Friday, January 18, 2013

Mengapa Jakarta Banjir


Dulu zaman Kolonial, Belanda membuat kebijakan perubahan tata ruang wilayah Bogor dan Puncak, yang tadinya sebagai wilayah perkebunan karet  dirubah menjadi wilayah perkebunan teh.  Dampak dari perubahan tata ruang ini akan mengakibatkan debit air dari wilayah Bogor dan Puncak ke daerah hilir Jakarta akan bertambah besar. Karena tanaman teh tidak seperti tanaman Karet yang lebih baik dalam meresap air hujan. Dampak itu diketahui dengan pasti oleh penguasa colonial ketika itu. Apalagi terbukti setelah perubahan tata ruang itu Batavia ( Jakarta) mengalami banjir hebat. Itu sebabnya ketika kebijakan itu diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda juga menyiapkan segala sesuatunya untuk mengantisipasi dampak dari perubahan tata ruang itu. Maka dibangunlah Banjir Kanal Barat yang berjarak 17,3 KM dari Pintu Air Manggarai hingga ke Muara Angke. Konsep Banjir Kanal Barat ini datang dari Prof Van Breen yang pada tahun 1920 diangkat sebagai Ketua Team Penyusun Rencana Pencegahan Banjir. Saat itu luas Jakarta ( Batavia ) hanyalah 2500 Ha. Konsep ini sederhana saja yaitu mengendalikan aliran air sejak dari hulu sungai dan mengatur volumenya masuk ke Jakarta. Dari saluran kolektor  dipinggiran selatan kota , air dialirkan melalui tepi barat kota. Saluran kolektor inilah yang disebut dengan Banjir Kanal Barat. Sampai kini sarana itu masih dipakai oleh DKI

Begitulah cara pemerintah Kolonial mengelola kota  dan sekaligus bertanggung jawab terhadap rakyat penduduk kota. Setiap kebijakan yang ada dipikirkan dampaknya. Bila dampaknya buruk maka diantisipasi. Jadi Analisa Dampak Lingkungan memang menjadi satu kesatuan terhadap prinsip kebijakan pemerintah colonial. Tapi setelah kita merdeka, pemerintah tidak lagi memikirkan dampak lingkungan terhadap kebijakannya. Kalau dulu Belanda merubah lahan tanaman karet menjadi tanaman teh hanyalah 10 % dari total luas wilayah Bogor dan puncak namun mereka pikirkan dampaknya terhadap peningkatan  debit air, kini 90 % lahan yang tersisa itu telah berubah fungsi menjadi Vila  dan kawasan real estate. Tidak ada kompensasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi dampak dari perubahan tata ruang di wilayah bogor dan puncak itu. Maka bila akhirnya Jakarta selalu kebanjiran bila datang hujan maka itu tidak perlu terkejut. Ini adalah indikasi bahwa setelah berakhirnya era colonial maka berakhir pula pengelolaan pemerintahan yang modern. Yang ada adalah pemerintah ala kampong namun bergaya modern.

Cobalah perhatikan, dulu zaman colonial 40% wilayah Jakarta dipertahankan sebagai wilayah resapan air dan rawa rawa. Disamping itu Jakarta dipagari oleh SITU. Semua tahu bahwa SITU  ( waduk ) adalah cara untuk mengatasi banjir dihilir akibat tekanan debit air dari hulu. Belanda membangun SITU dulu sebanyak 200an. Kini tersisa hanya 48 SITU itupun yang berfungsi hanya 5 saja, yaitu Waduk Situ Lembang di Menteng (Jakarta Pusat), Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Taman Makam Pahlawan (TMP) Kali­bata, Cibubur dan di Ragunan. Yang lainnya mengalami pendangkalan hebat dan rusak parah. Kemana sisanya? Banyak SITU  di Jakarta telah diuruk dan berubah fungsi jadi Mall dan kawasan mewah seperti di Pluit , waduk Melati yang diuruk jadi Thamrin CIty dan lain lain. Daerah-daerah yang sebetulnya berfungsi sebagai daerah resapan air, kini kondisinya semakin menyempit, bahkan sudah banyak yang hilang atau telah berubah fungsi menjadi Pantai Indah Kapuk, Pantai Mutiara, Muara Karang, Ancol dll.  Akibat tata ruang yang dirancang bertujuan korup tanpa memperhatikan dampak lingkungan maka jangan salahkan alam dan kondisi letak DKI yang dibawah permukaan laut bila setiap musim hujan banjir melanda dan menimbulkan kerugian.Ini harga kobodohan dari pemerintahan yang dipimpin oleh orang orang bodoh dan tolol lagi korup.

Seharusnya dari dulu ada koordinasi efektif antar instansi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan sebagai pemegang dana, Kementerian PU dan kepala daerah di wilayah Jabodetabek untuk membangun kembali SITU sebanyak yang efektif mengedalikan arus air dan menambah wilayah resapan air sampai sedikitnya 30% dari total wilayah Jakarta. Mungkinkah?  Memang kendala utama adalah pembebasan lahan untuk membuat Situ dan resapan air. Maklum setiap jengkal tanah di Jakarta sudah ada yang punya. Namun jika Pemprov DKI dan pemerintah pusat punya visi kuat, masalah pembebasan lahan bukan masalah besar. Masalah dana bukan masalah karena Pemrov DKI bisa menerapkan tarip tambahan atas Pajak Bumi Bangun berupa retribusi project banjir. Atau meningkatkan pajak minuman keras dan rokok bagi penduduknya dan lain sebagainya. Namun berkali kali ganti Gubernur , DKI tetap tidak bisa dikelola dengan cara cara modern. Ketika banjir wajah modern Jakarta yang ditandai dengan Gedung jangkung dan pemukiman mewah  kembali menampak wajah aslinya yaitu kampungan.

Alasan terbodoh penyebab banjir yaitu menyalahkan alam. Jangan salahkan alam. Alam selalu benar karena ini sunatullah. Yang salah adalah manusia yang tak pandai mengelola alam. Banjir besar yang terjadi saat ini tentu mengakibatkan kerugian negara triliunan rupiah. Jumlah kerugian tersebut tentu tidak sebanding dengan nilai investasi pemerintah jika mau serius menata lingkungan Jakarta yang protective terhadap bencana banjir. Ya, kita berharap di Era JOKOWI –AHOK Jakarta dapat dikelola dengan cara cara modern dan bermoral. Sudah saatnya penduduk Jakarta mau menggeser tempat tinggalnya 100 meter dari aliran sungai. Jangan adalagi pemukiman dipinggir kali. Jangan!. Perluas  Kanal  Banjir barat dan timur, tanggul banjir, normalisasi sungai, interkoneksi, sistem drainase perkotaan, sistem polder (waduk dengan pompa), pintu air pasang, dan pintu air pengatur. Sediakan resapan air sampai 30%. Jakarta tidak akan dibilang kampungan tanpa MRT, atau monoral tapi Jakarta akan kampungan bila hujan besar kota banjir dan kubangan dimana mana. 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.