Saturday, November 1, 2014

MIGAS dan LAUT

Joseph Stiglitz pernah berkata bahwa SDA adalah kutukan bagi Indonesia. Karena SDA itulah Indonesia selalu jadi rebutan asing. Akibatnya indonesia tidak pernah bisa merdeka dari kekuatan asing. Karena SDA itulah membuat para pemimpin hilang visi dan hilang kreatifitas untuk mandiri.  Karena SDA itulah yang membuat para elite malas dan doyan korup. Akibatnya selalu terjajah dan miskin. Betapa tidak? Di Bumi ini hanya 17% lahan yang bisa ditanami pangan, dan 42% nya ada di Indonesia.Seharusnya Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Tapi apa kenyataannya? Indonesia hidup dari import pangan.  Indonesia mempunya SDA Gas nomor dua terbesar didunia tapi sampai hari ini PLN harus import Gas untuk kebutuhan pembangkit karena GAS yang ada dijual ke Jepang, China dan Korea.  Indonesia adalah negara konsumen kendaraan nomor 5 terbesar didunia tapi dari lima negara itu hanya indonesia yang tidak mampu membuat kendaraan dengan local content diatas 90%. Sebagian besar Kapal Modern Penangkapan Ikan yang beroperasi di laut Indonesia dikuasai oleh Asing. Negara kita kaya akan sumber daya laut namun Industri pengalengan ikan terpaksa import ikan segar untuk bahan baku produksinya. Setiap jengkal peluang yang berhubungan dengan SDA pastilah ada asing yang mengontrolnya. Indonesia hanya mendapat sedikit dan yang banyak tentu asing. Bagi Jokowi bahwa SDA itu adalah berkah Allah dan mengelolanya tidak hanya diperlukan orang pintar tapi lebih dari itu adalah orang yang bermental baik. Ia harus petarung yang handal dan mandiri.

Diperkirakan lebih dari Rp.300 triliun pendapatan sektor laut hilang begitu saja. Sementara dari sektor MIgas sedikitnya Rp.1000 triliun terjadi loss oportunity setiap tahun. Sudirman Said dipilih Jokowi sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Alumni STAN, dikenal sebagai aktifis anti korupsi yang juga pendiri MTI ( masyarakat transfransi Indonesia ). Dialah yang kali pertama mencetuskan ide pemberantasan Mafia MIGAS. Dia juga berpengalaman sebagai executive financial company. Mengapa dia ? Karena misi ESDM adalah memastikan tidak ada lagi kebocoran dan menggalang pendanaan secara mandiri melalui rekayasa pendanaan tanpa tergantung dengan private investor. Menteri Kelautan dan Perikanan diserahkan kepada Susi Pudjiastuti. Dia seorang pengusaha yang sukses dibidang Perikanan dan Penerbangan. Misi Jokowi dengan slogan Jalesveva Jayamahe, “justru dilaut kita jaya”  diserahkan bukan kepada Doktor Kelautan, bukan pula kepada birokrat tapi kepada orang "gila " yang hanya lulusan SMP namun terbukti berani gila "melawan arus” untuk sukses memanfaatkan sumber daya laut. Jokowi mempercayakan ESDM  bukan kepada insinyur Tambang sebagaimana biasanya tapi kepada Ahli Auditor dan Financial. Dari penunjukan kepada kedua orang ini jelas sekali bahwa pengelolaan ESDM dan Kelautan tidak lagi berhubungan dengan how to play tapi berhubungan dengan go to play.Kedua orang ini punya rekam jejak yang bersih dan pemain yang hebat serta diakui oleh dunia bisnis. Cukup sudah SDA kita serahkan pengelolaannya kepada orang pintar lulusan universitas terbaik tapi akhirnya jadi pasien KPK.

Hal yang tidak pernah dilakukan oleh Indonesia dibidang ESDM adalah menjadikan Indonesia sebagai player di business MIGAS. Padahal kita memiliki potensi buyer yang sangat besar dan kini termasuk konsumen migas nomor lima didunia. Kita juga memiliki potensi resource MIGAS yang sangat besar dan masuk dalam kelompok negara produsen MIGAS didunia. Dengan potensi itu anehnya Down stream Industry MIGAS tidak tumbuh. Sebagian besar kebutuhan produk derivative MIGAS kita impor.  Business jasa MIGAS seperti perkapalan , procurement ,Bunker Oil ( terminal BBM) migas tidak berkembang. Sebagian besar jasa business MIGAS kita dapatkan dari asing. Kalau ditanya mengapa business migas kita terpuruk dan akhirnya hanya menempatkan Indonesia penerima jasa bagi hasil dari kedigdayaan asing mengelola business migas.? Jawabannya adalah sumber daya MIGAS dikelola oleh orang bermental birokrat yang miskin visi business. Tentu jangan berharap program MIGAS melahirkan kemandirian disegala bidang. Karena mindset pengelolanya adalah mindset broker. Kebijakan dibuat tidak berspektrum jauh kedepan. Dapatkan hari ini habiskan hari ini.!  Dari mindset seperti inilah tumbuh mafia MIGAS. Dari hulu sampai hilir. Dari kepala sampai ekor. Dari produksi sampai distribusi. Semua mata rantai adalah sumber kebocoran yang membuat pengusaha lokal dan asing menikmati laba tak terbilang dan membuat penguasa kaya raya dari komisi dan suap. Selain itu sektor Sumber daya mineral seperti Batu Bara, nikel,emas dan lain lain harus ditingkatkan nilai tambahnya dengan memastikan terjadi pengolahan dalam negeri sehingga indonesia diuntungkan dari pajak ekspor serta memberikan kesempatan meluasnya angkatan kerja akibat tumbuhnya industri hilir dari keberadaan industri hulu barang tambang.

Juga samahalnya dengan Mafia perikanan yang bersumbunyi di balik elit birokrasi, elit partai politik, maupun oknum aparat keamanan, mulai dari urusan perizinan hingga perdagangan ikan ke luar negeri.  Dengan dukungan para birokrat dan elite politik serta aparat keamanan, mafia ini melakukan manipulasi sejak dari perizinan. Untuk mengurangi kewajiban membayar pajak/retribusi perizinan, mereka memanifulasi bobot kapal yang diajukan izin. Karena adanya ketentuan Pemerintah bahwa setiap usaha penangkapan ikan harus punya Unit Pengolahan Ikan (UPI). Tujuannya agar semua ikan yang dieksport harus melalui Indonesia. Sehingga pajak eksport masuk ke negara. Namun mereka membuat UPI abal abal untuk mengelabui hasil tangkapan yang sebenarnya. Setiap tahun, Indonesia mampu menangkap 800 ribu ton ikan tuna. Namun, yang dijual ke pasar internasional melalui pelabuhan eksport  hanya 100 ribu ton. Padahal hanya sebagian kecil yang dikonsumsi rakyat Indonesia. Ternyata, 700 ribu ton ikan tuna itu dijual ke pasar internasional melalui Thailand. Bukan rahasia umum bahwa 90% kapal berbendera Indonesia itu para ABK nya adalah asing. Artinya usaha penangkapan ikan itu sepenuhnya dibawah kendali asing.  Setiap izin satu kapal, pengusaha lokal mendapatkan fee dari asing sedikitnya USD 100,000 perbulan.  Ada ribuan kapal yang menjarah laut Indonesia. Hitunglah berapa komisi haramnya. Ini belum termasuk kerugian negara akibat penyalah gunaan subsidi BBM untuk kapal nelayan yang mencapai Rp.11 triliun pertahun. Sementara pemasukan negara berupa PNBP hanya Rp.300 miliar/tahun. Padahal satu kali melaut kapal modern itu paling sedikit nilai tangkapannya mencapai USD 2 juta ( Rp. 20 milliar).

Tugas Sudirman Said dan Susi Pudjiastuti teramat berat karena sektor MIGAS dan Perikanan dikuasai oleh MAFIA yang berpuluh tahun dari era Soeharto sampai era SBY menikmati rente business tak terbilang. Walau rezim berganti namun elite partai tidak berubah dan tentu para elite itu tidak akan mau kehilangan financial resource nya. Namun dibawah presiden dan wakil presiden dari kalangan pengusaha sukses yang bukan elite partai, kita berharap semoga bila Presidennya bersih dan bawahannya juga bersih serta sistem yang ketat dari segala tindak korupsi maka Indonesia punya harapan. We have a hope. ! 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.