Banyak orang beranggapan bahwa perjuang pro demokrasi di Myanmar dibawah kepemimpian oposisi Aung San Suu Kyi adalah sangat mulia dalam rangka membawa rakyat Myanmar pada kehidupan yang demokratis dan jauh dari penindasan junta militer. Berbagai kampanye anti junta militer terus bertebaran diseantero dunia. Termasuk PBB pun ikut bersuara keras untuk menekan junta militer Myanmar namun kandas ketika China, Rusia dan India menolak. ASEAN pun nampak bingung menghadapai situasi kampanye pro demokrasi ini. Karena sebagian anggota ASEAN seperti Malaysia, Singapore, Bruney, Indonesia tidak jauh lebih baik dibandingkan Myanmar soal nilai nilai demokrasi. Disamping itu ASEAN menyadari bahwa masalah Myanmar menjadi masalah international hanya karena AS dan kelompoknya ikut terlibat menekan junta militer.
Apa yang terjadi di Myanmar bukanlah masalah besar. Ini masalah dalam negeri Myanmar sendiri. Kalaupun ada pergolakan dan penolakan rezim yang berkuasa sekarang maka jumlahnya tidaklah mencerminkan mayoritas rakyat Myanmar. Saya pernah berkunjung ke Yangon dari Yunan. Kehidupan rakyat disana nampak biasa biasa saja. Kebutuhan pokok terjamin dan infrastructure ekonomi dibangun dengan systematis dibawah dukungan China. Memang kebebasan seperti kehidupan masyarakat materialistis seperti dinegara demokrasi lainnya , tidak nampak. Pemerintah memang mengontrol kehidupan masyarakat sesuai dengan donkrit politik mereka yang sadar dengan ancaman pengaruh dari luar. Apapun paham yang dapat membuat Myanmar terpecah sebagai negara berdaulat akan berhadapan dengan tangan besi pemerintah.
Kalaupun kini Myanmar lebih memilih China, India sebagai mitranya dan menapik AS ( Barat ) maka itupun harus dihormati. Karena AS dengan pro demokrasinya pun tidak bisa menjamin kehidupan rakyat akan lebih baik setelah penguasa otoriter dijatuhkan. Buktinya Indonesia. Kejatuhan Soeharto dan kemenangan pro demokrasi , tidak membawa perbaikan apapun kepada rakyat. Bahkan melahirkan demokrasi tiran untuk menganeksasi hak rakyat dengan berbagai regulasi untuk kepentingan kapitalisme ala AS. Seyogianya, membiarkan rakyat Myanmar menjalani kehidupannya sesuai dengan pilihannya adalah lebih bijak daripada terus menekan penguasa disana, yang justru menambah persoalan bertanbah rumit dan akhirnya rakyat Myanmar juga yang akan menderita. Seperti arogansi AS yang membekukan dana pemerintah junta militer di luar negeri. Anehnya, AS tidak melakukan hal yang sama kepada penguasa Israel yang menyerbu pendudukan Palestina. Yang pasti Myanmar tidak sendiri melawan arogansi AS, disampingnya ada Iran, Sudan dan Korea Utara, yang selalu tampil gagah berani demi kehormatan bangsanya.
Yang harus diketahaui oleh Rakyat Myanmar bahwa pandai pandailah memanfaatkan komplik yang kini terbentuk diantara dua kekuatan raksasa , China dan AS. Kedua negara besar ini, tidak pernah tulus untuk membuat kemakmuran bagi bangsa Myanmar. Kedua duanya mempunya kepentingan ekonomi untuk menjadikan Myanmar sebagai resource bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi mereka. Kekuatan dalam negeri harus terus dibangun sambil mendidik rakyat untuk cerdas menyikapi setiap pengaruh asing yang masuk. Kemudian secara gradual membuka katup kehidupan politik lebih terbuka, sebagaimana yang dilakukan china kini setelah berhasil dengan reformasi ekonominya.
AS dan China atau lainnya tidak bisa memaksakan kehendak seperti apa yang mereka mau untuk rakyat Myanmar. Rakyat Myanmar lebih tahu , mau dibawa kemana negerinya. Memprovokasi mereka tentang pro demokrasi atau lainnya, tidak akan membantu mereka. Semoga Myanmar dapat belajar dari kehidupan politik Indonesia, paska kejatuhan Soehato. Jangan pernah percaya dengan jargon demokrasi dari AS atau Barat, kalau ingin menjadi bangsa berdaulat.
Apa yang terjadi di Myanmar bukanlah masalah besar. Ini masalah dalam negeri Myanmar sendiri. Kalaupun ada pergolakan dan penolakan rezim yang berkuasa sekarang maka jumlahnya tidaklah mencerminkan mayoritas rakyat Myanmar. Saya pernah berkunjung ke Yangon dari Yunan. Kehidupan rakyat disana nampak biasa biasa saja. Kebutuhan pokok terjamin dan infrastructure ekonomi dibangun dengan systematis dibawah dukungan China. Memang kebebasan seperti kehidupan masyarakat materialistis seperti dinegara demokrasi lainnya , tidak nampak. Pemerintah memang mengontrol kehidupan masyarakat sesuai dengan donkrit politik mereka yang sadar dengan ancaman pengaruh dari luar. Apapun paham yang dapat membuat Myanmar terpecah sebagai negara berdaulat akan berhadapan dengan tangan besi pemerintah.
Kalaupun kini Myanmar lebih memilih China, India sebagai mitranya dan menapik AS ( Barat ) maka itupun harus dihormati. Karena AS dengan pro demokrasinya pun tidak bisa menjamin kehidupan rakyat akan lebih baik setelah penguasa otoriter dijatuhkan. Buktinya Indonesia. Kejatuhan Soeharto dan kemenangan pro demokrasi , tidak membawa perbaikan apapun kepada rakyat. Bahkan melahirkan demokrasi tiran untuk menganeksasi hak rakyat dengan berbagai regulasi untuk kepentingan kapitalisme ala AS. Seyogianya, membiarkan rakyat Myanmar menjalani kehidupannya sesuai dengan pilihannya adalah lebih bijak daripada terus menekan penguasa disana, yang justru menambah persoalan bertanbah rumit dan akhirnya rakyat Myanmar juga yang akan menderita. Seperti arogansi AS yang membekukan dana pemerintah junta militer di luar negeri. Anehnya, AS tidak melakukan hal yang sama kepada penguasa Israel yang menyerbu pendudukan Palestina. Yang pasti Myanmar tidak sendiri melawan arogansi AS, disampingnya ada Iran, Sudan dan Korea Utara, yang selalu tampil gagah berani demi kehormatan bangsanya.
Yang harus diketahaui oleh Rakyat Myanmar bahwa pandai pandailah memanfaatkan komplik yang kini terbentuk diantara dua kekuatan raksasa , China dan AS. Kedua negara besar ini, tidak pernah tulus untuk membuat kemakmuran bagi bangsa Myanmar. Kedua duanya mempunya kepentingan ekonomi untuk menjadikan Myanmar sebagai resource bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi mereka. Kekuatan dalam negeri harus terus dibangun sambil mendidik rakyat untuk cerdas menyikapi setiap pengaruh asing yang masuk. Kemudian secara gradual membuka katup kehidupan politik lebih terbuka, sebagaimana yang dilakukan china kini setelah berhasil dengan reformasi ekonominya.
AS dan China atau lainnya tidak bisa memaksakan kehendak seperti apa yang mereka mau untuk rakyat Myanmar. Rakyat Myanmar lebih tahu , mau dibawa kemana negerinya. Memprovokasi mereka tentang pro demokrasi atau lainnya, tidak akan membantu mereka. Semoga Myanmar dapat belajar dari kehidupan politik Indonesia, paska kejatuhan Soehato. Jangan pernah percaya dengan jargon demokrasi dari AS atau Barat, kalau ingin menjadi bangsa berdaulat.
No comments:
Post a Comment