Sunday, November 9, 2014

Subsidi ?

November 1967. Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo berkunjung ke Geneva. Mengingat pentingnya misi kunjungan ini membuat udara musim dingin itu terasa panas. Mereka datang atas undangan dari The Time-Life Corporation untuk bertemu dengan kalangan investor kelas dunia. Investor inilah yang akan menjadi undertaker kebutuhan pendanaan pembangunan indonesia menuju masyarakat sejahtera. Ketika itu yang hadir dari kalangan investor adalah  General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, tak ketinggalan David Rockefeller yang menjadi tuan rumah. Dalam pertemuan yang berlangsung tiga hari itu, pihak investor berjanji akan menanamkan dananya untuk bisnis dibidang pertambangan Migas dan Nikel ( Freeport ). Indonesia akan mendapatkan pajak, bagi hasil dari kegiatan usaha tersebut. Soemitro Djojohadikusumo menyampaikan gagasanya kepada David Rockefeller tentang design pembangunan jangka pendek,jangka menengah dan jangkan panjang. Belakangan dikenal dengan istilah Repelita. Sebetulnya gagasan yang disampaikan oleh Soemitro ini sudah dikenal luas oleh para ekonom ketika itu. Gagasan ini termuat dalam buku The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto yang ditulis oleh W.W.Rostow. Belakangan Rostow menjadi mentor para Tekhnorat ekonomi indonesia yang sebagian besar alumni Barclay University. Tahun 2003 Rostow meninggal.

Apa design pembangunan yang disampaikan oleh Soemitro?  Pada tahap awal dia sadar bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih hidup secara tradisional atau traditional society. Merupakan masyarakat yang mempunyai struktur pekembangan dalam fungsi-fungsi produksi yang terbatas. Belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi modern.Terdapat suatu batas tingkat output per kapita yang dapat dicapai. Karenanya pada tahap ini kebijakan yang diambil adalah kapitalisme yang diorganisir oleh negara atau disebut Liberalisme Sosial, yakni perlunya intervensi negara untuk mengelola pendidikan, stabilitas ekonomi (dan politik), dan mendesain sistem negara kesejahteraan. Seluruh sumber sumber penerimaan negara dikontrol penuh oleh negara. Pertumbuhan ekonomi dipicu oleh sepenuhnya peran negara. Peran rakyat hanya sebagai pelangkap. Dalam kesempatan itu Soemitro menyampaikan bahwa pembangunan harus bergerak cepat. Kalau hanya mengandalkan cash in berupa surplus penerimaan negara dari pajak dan bagi hasil tambang, indonesia akan tertinggal. Karenanya Soemitro minta agar negara Barat dan Amerika berada digaris depan memberikan bantuan pinjaman kepada indonesia seperti program The Marshall Plan yang dikenal dengan istilah the European Recovery Program (ERP) paska perang dunia kedua. Belakangan usulan ini direalisir dengan berdirinya IGGI ( Intergovernmental Group on Indonesia) dan kemudian berubah menjadi CGI ( Consultative Group on Indonesia)

Untuk diketahu bahwa ciri dari phase the traditional Society ini adalah negara mengatur supply and demand, termasuk menentukan harga barang dan jasa melalui mekanisme subsidi dan monopoli negara. Jadi by design memang tidak ada sama sekali rakyat ditempatkan sebagai key player. Rakyat hanya ditempatkan sebagai objek yang hidupnya diatur dan ditentukan oleh penguasa. Salahkah ini? Bisa ya bisa juga tidak. Karena bila proses ini dilalui dengan benar dan konsisten dimana pemerintah focus dengan teori Rostow maka sesuai Repelita jangka menengah Indonesia akan berhasil keluar dari traditional society menjadi the take off atau lepas landas. Mengapa? Dalam teori Rostow disebutkan alokasi anggaran untuk pembangunan  ekonomi  harus menjamin terjadinya keadilan distribusi barang,modal dan sumber daya. Karenanya subsidi diarahkan kepada sektor produksi bukan konsumsi. Dalam prakteknya apa yang terjadi ? Selama 25 tahun era Soeharto, pertumbuhan ekonomi yang pesat melahirkan wabah korupsi yang luar biasa sehingga teori Rostow mendistribusikan modal dan sumber daya dalam banyak program ekonomi justru dinikmati oleh segelintir orang. Konglomerasi Swasta dan Konglomerasi negara terjadi meluas dalam bentuk monopoli. Rakyat banyak tidak begitu peduli karena hampir semua kebutuhan pokok disubsidi oleh negara. Ya, liberalisme sosial sangat utopis karena bersandar kepada kemuliaan hati penguasa yang berkuasa secara totaliter. Tak banyak pemimpin yang amanah dengan sistem utopis itu. Makanya engga aneh bila pada akhirnya melahirkan negara yang diurus oleh gerombolan penjarah.

Rakyat banyak baru menyadari bahwa harga murah yang mereka nikmati selama 32 tahun era Soeharto bukanlah subsidi nyata yang diberikan dari surplus penerimaan negara tapi dari hutang. Ini dilakukan semata mata agar citra peminpin tetap tinggi dihadapan rakyat dan stabilitas politik terjaga. Jadi subsidi bukan lagi kebijakan ekonomi tapi sudah menjadi kebijakan politik, alias kebijakan menipu rakyat agar pemimpin tetap dicintai rakyat. Rezim jatuh dan berganti. Namun  semua harus ada yang bayar akibat kebijakan masalalu. Yang membayar adalah generasi anak dan cucu. Mereka harus menghadapi harga yang melambung lebih cepat dari pendapatan mereka. Era reformasi, pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY tetap menjadikan subsidi sebagai kebijakan politik,bukan kebijakan ekonomi akibatnya Indonesia tidak beranjak dari kesalahan era Soeharto. Pertumbuhan ekonomi Era SBY yang dipicu oleh kenaikan harga CPO dan Barang tambang tidak diikuti meningkatnya kemampun berproduksi, jusru terjadi deindustrialiasi karena pertumbuhan yang dipicu oleh konsumsi. Walau APBN meningkat berlipat dan GNP meningkat pesat, tapi juga diikuti oleh naiknya hutang berlipat. Sementara  distribusi modal,sumber daya  tidak terjadi meluas dan hanya dinikmati segelintir orang saja. Sektor riel menyusut dan puncaknya adalah defisit account atau gabungan defisit perdagangan dan investasi. Keadaan ekonomi paska SBY sangat mengkawatirkan apalagi dengan kurs rupiah yang terus melemah.APBN terjebak hutang sama dengan era Soeharto. Secara makro tetap terjajah.

Jokowi menyadari bahwa dia terpilih bukan karena pencitraan dan tentu diapun tidak ingin mengeluarkan kebijakan pencitraan seperti presiden sebelumnya. Dia sadar bahwa dia dipilih rakyat karena rakyat inginkan perubahan yang lebih baik. Karenanya dia siap tidak populer akibat kebijakannya mengurangi subsidi BBM dan memastikan tidak ada lagi subsidi BBM. Namun jokowi tetap akan memberikan subsidi kepada sektor produksi. Jadi apa yang  disampaikan oleh Jokowi adalah begitulah yang diajarkan Rostow.  Pastikan rakyat mampu berproduksi setidaknya memenuhi kebutuhannya sendiri sebagai dasar menjadi komunitas global. Lindungi rakyat untuk mampu bersaing dengan yang kuat. Lindungi rakyat untuk berkembang tapi jangan beri mereka kemudahan untuk berkonsumsi sehingga membuat mereka tidak terpacu untuk beproduksi. Bila Jokowi ingin mengembalikan harga sesuai dengan mekanisme pasar maka Jokowi juga harus memastikan terjadinya keadilan distribusi sumber daya dan modal. Upaya keadilan distrbusi sumber daya dan modal ini tidaklah mudah karena syarat utama adalah pemerintah harus punya reputasi bersih dan transfarance. Bila ini diterapkan maka siapapun bisa menerima karena meraka diperlakukan dengan adil, yang kaya bisa berkembang dan yang miskin tertolong. Kesempatan untuk semua dan mencari nafkah mudah tanpa harus menadahkan tangan secara langsung maupun tidak langsung lewat subsidi. Itulah tugas pemimpin...

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.