Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memutuskan menjatuhkan sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada Program Siaran “Bizz Update” yang ditayangkan iNews TV. Acara itu menampilkan konten kehidupan selebritis yang memamerkan hedonisme. Kita tidak tahu pastinya. Apakah itu hanya acara, bukan yang sebenarnya. Namun dampak dari acara itu pengaruhnya sangat besar terhadap budaya hedonism masyarakat. Terutama kalangan keluaga pejabat dan politisi.
Kita yang mengerti nilai nilai Pancasila sebagai filosofi kemerdekaan Indonesia, tentu miris melihat kehidupan hedon itu. Sepertinya kita berhadapan dengan realita, Ideologi di persimpangan jalan. Saya tak tahu masih adakah generasi yang lahir diatas tahun 1999, yang paham makna Pancasila dan revolusi 45 yang bau amis darah, demi keadilan sosial. Tampaknya kini secara kejiwaan kita tak lagi merdeka. Karena terjerat akan uang dan sahwat.
Data BPS, Jakarta pusat, dimana kecamatan Menteng tempat sebagian besar pemilik 135.000 rekening yang punya saldo diatas Rp. 5 miliar, PDB nya mencapai US$ 50.000. Level pendapatan per kapita itu telah melampaui batasan untuk status suatu negara sebagai negara maju versi Bank Dunia (World Bank). Dengan jumlah penduduk Indonesia 270 juta, dan melihat data segelintir orang yang hidup berkelimpahan dan tak merasa berdosa atau rikuh di negeri yang 79 tahun lalu diguncang Revolusi. Ini adalah ironi dari sebuah kemerdekaan.
79 tahun yang lalu itu para generasi revolusioner yang militan tidak ragu menyerang konvoi pasukan sekutu yang hendak kembali menjajah Indonesia. Panglima Aubertin Walter Sothern Mallaby sendiri tewas dalam peristiwa baku tembak 30 Oktober di Surabaya dan memicu keluarnya ultimatum Inggris dan meledaknya Pertempuran 10 November yang menimbulkan korban gugur para pejuang militant tidak sedikit. Kisah lama itu tidak pernah memberikan inspirasi betapa mahal ongkos rakyat untuk mempertahankan proklamasi 17 agustus. Keadilan tidak akan pernah ada tanpa diperjuangkan, walau nyawa sebagai taruhannya.
Berangsur angsur karena waktu kita menjauh dari nilai nilai kemerdekaan bagi semua, seiring semakin melebarnya GINI rasio. Indeks Gini, yang menunjukkan ketimpangan itu, pada tahun 2024 angkanya sekitar 37,9. Tak meratanya pembagian kekayaan di Indonesia bahkan kurang-lebih sama dengan keadaan di negeri kapitalis yang paling timpang, yakni Amerika Serikat, dan jauh lebih buruk ketimbang Inggris, yang mencatat koefisien Gini 35,7.
Marx menganggap milik privat sebagai sumber keterasingan manusia. Tapi di Indonesia Marxisme di fatwa haram oleh ulama, dan terlarang oleh Tap MPR. Kalau mau jujur kalaulah 1% dari populasi yang financial freedom, sebenarnya hanya 1 % yang terasing. Ya, terasing dari 99% populasi lautan buih rakyat yang harus berjuang setiap waktu untuk survival Sebab, mereka gagal mengkases sumber daya ekonomi. Tidak punya apa apa. Tinggal punya penis atau vagina saja. Semua karena kerakusan oleh 1% itu.
Kita tahu, para elite kita menganggap penting segelintir orang itu sebagaimana teori Rostow dalam bukunya the Stages Of Economic Growth: A Non Communist Manifesto. Tanpa segelintir orang tidak akan pernah ada kemakmuran bagi banyak orang terutama kalangan bawah. Karena rakyat bawah itu, kalau istilah Marx sebagai kedunguan dusun yang memang tidak bisa diharapkan mereka untuk jadi lokomotif ekonomi. Kecuali jadi penumpang lokomotif, menanti terjadinya trickle-down effect, dalam bentuk BLT atau bansos.
Akhirnya beginilah kita. Oligarki telah menjadi kolonialisme baru dalam bentuk HGU, HGB, IUP, KPBU. Karena kekuasaan oligarki, etos keadilan sosial telah mengabur. Ternyata kemerdekaan bukan untuk mayoritas rakyat tetapi untuk segelintir orang saja. Dan Karena itu harus dirayakan dengan megah, dengan anggaran untuk sehari mencapai Rp. 87 miliar.!
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.