ( 3200 triliun rupiah ). Ditengah crisis global, susbsi diutamakan kepada rakyat, kredit dipermudah, bunga ditekan dan restruktur hutang petani dilakukan dengan cepat, landreform dilaksanakan. .
Ditengah kecaman negara maju dalam G20, china tidak peduli. Karena bagi mereka kepentingan mayoritas adalah segala galanya , utamanya ketika pasar tak lagi bersahabat maka negara digaris depan mengawal rakyat dari ketidak adilan pasar.

Seharusnya bagi pemeritnah SBY Budiono yang mendapat mandat 60 % rakyat sudah cukup alasan mendepak pemain kunci dibidang import pangan tersebut dan kembali mengarahkan semua resouce nasional bagi kekuatan penduduk mayoritas ( Petani dan nelayan). Itupun kalau pemerintah sadar mereka dipilih oleh rakyat..

1 comment:

Blog Watcher said...

RAMAH IMPORT UNTUK MEMISKINKAN RAKYAT!!




Demi program ketahanan pangan, tim ekonomi pemerintahan (SBY) Susilo Bambang Yudhoyono menggelontorkan Lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50 triliun untuk import kebutuhan pangan agar tercukupi kebutuhan pangan nasional.

Komoditas import tersebut meliputi kedelai, gandum, daging sapi, susu, dan gula. Bahkan, garam yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma dari alam tetap masih harus diimpor. Nilai nya cukup fantastis 1,58 juta ton per tahun senilai Rp. 900 miliar.

Dampak kebijakan ramah import ini jelas, mengabaikan pengembangan potensi pangan lokal akibatnya puluhan ribu petani garam di sebagian besar pesisir Nusantara secara perlahan menganggur. Petani yang berlahan sempit harus berhadapan dengan komoditas pertanian impor yang disubsidi besar. Ini sama halnya dengan pemerintah membiarkan ketidakadilan berlaku di negara kita.

Sebagian ahli ekonomi berpendapat, kebijakan ini diambil karena kualitas barang import yang lebih baik dan harga lebih murah. Namun, kebijakan ini akan berdampak berupa kehilangan peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar dan pengurangan jumlah penganggur tidak akan maksimal. Dengan kata lain kebijakan ramah impor tidak bisa menyubstitusi kebutuhan masyarakat terhadap pekerjaan!!

“Coba bayangkan dengan anggaran 5 miliar dollar AS akan menyerap berapa banyak tenaga kerja!!”

Karena itu, komoditas apa pun yang memungkinkan untuk diproduksi sendiri harus dilakukan secara optimal oleh pemerintah dan semua pemangku kepentingan.

Perang dunia ke 3 ?

  CEO JPMorgan Jamie Dimon saat berbicara di Institute for international finance mengatakan adanya potensi terjadinya   Perang Dunia 3. Tent...