Minggu lalu tamu saya datang dari
China.Mereka adalah buyer yang berniat membeli
kue yang diproduksi oleh pabrikan yang berlokasi di Bandung dan juga
berniat menjajaki proyek kerjasama di Bandung. Mereka datang satu team
sebanyak 5 orang. Rencana kami berangkat dari hotel jam 7 pagi menuju
Bandung. Jam 6.30 pagi saya sudah di Hotel untuk menjemput mereka. Ketika
saya datang mereka sedang sarapan pagi. Mereka sarapan cepat sekali.Sekedar
mengisi perut. Jam 7 langsung berangkat sesuai jadwal. Dalam perjalanan
kami berhenti di rest area untuk bertemu
dengan pihak pabrikan yang akan mengantar kami menuju pabrik. Selama di tempat
area itu, sambil menunggu pihak pabrikan datang,mereka menolak untuk duduk minum
kopi atau makan di restoran.Mereka tetap berdiri diluar restoran.
Diantara mereka tidak ada yang berbicara.Mereka nampak focus dengan program
hari ini untuk meninjau pabrik. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke
Bandung. Sesampai di pabrik mereka nampak tampa lelah melakukan negosiasi untuk
mendapatkan peluang membeli produk pabrikan dalam jumlah besar. Setelah usai
negosiasi kami melanjutkan bertemu dengan walikota Bandung. Teman saya yang mendampingi saya berkata
tentang kesannya terhadap relasi saya itu “ mereka sangat disiplin dan focus. Sangat efisien dengan waktu dan focus untuk mencapai hasil”.
Saya pernah bertemu dengan pemilik pabrikan
minuman kemasan.Punya kesan tersendiri terhadap mitranya dari China.Dulu dia pernah
beli mesin dari China.Sesuai kontrak
bahwa kapasitas mesin itu sebesar katakanlah 100.000 krat. Tapi nyatanya
setelah mesin di instal hanya mencapai produksi setengahnya.Dia protes kepada
penjual mesin di China. Pihak china mendatangkan pekerja inti ke Pabrikan
tersebut. Apa yang terjadi ? mesin mampu bekerja dalam kapasitas sesuai spec
dari mesin yaitu 100.000 krat perhari. Lantas dimana letak perbedaan dari
tenaga china dengan karyawan pabriknya ? menurutnya tenaga kerja China bekerja
dengan cepat dan efisien sekali. Ketika istirahat mereka tidak meninggalkan
pos-nya. Mereka makan dari lunch box.Makan mereka cepat sekali dan setelah itu
mereka mencuci lunch box tersebut dan menyimpannya di ransel. Kembali kerja
dengan konsentrasi tinggi tanpa ada sedikitpun mereka bicara.Mereka sangat
menguasai pekerjaannya.Artinya 1 orang China sama dengan 2 orang Indonesia.
Bahkan di bidang kontruksi 1 orang china sama dengan 5 orang buruh Indonesia.
Teman saya berusaha mendidik karyawannya untuk bekerja sesuai dengan etos kerja
dari China namun tidak mudah.Karena budaya kita masih sulit menganggap bekerja
itu bagian dari perjuangan akan masa depannya. Buruh Indonesia masih menganggap
kerja sebagai cara mendapatkan makan , bukan tanggung jawab kepada perusahaan.
Bahwa bila perusahaan untung maka mereka punya masa depan lebih baik.
Kini muncul berita begitu hebatnya tentang
ketakutan pekerja China akan menyerbu datang ke Indonesia sehingga merebut
kesempatan kerja orang Indonesia. Apalagi ada berita bahwa China akan mengirim
10 juta orang china datang ke Indonesia. Saya tidak tahu bagaimana berita ini
diplesetkan seakan ada rencana besar aneksasi China terhadap Indonesia. Ini jelas salah besar. Untuk diketahui bahwa
Undang Undang China melarang rakyatnya menetap tetap di negeri orang.Adapun rencana 10
juta orang China akan masuk ke Indonesia , maka itu bukan tujuan menetap.itu
adalah quota exit permits yang diberikan pemerintah China kepada setiap Negara tujuan
kunjungan rakyat China. Ingat bahwa China masih menerapkan UU mengenai Exit Permits bagi warganya untuk keluar negeri. Adapun tujuan kunjungan itu dibatasi dibidang pendidikan, kebudayaan dan wisata. Bagaimana dengan banyak pekerja china masuk dalam proyek
di Indonesia ? Itu karena projek tersebut berkaitan dengan B2B dimana pihak china
tidak mau rugi. Mereka harus memastikan proyek tersebut dapat selesai sesuai
jadwal sehingga dapat menghasilkan revenue untuk mengembalikan investasi. Atau proyek itu berkaitan dengan skema inkind
loan atau pinjaman diberikan dalam bentuk barang.Pihak China terpaksa
menggunakan pekerjanya agar standard kualitas dan waktu pengerjaan dapat selesai sesuai kontrak. Jadi ini
murni karena komitmen bisnis yang harus mereka selamatkan.
Untuk diketahui bahwa kebijakan internasional china dilarang memberikan pinjaman langsung atau dalam kuridor G2G yang
berhubungan dengan Politik.China memastikan dirinya sebagai Negara yang
melarang melakukan agenda internasionalisasi seperti Amerika dengan jargon
demokratisasi. Komunisme China adalah idiologi tertutup yang dilarang dijual
kemanapun. Makanya komunisme china berbeda dengan Negara lain. Kalaupun ada
perjanjian G2G itu lebih kepada saling memahami kebijakan masing masing Negara.
Bahwa China masuk ke suatu Negara selalu dalam kuridor B2B.Contoh bila China
memberikan pinjaman maka yang melaksanakan itu adalah BUMN yang bekerja sesuai
dengan SOP bisnis. Kalaupun mereka memberi pinjaman kepada Amerika maka itu
yang melakukan adalah BUMN sepeti China Investment Corporation (CIC) untuk
membeli surat utang ( Tbill ) Amerika melalui pasar uang terbuka.Menurut teman
yang bekerja di bidang Private equity di Hong Kong , bahwa mengapa terjadi
kampanye antipati terhadap China di Indonesia karena Indonesia terbiasa bekerja sama lewat skema hutang politik lewat G2G dengan Jepang, Amerika ,
Eropa dan ini berlangsung bertahun tahun sehingga menimbulkan hutang diatas
Rp.3000 triliun tanpa menghasilkan hal yang signifikan terhadap pembangunan
nasional karena budaya korup pejabat Negara serta elite politik yang bekerjasama dengan pengusaha culas.
Upaya pemerintah menggandeng China bukan
hanya era Jokowi tapi juga era SBY. Hanya saja era SBY tidak terjadi deal
meluas karena era SBY lebih memilih skema Inkind loan melalui BUMN china
dibidang investasi dan keuangan, dimana beban ada pada APBN. Namun di Era
Jokowi skema yang ditawarkan atas dasar B2B murni. Antara BUMN china dengan BUMN Indonesia.Apapun
resiko menjadi resiko business, bukan resiko politik. Tidak akan menganggu posisi APBN. Kapanpun pemerintah sebagai regulator bisa menguasai proyek
tersebut bila peraturan yang diatur oleh UU dilanggar. . Kita sudah menjalin
kerjasama dengan Amerika sejak era Soeharto dan hasilnya 90% sumber Migas
dikuasai Amerika. Kita sudah kerjasama dengan Jepang sejak era Soeharto dan
kini 90% kendaraan yang ada dijalanan buatan jepang dan kita belum juga
mandiri.Kenapa ? karena kita terjebak dengan budaya berhutang dan terima jadi
tanpa mau bekerja keras menjadi bangsa produsen. Jadi daripada kita mengutuki
sesuatu karena dasar paranoid mengapa kita tidak meniru budaya kerja keras dan
disiplin bangsa china lewat kemitraan atas dasar B2B..Agar kelak kita bisa
menjadi tuan dinegeri ini.Yakinlah bangsa ini tidak akan besar karena retorika
dan sikap paranoid. Bangsa ini besar karena sikap terbuka melihat kebenaran
darimanapun sumbernya dan mendapatkan hikmat atas setiap peluang kemitraan
global untuk menjadi lebih baik..
1 comment:
Konten yang ada memang menunjukkan betapa bangsa kita dari sejak merdeka, jalan orba hingga kepemimpinan SBY hingga Jokowi masih memakai pola lama..
harapan rakyat kebanyakan serta kaum terpelajar generasi muda usia 30 - 40 an menginginkan ada perubag=han mendasar thd kebijakan yg memperkuat potensi SDM anak bangsa...
Namun ironisnya justru kebijakan yang diambil oleh pemegang kekuasaaan seakan akan tdk sanggup untuk lepas dari cengaman pada pemodal asing,... misal potensi pengembangan mobil listrik,,, mati suri atau bs dikatakan ...hampir mati... kebijakan swasembada beras...tdk kunjung ada hasil yang memuaskan,,,retorika sdh bertahun tahun...swasembata gula..kita punya lahan perkebunan tebu...namun sulit berkembang...dll...????
Post a Comment