“ Bayangkan saja kita negara itu hanya mengambil pajak, mengambil pajak dari Rp 17 triliun sama mengambil pajak dari Rp 510 triliun lebih gede mana? Karena dari situ, dari hilirisasi kita bisa mendapatkan PPN, PPH badan, PPH karyawan, PPH perusahaan, royalti bea ekspor, penerimaan negara bukan pajak semuanya ada di situ. coba dihitung saja dari Rp 17 triliun sama Rp 510 triliun gede mana?" terang Presiden Jokowi. Faktanya menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor bijih nikel pada 2010-2019 atau 10 tahun, rata-rata mencapai US$ 710,095 juta. Khusus pada 2022, ekspor ferro nikel mencapai US$ 13,621 miliar atau 424,8% meningkat dibandingkan sebelum larangan ekspor pada 2019. Khusus tahun 2023 ekspor ferro drop.
Sebelumnya memang, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri menyebutkan bahwa pengembangan smelter yang menghasilkan nikel setengah jadi dinilai hanya menguntungkan industri China. Di mana, seperti diketahui, hasil hilirisasi nikel di Indonesia menghasilkan Nikel Pig Iron (NPI) dan fero nikel. Nah karena nitizen DDB bertanya kepada saya soal jawaban Jokowi itu, maka saya sampaikan sebagai berikut :
Pertama. Pemberian fasilitas pajak penghasilan (tax allowance dan tax holiday) yang diatur dalam PP 9/2016. Karena sampai sekarang atas ekspor produk hilirisasi nikel seperti feronikel dan nickel pig iron (NPI) belum dikenakan bea keluar. Memang ada wacana pada mey bulan lalu akan dipangkas insentif pajak untuk NPI tapi itu baru akan. Masih belum tahu kapan realisasinya. Jadi pak, kita engga dapat pajak PPH maupun dari bea keluar dari smelter nikel. Diperkirakan kita kehilangan penerimaan pajak setak tahun 2020 sebesar Rp. 32 triliun.
Kedua. Investasi smelter itu di Indonesia adalah FDI ( foreign Direct Investment). Skemanya semacan counter trade. Investor smelter pada umumnya pedagang. Dana investasi mereka dapat dari kontrak offtaker dengan buyer. Dengan begitu, semua hasil produksi diambil oleh buyer sebagai angsuran hutang. Jadi otomatis, 80% hasil ekspor mengalir ke luar negeri ( china) untuk bayar utang. Hanya 20% nongkrong di Indonesia. Itupun untuk bayar upah dan gaji serta beli ore.
Ketiga. Smelter di Indonesia semuanya terikat dengan supply chain industri downstream di China, seperti pabrik alat masak, exterior /interior banguna, baterai EV, elektronik, dll. Jadi kalau boleh terus terang. Smelter yang ada di Indonesia itu memang dibangun untuk kepentingan industri downstream secara luas di China. Tentu nilai tambahnya lebih besar mereka yang dapat. Tapi kita dapat secuil juga udah alhamdulilah banget. Karena jauh lebih tinggi nilai tambahnya daripada jual ore. Dan lagi kita kan hanya modal SDA doang. Otak engga ada. Soal lingkungan rusak, itu anggap korban pembangunan. Mati dan sengsara biasa saja.
***
Desember 2022 terjadi ledakan di smelter milk PT PT Gunbuster Nickel Indonesia (GNI). Pada 27 april 2023 juga terjadi di PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Industry. Sejak tahun 2015-2022 ada 19 kali kecelakan kerja di Smelter. Mengapa terus terjadinya kecelakaan kerja pada smelter pengolahan nikel di Morowali. Kejadian tersebut justru terjadi di proyek strategis nasional (PSN) yang sangat dibanggakan Jokowi. Sebenarnya sumber masalah adalah karena Smelter itu dibangun dengan mindset Trading. Bukan mindset industry. Jadi kebayangkan, cara bagaimana menentukan jenis tungku dan lain lain. Semua dasarnya efisiensi. Mana ada utamakan keselamatan kerja. Mengapa? mari saya gambar secara sederhana saja.
Yang paling besar berinvestasi di Indonesia dalma bidang smelter Nikel adalah Tsingshan Holding Group Co. Diantaranya adalah PT. Sulawesi Mining Investment Indonesia (SMI), PT. Guangqing Nickel Corporations Indonesia (GCNS), PT. Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), PT. Indonesia Ruipu Nichrome (IRNC), PT. Tsingshan Steel Indonesia (TSI), dan PT. Dexin Baja Indonesia (DSI), Mereka bukan hanya berinvestasi di KI Morowali tetapi juga di KI Weda Bay. Total investasi diperkirakan diatas USD 10 miliar.
Tsingshan Holding Group Co raksasa nikel yang dimiliki oleh miliarder Xiang Guangda. Tahun 2022 dia kena trap dalam perdagangan derivatif di LME. Karenanya dia terpaksa menjual aset nya di Indonesia kepada China Baowu Steel Group Corp. Semua tahu bahwa Baowu Steel Group Corp adalah BUMN China yang raksasa bidang baja terbesar kedua di dunia. Apakah mungkin BUMN China terlibat ambil Tsingshan Holding Group? Saya tidak yakin. Itu omong besar dari Guangda yang kepepet dilanda krisis utang. Karena Pemerintah China sangat peduli dengan lingkungan Hidup. Smelter punya Tsingshan itu tidak qualified sebagai portfolio investasi sekelas BUMN China. September 2023, Baowu suspended atas rencana beli Aset Tsingshan.
Nah kalau sampai akhirnya masalah kerugian Guangda dari transaksi derivatif itu teratasi, itu duitnya dari keroyokan pedagang Nikel yang ada di CHina, dan mereka ini memang jago skema countertrade. Tsingshan tetap menagement tetapi semua produksi udah diijon oleh pedagang. Jadi engga aneh kalau pemerintah minta mereka ganti tungku dari pirometalurgi ke hidrometalurgi, mereka ignore saja. Teknologi hidrometalurgi itu mahal boss. Dan lagi dengan trend harga nikel di pasar dunia yang terus jatuh , udah engga layak replace tungku dari pirometalurgi ke hidrometalurgi. Sabar aja. Suruh buruh dan pemerintah sabar saja. . Modal bego kan hanya satu, sabar.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.