Kerawanan pangan itu bukan hal yang rumit. Karena masalahnya sederhana. Penyebabnya lebih banyak dari tidak hadirnya negara terhadap keadilan sumber daya ekonomi. Ada 5 penyebab kerawanan pangan yang berujung kepada rentan nya ketahanan pangan nasional. Pertama, kurangnya akses kepada lahan. Petani tidak punya lahan yang luasnya layak secara komersial untuk bertani. Ini berdampak frustrasi karena bertani tidak membuat mereka kaya dan tidak punya kemampuan mengakses barang publik.
Kedua, penyebab yang pertama karena buruknya tata ruang nasional. Sehingga lahan pertanian dirampas oleh kegiatan komersial lain seperti real estate, kawasan industri dan infrastruktur umum, perkebunan. Ketiga. Penyebab kedua umumnya terjadi karena konflik agraria yang meluas dan massive. Lahan pertanian berganti jadi lahan komersial lainnya. Umumnya dimenangkan oleh pemodal, seperti Perkebunan Besar yang tidak menghasilkan pangan tapi untuk fuel. Keempat. Tata niaga yang tidak berpihak kepada pertanian. Dikalahkan oleh kepentingan pedagang. Kelima, peningkatan jumlah penduduk yang lebih tinggi daripada produksi pangan.
Sejak era Jokowi memang sektor pertanian tidak serius diurus. Padahal Jokowi pemimpin yang lahir dari wong cilik. Mari kita perhatikan anggaran sektor pertanian dari tahun ke tahun. Tahun 2015 anggaran kementan sebesar Rp.32,72 triliun. Sejak tahun itu terus turun dan tahun 2022 tinggal 14,45 Triliun. Dampaknya sangat mengkhawatirkan terhadap ketahanan pangan nasional. Apalagi proyek estate food yang dianggap strategis untuk mendukung ketahanan pangan bisa dikatakan jalan tersendat, hasil tidak jelas bahkan menimbulkan masalah lingkungan dan konflik agraria dengan penduduk adat. Mari kita bahas dampak buruknya.
Pertama. Masa depan yang mengerikan bagi Indonesia adalah sangat lemahnya ketahanan pangan secara nasional ( Sustainability and Adaptation). Kalau terjadi perubahan iklim, kita tidak siap. Indonesia menempati posisi 63 dari 113 negara dalam hal ketahanan pangan nasional, yang diukur oleh Economist Impact dalam laporan The Global Food Security Index. Sangat ironis. Padahal Indonesia adalah negara agraris yang bisa bertani sepanjang musim. Luas lahan urutan ke 14 terluas di dunia dan urutan ketiga di dunia dalam hal panjang garis pantai.
Kedua. Terbukti angka impor pangan terus meningkat. Dalam 11 tahun terakhir, belanja impor pangan mencapai US$84,8 miliar atau setara Rp1,272 triliun untuk hanya berbelanja enam dari sembilan barang kebutuhan pokok/sembako-beras, susu, bawang, garam, daging dan gula. Indonesia defisit perdagangan terhadap enam komoditi tersebut. Makanan mie dan tempe sudah menjadi makanan pavorit rakyat Indonesia, sementara gandum impor dan 90 % kebutuhan nasional kedele masih tergantung impor.
Ketiga. Sektor peternakan terpukul, Karena harga pakan ternak terus naik. Mengapa? Karena jagung sebagai bahan baku pakan ternak naik terus. Harga pakan naik karena depresiasi kurs rupiah terhadap USD dan semakin luasnya downstream jagung. Walau kata pemerintah kita sudah swasembada jagung, nyatanya kita masih impor jagung.
Keempat. Karena pangan masih tergantung kepada Impor maka faktor eksternal sangat berdampak terhadap Indonesia. Misal adanya perang Rusia-Ukrania, harga gandum melonjak, sementara cuaca buruk di India dan Thailand berdampak pada kenaikan harga beras. Terbukti, data inflasi makanan dalam 41 bulan terakhir, Indonesia mengalami rata-rata kenaikan inflasi harga makanan 2,39% (inflasi kalender/year to date) per bulan dengan lonjakan tertinggi pada Juli 2022 mencapai 8%, di atas inflasi umum.
Kelima. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang semakin menurun. Saat ini, porsi pertanian terhadap PDB hanya 11,77% pada kuartal I 2023, terendah dalam satu dekade terakhir, dan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi hanya 0,04% pada kuartal pertama tahun ini. Solusinya mari kita belajar dari China bagaimana mereka membangun sektor pertanian dan membuat petani kaya.
***
Pada April 2012 Pemerintah provinsi Guizhou mengimplementasikan keputusan politik dari Konferensi Kerja Pedesaan Komite Pusat dan Provinsi. Provinsi Guizhou salah satu provinsi di wilayah barat China yang kurang lahan pertanian, modal sosial yang rendah, dan kapasitas produksi pertanian yang rendah. Itu karena lingkungan ekologis Guizhou wilayah pegunungan. Dampaknya adalah kemiskinan di pedesaan Guizhou sangat mengakar. Kurang pangan dan tanpa mampu swasembada.
Karena Pembangunan pertanian di kawasan karst Guizhou menghadapi pertumbuhan populasi pertanian, lingkungan pertanian yang rapuh, dan memburuk. Maka pemerintah China perintahkan lembaga riset nasional dan universitas memikirkan solusi agar Guizhou bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Apa solusinya? bukan memperluas lahan pertanian lewat estate food. Bukan pula mentransmigrasikan penduduk ke wilayah lain. Bukan mengelontorkan subsidi pupuk dan alat pertanian. Bukan pula memberikan kredit murah. Bukan. Jadi apa ?
Solusi bagi Guizhou adalah pengembangan pertanian ekologis yang mensyaratkan tanpa pupuk kimia dan pestisida. Pertanian ekologis didasarkan pada premis peningkatan kapasitas produksi pertanian dan pendapatan petani yang bertumpu kepada keariban lokal dan riset pertanian ekologis. Strategi mengembangkan pertanian ekologis inilah yang jadi strategi pembangunan berkelanjutan. Dari sana lahirlah beragam jenis pupuk alami untuk beragam produk pertanian. Beragam bibit yang tahan hama dan produktifitas tinggi.
Petani memilih menanam produk pertanian organik yang bernilai tinggi. Harga di pasar lebih tinggi 25% daripada nonorganik. Pasarnya dijamin oleh lebih 200 industri pengolahan produk organik bermerek dengan kualitas international. Antara pertanian, industri pemgolahan terintegrasi menjadi kekuatan supply chain beragam produk downstream. Tentu didukung sistem logistik yang canggih dan terintergrasi dengan ekosistem financial. Produksi meningkat. Itu hanya berlangsung 10 tahun. Petani semakin kaya dan mengubah wajah sosialis desa dari terpuruk menjadi makmur.
Melihat kehebatan Guizhou, kadang saya miris saat bertemu dengan teman yang terpuruk, bertanya: Kita sudah merdeka tapi sebenarnya kita tidak merdeka saat apapun benda modern tergantung impor. Jika kita maknai merdeka itu adalah kata sifat , pertanyaan itu tak akan ada. Tan Malaka berkata, kemerdekaan adalah merdeka berpikir. Lepas dari stigma, dokrin, hapalan dan menghidupkan dialektika agar apapun fakta harus diuji dengan logika. Karenanya diperlukan sains. Sebab sifat merdeka itu adalah juga mindset yang diuji oleh proses waktu dan sejarah perjalanan hidup sebagai orang merdeka. Perubahan hebat terjadi pada Provinsi Guizhou karena keberanian mengambil resiko untuk berubah. Menyadari bahwa tanpa sains tidak akan ada kemajuan dan perubahan yang lebih baik. Ya sains yang berbasis kepada kearifan lokal. Tentu kerja keras dan political will yang kuat, good attention yang besar dari pemerintah untuk merealiasikan kemerdekaan dalam arti sesungguhnya.
Salah satu provinsi di Indonesia bisa saja meniru Guizhou. Sebenarnya kesempatan itu terbuka luas. Karena tekhnologi tepat guna pertanian yang diterapkan di Guizhou hampir semua dikuasai oleh rakyat Indonesia. Sudah banyak pupuk organik yang diproduksi dengan beragam formula. Yang diperlukan itu adalah membangun cluster pertanian yang terintegrasi dengan stokis, industri pengolahan, Industri downstream dan ekosistem financial.
Tapi sayang sekali, sejak 2015 hingga sekarang total dana desa yang telah dikucurkan Pemerintahan Jokowi mencapai Rp468,6 triliun. Itu hanya menghasilkan jalan desa dan jembatan. Sementara mindset pertanian ekologis komprehensif dan transformasi industri tidak tersentuh. Uang habis hasilnya hanya sarana yang akan terus memakan ongkos dari APBN, tanpa ada perubahan sosial desa yang tumbuh berkelanjutan.
***
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.