Sejak dulu cadangan devisa naik karena adanya penambahan hutang. Bukan karena tabungan dari hasil ekspor. Pada 7 agustus Rupiah menguat karena adanya laporan dari BI bahwa Cadev meningkat. Pada waktu bersamaan ada sentimen negatif sekitar 35% kemungkinannya AS resesi. USD melemah terhadap mata uang Asia termasuk IDR. Saya akan mencoba menganalisa Foreign Direct investment terhadap SDA. Karena andalan ekspor kita sebagian besar berasal dari SDA. Analisa ini guna menjawab mengapa SDA besar dan Ekspor juga tinggi, tetapi devisa kita masih bergantung dari utang.
Sebelum saya berpendapat. Mari kita bongkar praktek hilirisasi Nikel. Demi mendorong program hilirisasi itu diminati oleh investor Asing yang bisa mendatangkan FDI. Pemerintah buat aturan yang exciting. Ekspor nikel yang sudah di smelting akan dapat fasilitas bebas pajak dan tax holiday serta dapat fasilitas subsidi fuel batubara dengan harga DMO. Pemerintah juga mengatur harga pembelian Ore kepada penambang pemilik IUP. Disparitas harga Ore antara China dan Indonesia, gede. Bedanya USD 30 lebih murah di Indonesia.
Sekarang mari kita lihat manfaat bagi Indonesia terhadap kebijakan hilirisasi tersebut. 75% produksi smelter berupa NPI ( Nickel Pig Iron) dan ferro nickel (FeNi). Itu tidak 100% Nikel. NPI mengandung Nikel sekitar 1,5%-25%. Ferro nickel (FeNi) pada umumnya mengandung 20 – 40 % Ni. Makanya pabrik panci, sendok, pipa galvanis, interior stainless untuk rumah tidak banyak di Indonesia atau tidak berkembang. Kalaupun ada, mereka impor bahan baku dari China juga. Mengapa ? Produk NPI ( Nickel Pig Iron) dan ferro nikel itu semua dikapalkan ke China.
Sampai di China diolah lagi dengan ditambahkan unsur krom (Cr) dan mangan (Mn), bahkan molibdenum (Mo) dan niobium (Nb). Material katode (contoh NMC- 811) merupakan produk olahan berbasis nikel yang paling mahal. Kandungan nikel pada produk ini adalah 48,3%, dan dihargai sekitar 315% LME (harga NMC-811 sekitar US$ 29.000/ton). Produk asli turunan nikel yang paling mahal saat ini adalah serbuk nikel nano (nickel nanopowder), bahan dasar industri microchip dan telp selular. Jadi yang dapat nilai tambah berlipat ya China.
Sekarang apakah ekspor produk hilirisasi nikel itu mendatangkan devisa (DHE)?. Perhatikan skema berikut. Perusahaan yang dapat izin smelter dan IUP, biasanya ada kerjasama dengan investor asing. Investor asing ini bertindak sebagai offtaker dan juga lender sekaligus. Hanya saja cara mereka disamarkan. Investor asing menggunakan SPC dengan menunjuk lembaga keuangan sebagai S/A ( special assignee) di luar negeri. SPC ini bertindak sebagai lender dengan skema non arbitrase. Artinya collateral nya adalah produk smelter itu sendiri. Tentu setiap ekspor duitnya sebagian besar masuk ke rekening SPC di luar negeri. Paham ya, mengapa ekspor SDA tinggi tetapi tetap kita harus berhutang untuk menambah devisa.
Perhatikan praktek lapangan tersebut diatas. Indonesia tidak mendapatkan nilai tambah significant. Tidak juga mendapatkan devisa secara signifikan. Sebagian besar duit balik ke investor asing di luar negeri dan nilai tambah berlipat ya mereka yang nikmati. Sementara kita harus menanggung ongkos kerusakan lingkungan. Mengapa ini terjadi? Apakah tidak ada orang pintar dan cerdas di Indonesia? Tidak. Justru Indonesia gudangnya orang cerdas. Lantas mengapa ? Menurut saya, umumnya penguasa terjangkit penyakit megalomania. Orang dengan megalomania merasa yakin bahwa dirinya memiliki kekuatan, kekuasaan, kecerdasan. Mereka lack of knowledge and lack of spirituality. Karena tidak mau mendengar kritik secara intelektual. Ya anti intelektual. Doyan dipuji. Sehingga mudah di mangsa oleh komprador yang ada di ring kekuasaanya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.