Setelah COVID, Upaya pemulihan ekonomi Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan berat mulai dari lonjakan inflasi, kenaikan suku bunga acuan, melonjaknya harga pangan, hingga kaburnya investor asing pada pasar SBN. Itu sudah terasa sejak tahun 2022. Sementara Index PMI trend nya terus menurun. Surplus neraca perdagangan juga trend nya menurun. Survei Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia (BI) pada November 2023, menunjukkan adanya tren penurunan belanja. Terutama untuk kelompok masyarakat dengan pengeluaran sampai Rp4 juta per bulan.
Keadaan ini tentu dibaca dengan baik oleh SMI dan Gubernur BI. Makanya kebijakan pemerintah dan DPR yang tertuang dalam APBN 2023 dan 2024 adalah mengguyur Bansos. Tahun 2023 Bansos mencapai Rp. 470 triliun. Tahun 2024 ini menncapai hampir Rp. 500 triliun. Itu memang cara efektif ( sementara) menahan trend menurunnya PMI. Dan tentu secara politik sangat menguntungkan pemerintah dan Partai koalisinya. Apalagi masuk tahun politik menjelang Pemilu 2024. Tapi esensinya Bansos itu karena ekonomi kita tidak baik baik saja.
Tapi bagaimanapun efektifitas hanya mampu menahan kejatuhan kontraksi konsumsi. Namun belum bisa melepaskan Indonesia dari jeratan resesi ekonomi akibat Covid-19. Artinya tidak mungkin permintaan kembali seperti sebelum wabah, tetap akan kontraksi, tapi kontraksinya tidak sedalam kalau tanpa stimulus. Terbukti tahun 2023 disaat negara lain banyak yang masuk ke jurang resesi sementara Indonesia tetap exist dengan pertumbuhan diatas 4%.
Yang jadi masalah adalah proses menahan kontraksi ekonomi lewat Bansos ini berdampak serius terhadap daya tahan ekonomi kita terutama keseimbangan APBN. Oleh karena itu presiden berikutnya perlu berhati-hati dalam menjaga keuangan negara. Bisa belajar dari kesalahan Inggris. Yang kini resmi masuk ke jurang resesi. Itu karena bansos yang diberikan berdampak kepada inflasi yang tak bisa lagi di kendalikan. Pasar bereaksi dengan melambungnya harga harga.
Mengapa ? Bagaimanapun Bansos itu bukan kebijakan konvesional. Lebih besifat politis menutupi kegagalan pemerintah mengelola ekonomi pasar yang distorsi. Ya, efek dari ekonomi rente dan korup. Bansos itu dana stimulus, yang duitnya tidak dari surplus anggaran tetapi dicetak atau memompa uang baru ke dalam sistem perekonomian.Itu dibaca oleh pasar. Dampaknya pasar menghukum dengan kurs melemah dan harga melambung. PR terumit bagi presiden berikutnya adalah menjaga keseimbangan antara moneter dan fiskal. Hal ini 7 presiden sebelumnya gagal melaksanakannya.
Jadi apa solusinya ? Perlu keberanian berpikir out of the box yaitu focus kepada keseimbangan APBN dengan menghapus susbidi. Mungkin karena itu 60 juta orang jatuh semaput. Biarin aja. Dan lagi mereka sudah menentukan pilihan kepada presiden yang mereka inginkan. Tetapi karena itu kita punya ruang fiskal lebar untuk ekspansi ke sektor real. Ekonomi akan tumbuh real dengan dampak berkurangnya pengangguran dan daya beli kembali bergairah.. Ini soal pilihan. Menunda bangkrut dengan terus subsidi atau hapus subsidi , dan kita punya harapan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.