Saturday, January 26, 2013

Redenominasi rupiah


Sebetulnya rencana redenominasi rupiah ini tidak datang mendadak. Tapi sudah direncanakan jauh sebelumnya. Tahun 2008, teman saya yang bekerja di BI pernah menyampaikan kepada saya prihal rencana BI untuk redenominasi rupiah. Namun rencana itu tidak diwacanakan kepublik. Baru kinilah redenominasi itu disampaikan kepada public. Apa yang dimaksud dengan redenominasi itu? Dari istilahnya saja dapat dimengerti bahwa itu hanya merubah angka uang namun tidak mengurangi nilainya. Untuk redenominasi rupiah ,pemerintah menghilangkan tiga nol dibelakang. Contoh Rp. 100,000 menjadi Rp. 100,  Rp. 10.000 menjadi RP. 10. Sebetulnya kalau kita makan direstoran asing seperti restoran Jepang, pada menu tidak lagi mencantumkan harga dengan nol berderet tapi disingkat dengan menghilangkan tiga nol dibelakang. Jadi benarlah bahwa alasan redenominasi hanyalah bertujuan mensederhanakan penyebutan nilai uang dan sekaligus menekan biaya fund  provider seperti system pencatatan, pelaporan yang berbasis IT. Maklum di era sekarang uang tidak selalu dalam bentuk kertas/coin. Ada juga yang berbentuk data yang didistribusikan  dan dipertukarkan lewat  system IT.

Tapi ada yang menjadi tanda tanya public, apakah benar bahwa redenominasi itu bertujuan untuk menyederhanakan sebutan nominal uang atau hanya sekedar menghilangkan angka nol dan efisiensi distribusi.? Kalau melihat sejarah redenominasi diberbagai Negara yang pernah mengalaminya maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan redenominasi mata uang dipicu oleh inflasi ( hyper inflasi) yang sulit diatasi. Benarkah Indonesia berada pada posisi yang tak bisa mengatasi inflasi sehingga perlu redenominasi? Pertanyaan ini sulit dijawab oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo bahwa nilai tukar dollar AS terhadap rupiah saat ini tidak mencerminkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah dinilai terlalu rendah. Mengapa nilai rupiah tidak ada korelasi significant dengan data fundamental ekonomi Indonesia? Harap diketahui bahwa nilai uang pada era sekarang tidak hanya ditentukan oleh data makro ekonomi tapi banyak variable lain yang ikut menentukan nilai uang itu. Hukum pasar sangat kejam. Dari system pasar itulah kondisi rupiah terus melemah dan melemah, Tentu berdampak pada kenaikan harga kebutuhan yang sebagian besar di import.

Ya benar. Semua pemain pasar uag tahu pasti bahwa ada beberapa variable yang diluar control pemerintah yang ikut menentukan nilai uang. Dari tahun ketahun BI dan Pemerintah lelah dan kehilangan kepintaran untuk membuat rupiah perkasa di pasar uang. Setiap point kejatuhan rupiah terhadap dollar akan berdampak kepada kenaikan harga barang dan belanja pemerintah. Inflasi akan terkerek keatas. Mungkinkah dalam kelelahan itu maka terpikirkan untuk me redenominasi rupiah. Waktu kemarin ketemu dengan banker asing di Hotel Marriot, dia mengatakan bahwa kalaulah alasannya demi efisiensi ditribusi uang dan pencatatan transaksi digital nontunai maka redenominasi terlalu mahal ongkosnya. Akan lebih murah bila merubah material uang dan memperbesar database ( memory) computer. Tapi mengapa ini terlalu dipaksakan? Tanya saya. Menurutnya ini bagian dari siasat pemerintah untuk mempengaruhi salah satu variable yang menentukan nilai uang dipasar. Jadi seperti memberikan dampak psikologi atas nilai.

Ya secara psikologis pemerintah lebih leluasa mempermainkan nilai uang dipasar. Karena perubahan point kenaikan atau kejatuhan mata uang tidak begitu nampak oleh orang awam. Pengusaha  juga bisa leluasa mempermainkan harga. Bila beras harganya tadi Rp. 10.000/Kg atau setelah redenominasi menjadi Rp.10. Lambat atau cepat harga akan terkerek menjadi Rp. 15 dan kemudian mungkin menjadi Rp. 20. Itu tidak akan besar dampak psikologinya dibandingkan harga beras Rp. 10.000 naik menjadi Rp. 20,000. Kemudian pemerintah juga tidak merasa gamang bilang harus menerbitkan Bond sebesar Rp. 5 miliar daripada menerbitkan bond senilai Rp. 50 triliun (tanpa redenominasi). Makanya berkaca dari pengalaman Negara yang melakukan redenominasi, selalu dampak psikologis sulit dikendalikan yang sehingga harga melambung dan mengarah kepada hiperinflasi. Ini harus diperhitungkan oleh pemerintah. Jangan sampai nasipnya sama dengan Rusia, Argentina, Zimbabwe, Korea Utara dan Brazil tercatat sebagai negara-negara yang gagal dalam melakukan redenominasi. Mungkin BI meniru seperti yang diterapkan oleh Turki dalam redenominasi mata uang, yang dikenal sangat berhasil.

Sebagaimana Turki, BI akan melakukan redenominasi mata uang ini secara bertahap dan terprogram. Yang paling penting adalah timing nya harus tepat. Kapan tepatnya? Ya pada saat terjadi puncak kombinasi sukses memangkas inflasi dan besarnya cadangan devisa akibat export serta berkembang pesatnya sector riel. Disamping saat itu kesadaran masyarakat sudah tinggi bahwa redenominasi bukan senering ( pemotongan uang) tapi hanya menyederhanakan bilangan tanpa menjatuhkan nilai. Ini butuh waktu tidak sebentar. Ada proses yang panjang. Setidaknya program ini harus kita dukung bila ini (jujur) sebagai salah satu cara mensiasati nilai uang yang terus melemah akibat ulah pasar yang culas.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.