Tahun 2008. Tahun start kampanye Pemilu. Semua Partai yang sudah lebih dulu menikmati sejuknya AC disenayan , juga sudah siap ancang ancang untuk mempertahankan korsinya. President dan Wapres yang ada di Istana juga siap melakukan konsolidasi dengan seluruh jajaran Partai yang ada dipusat maupun di daerah. Tak ketinggalan para pensiunan Jenderal dan mantan pejabat ORBA serta professional muda yang kecipratan rezeki di era reformasi, juga mulai membangun jaringan untuk membuat partai. Kita patut berbangga. Apalagi, tak ada satupun para pejabat, elite ,Kiyai, tentara yang bosan dengan kekuasaan. Seakan memang nampak mereka cinta kekuasaan atau mungkinkah juga cinta dengan negeri ini; Ingin berbuat lebih. Ingin menyumbangkan sesuatu bagi negeri yang dicintainya. Kalau ada orang lain bilang “ sudah cukup, gentian dong” mereka tentu akan tersinggung.
Negeri ini seakan begitu banyaknya orang yang peduli untuk memimpin dan memikirkan nasip bangsa. Benarkah ? Kita tidak bisa menyumbangkan nilai positip bagi mereka para rezim yang pernah berkuasa. Kenyataannya adalah negeri ini hanya berhasil mengusir penjajah asing namun tidak pernah bisa keluar dari kekuatan asing. Keliatannya para pecinta kekuasaan hanya pandai membangun emosi rakyat untuk mendukungnya tapi tidak mengerti menterjemahkan arti “Kekuasaan bagi sebuah negeri MERDEKA. Bagaimanapun hutang luar negeri adalah bentuk lain dari system neocolonialism. Lihatlah hutang luar negeri sejak era Soekarno sampai SBY , hutang tidak pernah turun. Terus meningkat. 1945-1967 adalah 2,5 miliar dollar AS, maka pada era Soeharto 1967-1998 jumlah hutang meningkat menjadi 54 miliar dolar. Di akhir pemerintahan Habbibie US $. 74 milyar dan menjadi US $. 76 milyar di akhir pemerintahan Megawati. Posisi hutang luar negeri sekarang di era SBY , keseluruhannya mencapai 155,29 miliar dollar AS. Ini terdiri atas pinjaman yang diperoleh dengan perjanjian utang senilai 64,34 dollar AS dan penerbitan obligasi negara sebesar 90,95 miliar dollar AS. Itu prestasi mereka,
Data tersebut diatas dapat kita lihat dengan mudah di situs Departemen Keuangan atau laporan dari Media Massa. Publik mungkin tidak banyak tahu dan tetap percaya bahwa hutang bukanlah masalah besar. Karena mungkin rakyat tidak pernah merasa berhutang dan memang pemerintah selalu berkata bahwa seluruh hutang tidak akan membebani rakyat. Bahkan , para ekonom yang duduk di kabinet merasa bangga bila mereka berhasil mendapatkan hutang luar negeri melalui penjualan global bond. Mereka berkata “ Ini bukti tingkat kepercayaan asing kepada kita semakin tinggi”. Cukupkah kepercayaan asing ini sebagai modal membangun sebuah negeri. ? Mari kita lihat kenyataan yang ada. Menurut kalkulasi sederhana bahwa apabila tidak ada penambahan hutang baru ditahun tahun mendatang maka hutang luar negeri baru akan lunas tahun 2056!. Selama tahun tahun itu pula , kita harus rela menyumbangkan lebih dari 40% APBN untuk membayar hutang dan bunga. Artinya lebih hampir 40% alokasi APBN untuk kesejahteraan rakyat ( termasuk subsidi ) dikorbankan untuk rezim hutang masa lalu. Belum lagi efek inflasi yang ditimbulkan akibat APBN yang difisit. Semua itu yang bayar adalah rakyat dan terasa berat bagi rakyat yang tidak punya akses kepada keadilan ekonomi
Ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur oleh semua mereka yang pernah berkuasa dan yang akan mengejar kekuasaan. Mengapa hutang luar negeri begitu digemari ? Mungkin karena visi kekuasaan yang hanya sebatas usia jabatan. Atau rasa tidak percaya diri akan terus berkuasa. Maka selama ada kekuasaan , cara mudah untuk menarik dana sebanyak mungkin digunakan. Termasuk satu satunya cara adalah menarik hutang luar negeri. Cara ini akan efektif untuk membayar janji kepada rakyat agar tetap berkuasa. Walau sebetulnya tidak lebih membawa negeri ini kedalam lubang masalah besar bagi generasi mendatang. Mereka tidak peduli. Disamping itu, lingkaran dalam maupun luar dari kekuasaan mempunyai perasaan sama. Aji mumpung. Gunakan kekuasaan selagi ada dan tarik uang sebanyak mungkin selagi mungkin. Makanya tidak aneh , rezim berganti tidak bisa merubah rezim hutang.
Selama sekian rezim berganti dan pemerintahanpun berganti , yang berhasil hanya menciptakan kemakmuran bagi lingkaran dalam mapun luar kekuasaan. Para elite ini beraliansi secara langsung maupun tidak langsung dengan para petualang , sehingga menciptakan komunitas orang kaya baru yang super rakus dan melebihi dari kapitalis. Mereka inilah yanag membanjiri bandara ketika liburan sekolah. Yang memenuhi antrian beli apartement mewah. Yang selalu memburu mobil mewah. Bahkan tingkat inden tertinggi mobil import ada di Indonesia. Yang membuat mall super mewah terus bermunculan dikota kota besar. Mereka inilah yang sebetulnya ikut berperan membuat negera terpuruk dalam jebakan hutang. Merekapun menjadi elite negeri ini dan berada jauh sekali dari komunitas muram anak bangsa yang berada di pelosok desa, digubuk gubuk reot perkotaan.
Untuk mengetahui resource financial mereka ini baiklah kita lihat indikator keuangan ini. Data menyebutkan bahwa Per Juni 2006, total dana pihak ketiga di perbankan mencapai Rp 1.175 triliun dengan jumlah rekening sebanyak 96 juta. Dari jumlah tersebut 86 jutanya adalah mereka yang memiliki simpanan dibawah Rp. 100 juta atau 90% dari total simpanan diperbankan yang nilanya RP. 240 triliun. Sementara data LBH menyebutkan bahwa pemilik deposito diatas Rp. 5 miliar lebih berjumlah 14,000 orang lebih, yang tidak jauh berbeda dari data Merrill Lynch dan Capgemini dalam laporan tahunannya menyebutkan bahwa tingkat pertumbuhan tertinggi orang yang memiliki harta diatas USD 1 milliar di Asia Tenggara adalah Indonesia dengan HNWIs (High Net Worth Individuals/Individu = Nilai Kekayaan Bersih Tinggi) sebanyak 23,000 orang. Mungkin itu pula sebaab sejak penyusunan LKPP ( laporan keuangan Pemerintah Pusat ) dimulai tahun 2004, selama empat tahun berturut BPK memberikan "opini disclaimer" terhadap hasil pemeriksaan LKPP. Padahal, Indonesia telah empat tahun memberlakukan paket undang-undang keuangan negara tahun 2003-2004, delapan tahun pemberlakuan otonomi daerah yang luas dan 10 tahun gerakan reformasi. Artinya memang tidak ada transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Itulah faktanya.
Bila melihat data tersebut diatas , rasanya kita kesal dan marah. Tapi kemarahan yang terus terjadi akan mengawatirkan timbulnya revolusi sosial. Ini tidak boleh terjadi. Bangsa ini akan semakin terpuruk. Penyelesaiannya adalah keikhlasan para elite negeri ini untuk memutihkan hartanya untuk kepentingan pembangunan nasional tanpa hutang luar negeri. Cara ini dinilai elegant karena tidak menganeksasi uang deposan. Tapi melakukan SWAP deposito kepada Surat Hutang Negara. Lebih konkritnya adalah deposito diatas Rp. 5 miliar ditukar dengan Surat Hutang Negara berjangka waktu 25 tahun dengan tingkat bunga 0,5% pertahun. Para pemilik SUN dapat tetap menggunakan uangnya asalkan melalui skema pinjaman bank. SUN tersebut sebagai collateral utama dengan project sebagai underlying. Dengan cara ini akan memaksa orang berduit untuk masuk kesektor riel. Jangan ada lagi orang kaya hidup senang dari bunga bank. Sudah saatnya mereka menggunakan uang tersebut untuk kepentingan nasional. Dengan demikian ankatan kerja dapat ditampung dan potensi alam dalam diolah untuk kejayaan negeri.
Patut dicatat bahwa bahwa dana hasil SWAP ini tidak kecil Jumlahnya bisa diatas Rp. 900 triliun atau USD 100 miliar. Lebih dari cukup sebagai kekuatan ekonomi nasional untuk menggerakan sector riel tanpa harus berhutang lagi keluar negeri. Dana hasil SWAP ini juga digunakan untuk mendukung perekonomian yang berbasis sumber daya alam yang secara teknis dikuasai oleh rakyat sambil terus memacu riset pengembangan technology tepat guna. Apakah ada yang berani dan punya konsep untuk mengimplementasikan itu ? Kalau tidak ada yang berani maka percayalah bahwa PEMILU hanyalah pesta para elite untuk berbagi bagi kekuasaan tanpa ada keikhlasan berkorban untuk masa depan bangsa yang lebih baik. .
Negeri ini seakan begitu banyaknya orang yang peduli untuk memimpin dan memikirkan nasip bangsa. Benarkah ? Kita tidak bisa menyumbangkan nilai positip bagi mereka para rezim yang pernah berkuasa. Kenyataannya adalah negeri ini hanya berhasil mengusir penjajah asing namun tidak pernah bisa keluar dari kekuatan asing. Keliatannya para pecinta kekuasaan hanya pandai membangun emosi rakyat untuk mendukungnya tapi tidak mengerti menterjemahkan arti “Kekuasaan bagi sebuah negeri MERDEKA. Bagaimanapun hutang luar negeri adalah bentuk lain dari system neocolonialism. Lihatlah hutang luar negeri sejak era Soekarno sampai SBY , hutang tidak pernah turun. Terus meningkat. 1945-1967 adalah 2,5 miliar dollar AS, maka pada era Soeharto 1967-1998 jumlah hutang meningkat menjadi 54 miliar dolar. Di akhir pemerintahan Habbibie US $. 74 milyar dan menjadi US $. 76 milyar di akhir pemerintahan Megawati. Posisi hutang luar negeri sekarang di era SBY , keseluruhannya mencapai 155,29 miliar dollar AS. Ini terdiri atas pinjaman yang diperoleh dengan perjanjian utang senilai 64,34 dollar AS dan penerbitan obligasi negara sebesar 90,95 miliar dollar AS. Itu prestasi mereka,
Data tersebut diatas dapat kita lihat dengan mudah di situs Departemen Keuangan atau laporan dari Media Massa. Publik mungkin tidak banyak tahu dan tetap percaya bahwa hutang bukanlah masalah besar. Karena mungkin rakyat tidak pernah merasa berhutang dan memang pemerintah selalu berkata bahwa seluruh hutang tidak akan membebani rakyat. Bahkan , para ekonom yang duduk di kabinet merasa bangga bila mereka berhasil mendapatkan hutang luar negeri melalui penjualan global bond. Mereka berkata “ Ini bukti tingkat kepercayaan asing kepada kita semakin tinggi”. Cukupkah kepercayaan asing ini sebagai modal membangun sebuah negeri. ? Mari kita lihat kenyataan yang ada. Menurut kalkulasi sederhana bahwa apabila tidak ada penambahan hutang baru ditahun tahun mendatang maka hutang luar negeri baru akan lunas tahun 2056!. Selama tahun tahun itu pula , kita harus rela menyumbangkan lebih dari 40% APBN untuk membayar hutang dan bunga. Artinya lebih hampir 40% alokasi APBN untuk kesejahteraan rakyat ( termasuk subsidi ) dikorbankan untuk rezim hutang masa lalu. Belum lagi efek inflasi yang ditimbulkan akibat APBN yang difisit. Semua itu yang bayar adalah rakyat dan terasa berat bagi rakyat yang tidak punya akses kepada keadilan ekonomi
Ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur oleh semua mereka yang pernah berkuasa dan yang akan mengejar kekuasaan. Mengapa hutang luar negeri begitu digemari ? Mungkin karena visi kekuasaan yang hanya sebatas usia jabatan. Atau rasa tidak percaya diri akan terus berkuasa. Maka selama ada kekuasaan , cara mudah untuk menarik dana sebanyak mungkin digunakan. Termasuk satu satunya cara adalah menarik hutang luar negeri. Cara ini akan efektif untuk membayar janji kepada rakyat agar tetap berkuasa. Walau sebetulnya tidak lebih membawa negeri ini kedalam lubang masalah besar bagi generasi mendatang. Mereka tidak peduli. Disamping itu, lingkaran dalam maupun luar dari kekuasaan mempunyai perasaan sama. Aji mumpung. Gunakan kekuasaan selagi ada dan tarik uang sebanyak mungkin selagi mungkin. Makanya tidak aneh , rezim berganti tidak bisa merubah rezim hutang.
Selama sekian rezim berganti dan pemerintahanpun berganti , yang berhasil hanya menciptakan kemakmuran bagi lingkaran dalam mapun luar kekuasaan. Para elite ini beraliansi secara langsung maupun tidak langsung dengan para petualang , sehingga menciptakan komunitas orang kaya baru yang super rakus dan melebihi dari kapitalis. Mereka inilah yanag membanjiri bandara ketika liburan sekolah. Yang memenuhi antrian beli apartement mewah. Yang selalu memburu mobil mewah. Bahkan tingkat inden tertinggi mobil import ada di Indonesia. Yang membuat mall super mewah terus bermunculan dikota kota besar. Mereka inilah yang sebetulnya ikut berperan membuat negera terpuruk dalam jebakan hutang. Merekapun menjadi elite negeri ini dan berada jauh sekali dari komunitas muram anak bangsa yang berada di pelosok desa, digubuk gubuk reot perkotaan.
Untuk mengetahui resource financial mereka ini baiklah kita lihat indikator keuangan ini. Data menyebutkan bahwa Per Juni 2006, total dana pihak ketiga di perbankan mencapai Rp 1.175 triliun dengan jumlah rekening sebanyak 96 juta. Dari jumlah tersebut 86 jutanya adalah mereka yang memiliki simpanan dibawah Rp. 100 juta atau 90% dari total simpanan diperbankan yang nilanya RP. 240 triliun. Sementara data LBH menyebutkan bahwa pemilik deposito diatas Rp. 5 miliar lebih berjumlah 14,000 orang lebih, yang tidak jauh berbeda dari data Merrill Lynch dan Capgemini dalam laporan tahunannya menyebutkan bahwa tingkat pertumbuhan tertinggi orang yang memiliki harta diatas USD 1 milliar di Asia Tenggara adalah Indonesia dengan HNWIs (High Net Worth Individuals/Individu = Nilai Kekayaan Bersih Tinggi) sebanyak 23,000 orang. Mungkin itu pula sebaab sejak penyusunan LKPP ( laporan keuangan Pemerintah Pusat ) dimulai tahun 2004, selama empat tahun berturut BPK memberikan "opini disclaimer" terhadap hasil pemeriksaan LKPP. Padahal, Indonesia telah empat tahun memberlakukan paket undang-undang keuangan negara tahun 2003-2004, delapan tahun pemberlakuan otonomi daerah yang luas dan 10 tahun gerakan reformasi. Artinya memang tidak ada transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Itulah faktanya.
Bila melihat data tersebut diatas , rasanya kita kesal dan marah. Tapi kemarahan yang terus terjadi akan mengawatirkan timbulnya revolusi sosial. Ini tidak boleh terjadi. Bangsa ini akan semakin terpuruk. Penyelesaiannya adalah keikhlasan para elite negeri ini untuk memutihkan hartanya untuk kepentingan pembangunan nasional tanpa hutang luar negeri. Cara ini dinilai elegant karena tidak menganeksasi uang deposan. Tapi melakukan SWAP deposito kepada Surat Hutang Negara. Lebih konkritnya adalah deposito diatas Rp. 5 miliar ditukar dengan Surat Hutang Negara berjangka waktu 25 tahun dengan tingkat bunga 0,5% pertahun. Para pemilik SUN dapat tetap menggunakan uangnya asalkan melalui skema pinjaman bank. SUN tersebut sebagai collateral utama dengan project sebagai underlying. Dengan cara ini akan memaksa orang berduit untuk masuk kesektor riel. Jangan ada lagi orang kaya hidup senang dari bunga bank. Sudah saatnya mereka menggunakan uang tersebut untuk kepentingan nasional. Dengan demikian ankatan kerja dapat ditampung dan potensi alam dalam diolah untuk kejayaan negeri.
Patut dicatat bahwa bahwa dana hasil SWAP ini tidak kecil Jumlahnya bisa diatas Rp. 900 triliun atau USD 100 miliar. Lebih dari cukup sebagai kekuatan ekonomi nasional untuk menggerakan sector riel tanpa harus berhutang lagi keluar negeri. Dana hasil SWAP ini juga digunakan untuk mendukung perekonomian yang berbasis sumber daya alam yang secara teknis dikuasai oleh rakyat sambil terus memacu riset pengembangan technology tepat guna. Apakah ada yang berani dan punya konsep untuk mengimplementasikan itu ? Kalau tidak ada yang berani maka percayalah bahwa PEMILU hanyalah pesta para elite untuk berbagi bagi kekuasaan tanpa ada keikhlasan berkorban untuk masa depan bangsa yang lebih baik. .
1 comment:
Sedih..pake banget. Bukan hanya karena kebodohan dan ketidakpedulian para elit, tapi sedih karena praktis kita tidak bisa berbuat apa apa selain menangis dan teriak. Solusi apa yang baik? ngemplang utang adalah solusi buruk, tentu saja. Tapi masuk opsi. Nasionalisasi state firms? Layak juga dipertimbangkan.
40% buat bayar utang, sekian persen untuk operasional pejabat dan kantor pemerintahan, sekian persen buat biaya pemilu dan pilkada, sekian persen dikorupsi. Maka, bayangkan tinggal berapa persen sisa buat pembangunan !!!
Post a Comment