RUU perampasan Aset ini sudah disusun sejak tahun 2008 era SBY. Dan di penghujung kekuasaan SBY, tahun 2012 masuk ke DPR. Tapi tidak kunjung dibahas. Masuk era Jokowi, dianggurin aja tuh RUU. Di penghujung kekuasaan Jokowi, kembali diajukan ke DPR. Entah gimana kelanjutannya. Sampai kini belum dibahas DPR. Ada beberapa issue tentang RUU perampasan aset ini disahkan.
Pertama. Koruptor itu cerdas. Setidaknya dia punya ahli keuangan yang bisa atur layering uang dan aset hasi korupsi. Nah apakah kita punya ahli cukup untuk merampas aset yang sudah di layering secara rumit dan terstuktur. Okelah gunakan pembuktian terbalik. Apakah ada ahli yang bisa menemukan asset atau uang senilai yang dicurigai asal korupsi? Kalau tidak, bagaimana mau terapkan pasal pembuktian terbalik.
Mengapa ? Secara konvensional, perampasan aset lazimnya diterapkan terhadap tindak pidana yang menggunakan atau menghasilkan harta kekayaan. Yang mana, perampasan aset merupakan bagian dari pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa sebagaimana dalam ketentuan Pemidanaan pada Pasal 10 KUHPidana.
Akan tetapi, dalam delik-delik kontemporer, terutama economics crime yang jamaknya bersifat white collar crime, dibutuhkan keahlian khusus dalam hal investigasi. Perlu pendekatan sophisticated. Kalau dengan cara pendekatan pidana, ya sampai bulukan engga akan berhasil. Emang gampang dapatkan dua alat bukti. Koruptor otaknya secerdik tikus. Jago berkelit dan lepas dari jebakan. Nah kalaupun ada ahlinya dalam hal investigasi, apakah bisa cepat? Itu pengusutan 349 T belum ada yang kakap kena jaring. Telat rampas, ya lenyap dah itu aset.
Kedua. Nah kalau sudah berhasil disita Aset. Lembaga apa yang mengelola aset itu. Karena kan tidak semua uang tunai. Bisa saja berupa saham dan aset keras. Apakah BUMN? ya engga lucu ada BUMN yang aset terpisah dari negara kuasai aset negara. Lembaga atau badan khusus? siapa yang jamin integritasnya.
Ketiga. Nah kalau ada solusi soal lembaga pengelola aset. Timbul lagi pertanyaan. Mau dilelang? ya kaya duluan ya mafia lelang. Kalau dijual cepat, harga akan jatuh. Jelas negara tidak untung kalau dikaitkan dengan nilai korupsi. Ingat dech kisah penyitaan aset obligor BLBI yang diserahkan ke BPPN. Dilelang dengan harga paling tinggi 30% dari nilai pasar. Bahkan ada yang seharga 1% dari nilai aset.
Terakhir. Bagi partai kecil atau oposisi ini ancaman serius. Karena apa jadinya kalau UU perampasan aset ini dijadikan cara untuk balas dendam. Membonsai elite partainya. Bagi partai pemenang pemilu, jadi masalah serius. Karena gerakan mereka meleverage kekuasaan untuk mengisi pundi pundi partai akan berkurang. Meleng sedikit bisa habis mereka. Maklum kader mereka ada di pemerintahan.
Kalaupun RUU Perampasan Aset ini disahkan. Tetap tidak akan efektif merampas aset koruptor dan memiskinkan mereka. Karena RUU ini yang jadi target adalah pemerintah dan elite politik. Apa mereka mau membonsai diri sendiri. ? kan engga mungkin. Mana ada motif orang masuk ke pemerintahan dan politik tanpa niat dapatkan uang dan kekayaan. Kalau anda percaya niat baik, itu naif. Karena by sytem memang kekuasaan itu adalah alat leverage bagi pengusaha untuk semakin kaya dan menebarkan uang kepada elite. Mutual simbiosis.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.