Sebetulnya rencana redenominasi
rupiah ini tidak datang mendadak. Tapi sudah direncanakan jauh sebelumnya.
Tahun 2008, teman saya yang bekerja di BI pernah menyampaikan kepada saya
prihal rencana BI untuk redenominasi rupiah. Namun rencana itu tidak
diwacanakan kepublik. Baru kinilah redenominasi itu disampaikan kepada public.
Apa yang dimaksud dengan redenominasi itu? Dari istilahnya saja dapat
dimengerti bahwa itu hanya merubah angka uang namun tidak mengurangi nilainya. Untuk
redenominasi rupiah ,pemerintah menghilangkan tiga nol dibelakang. Contoh Rp.
100,000 menjadi Rp. 100, Rp. 10.000
menjadi RP. 10. Sebetulnya kalau kita makan direstoran asing seperti restoran
Jepang, pada menu tidak lagi mencantumkan harga dengan nol berderet tapi
disingkat dengan menghilangkan tiga nol dibelakang. Jadi benarlah bahwa alasan
redenominasi hanyalah bertujuan mensederhanakan penyebutan nilai uang dan
sekaligus menekan biaya fund provider
seperti system pencatatan, pelaporan yang berbasis IT. Maklum di era sekarang
uang tidak selalu dalam bentuk kertas/coin. Ada juga yang berbentuk data yang
didistribusikan dan dipertukarkan
lewat system IT.
Tapi ada yang menjadi tanda tanya
public, apakah benar bahwa redenominasi itu bertujuan untuk menyederhanakan
sebutan nominal uang atau hanya sekedar menghilangkan angka nol dan efisiensi
distribusi.? Kalau melihat sejarah redenominasi diberbagai Negara yang
pernah mengalaminya maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan redenominasi mata
uang dipicu oleh inflasi ( hyper inflasi) yang sulit diatasi. Benarkah
Indonesia berada pada posisi yang tak bisa mengatasi inflasi sehingga perlu
redenominasi? Pertanyaan ini sulit dijawab oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo
bahwa nilai tukar dollar AS terhadap rupiah saat ini tidak mencerminkan kondisi
fundamental ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah dinilai terlalu rendah.
Mengapa nilai rupiah tidak ada korelasi significant dengan data fundamental
ekonomi Indonesia? Harap diketahui bahwa nilai uang pada era sekarang tidak
hanya ditentukan oleh data makro ekonomi tapi banyak variable lain yang ikut
menentukan nilai uang itu. Hukum pasar sangat kejam. Dari system pasar itulah
kondisi rupiah terus melemah dan melemah, Tentu berdampak pada kenaikan harga
kebutuhan yang sebagian besar di import.
Ya benar. Semua pemain pasar uag
tahu pasti bahwa ada beberapa variable yang diluar control pemerintah yang ikut
menentukan nilai uang. Dari tahun ketahun BI dan Pemerintah lelah dan
kehilangan kepintaran untuk membuat rupiah perkasa di pasar uang. Setiap point
kejatuhan rupiah terhadap dollar akan berdampak kepada kenaikan harga barang
dan belanja pemerintah. Inflasi akan terkerek keatas. Mungkinkah dalam
kelelahan itu maka terpikirkan untuk me redenominasi rupiah. Waktu kemarin
ketemu dengan banker asing di Hotel Marriot, dia mengatakan bahwa kalaulah
alasannya demi efisiensi ditribusi uang dan pencatatan transaksi digital
nontunai maka redenominasi terlalu mahal ongkosnya. Akan lebih murah bila
merubah material uang dan memperbesar database ( memory) computer. Tapi mengapa
ini terlalu dipaksakan? Tanya saya. Menurutnya ini bagian dari siasat
pemerintah untuk mempengaruhi salah satu variable yang menentukan nilai uang
dipasar. Jadi seperti memberikan dampak psikologi atas nilai.
Ya secara psikologis pemerintah
lebih leluasa mempermainkan nilai uang dipasar. Karena perubahan point kenaikan
atau kejatuhan mata uang tidak begitu nampak oleh orang awam. Pengusaha juga bisa leluasa mempermainkan harga. Bila
beras harganya tadi Rp. 10.000/Kg atau setelah redenominasi menjadi Rp.10.
Lambat atau cepat harga akan terkerek menjadi Rp. 15 dan kemudian mungkin
menjadi Rp. 20. Itu tidak akan besar dampak psikologinya dibandingkan harga
beras Rp. 10.000 naik menjadi Rp. 20,000. Kemudian pemerintah juga tidak merasa
gamang bilang harus menerbitkan Bond sebesar Rp. 5 miliar daripada menerbitkan
bond senilai Rp. 50 triliun (tanpa redenominasi). Makanya berkaca dari
pengalaman Negara yang melakukan redenominasi, selalu dampak psikologis sulit
dikendalikan yang sehingga harga melambung dan mengarah kepada hiperinflasi.
Ini harus diperhitungkan oleh pemerintah. Jangan sampai nasipnya sama dengan Rusia,
Argentina, Zimbabwe, Korea Utara dan Brazil tercatat sebagai negara-negara yang
gagal dalam melakukan redenominasi. Mungkin BI meniru seperti yang diterapkan
oleh Turki dalam redenominasi mata uang, yang dikenal sangat berhasil.
Sebagaimana Turki, BI akan melakukan
redenominasi mata uang ini secara bertahap dan terprogram. Yang paling penting
adalah timing nya harus tepat. Kapan tepatnya? Ya pada saat terjadi puncak kombinasi
sukses memangkas inflasi dan besarnya cadangan devisa akibat export serta
berkembang pesatnya sector riel. Disamping saat itu kesadaran masyarakat sudah
tinggi bahwa redenominasi bukan senering ( pemotongan uang) tapi hanya
menyederhanakan bilangan tanpa menjatuhkan nilai. Ini butuh waktu tidak
sebentar. Ada proses yang panjang. Setidaknya program ini harus kita dukung
bila ini (jujur) sebagai salah satu cara mensiasati nilai uang yang terus
melemah akibat ulah pasar yang culas.