Tahun 2015 eistimasi penerimaan
pajak di buat tinggi atau diatas 20 % dari penerimaan sebelumnya. Realisasi hanya
mencapai 81,5 %. Pada APBN 2016 estimasi penerimaan pajak masih tetap tinggi. Mengapa
tetap tinggi? padahal tahun sebelumnya
target penerimaan tidak tercapai. Estimasi pajak yang tinggi ini menurut saya
lebih kepada perbedaan persepsi tentang basis pemajakan. Ini adalah bagian dari
politik anggaran. Dasarnya adalah Proporsi penghasilan tertinggi merupakan
indikasi terjadinya ketimpangan pendapatan. Dengan meningkatnya proporsi
penghasilan tertinggi, berarti semakin besar proporsi pendapatan nasional yang
dikuasai oleh kelompok penduduk yang mempunyai penghasilan tertinggi, atau
dengan kata lain pendapatan nasional terkonsentrasi pada kelompok penghasilan
tertinggi. Indonesia termasuk ke dalam salah satu negara yang memiliki tax
ratio yang rendah. Tax ratio Indonesia yang hanya sebesar 11%, dibanding
Filipina sebesar 12%, Malaysia sebesar 16%, dan Singapura sebesar 22%. Hal ini
menggambarkan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pajak, untuk
berkontribusi membayar pajak, dan untuk membangun kesejahteraannya sendiri
karena tidak mungkin negara ini dapat berjalan tanpa pajak, apalagi pajak
memiliki porsi sebesar 75% dalam penerimaan negara, yang selebihnya disumbang
oleh bea cukai, PNBP, dan lain-lain. Dan jika dilihat dalam perspektif jangka
waktu tertentu, apabila proporsi tersebut semakin meningkat, dapat dikatakan
bahwa ketimpangan pendapatan semakin meningkat. Pemerintah menyadari
ketimpangan ini. Itu sebabnya dalam APBN tercermin tekad pemerintah untuk
meningkatkan penerimaan pajak dengan
upaya perluasan basis pajak dan kepatuhan pajak.
Sebuah studi yang dilakukan oleh
Aizenman dan Jinjarak (2012) menyelidiki keterkaitan antara ketimpangan
pendapatan dan basis pemajakan diantara negara-negara pada periode 2000-an, dan
menghubungkannya dengan tingkat ketergantungan terhadap utang. Hasil studi
tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara ketimpangan
pendapatan dengan basis pemajakan, dan ketimpangan pendapatan yang lebih tinggi
terkait dengan basis pemajakan yang lebih rendah, ruang fiskal riil (de facto
fiscal space) yang lebih kecil, dan ketergantungan terhadap utang yang lebih
tinggi. Ruang fiskal riil—berdasarkan
kajian Aizenman dan Jinjarak (2011) sebelumnya—didefinisikan sebagai utang
pemerintah dibandingkan dengan basis pajak riil, dimana basis pajak riil adalah
penerimaan pajak yang terealisasi dirata-ratakan selama beberapa tahun untuk
memperhalus fluktuasi siklus bisnis. Karena itu, ruang fiskal riil mempunyai
kaitan yang berkebalikan dengan lamanya tahun pajak yang diperlukan untuk
melunasi hutang pemerintah. Pada prakteknya, penerimaan pajak rata-rata menjadi
ukuran yang baik atas kapasitas pemajakan riil, sebagai hasil dari
dijalankannya ketentuan dalam perpajakan dan penindakan yang efektif. Sementara
rasio utang terhadap GDP meningkat pesat dalam masa-masa krisis
Akibatnya, rasio utang pemerintah terhadap
basis pajak riil, atau jumlah tahun pajak yang diperlukan untuk melunasi utang
pemerintah, memberikan informasi mengenai ketatnya ruang fiskal suatu negara.
Untuk kasus terjadinya guncangan fiskal yang tidak terantisipasi semacam itu,
negara dengan utang pemerintah / rata-rata penerimaan pajak yang lebih rendah
mungkin memiliki lebih banyak ruang untuk menyesuaikan diri dengan melakukan
realokasi prioritas penggunaan basis pemajakan yang relatif tinggi. Untuk dapat
menjelaskan hubungan antara basis pemajakan dengan ketimpangan pendapatan,
Aizenman dan Jinjarak (2012) melakukan analisis ekonometrika tersebut pada 50
negara yang mempunyai catatan komprehensif mengenai variabel-variabel kunci
seperti: Gini coefficient, basis pemajakan, dan ruang fiskal hingga tahun 2011.
Kemudian ditemukan bahwa ketimpangan yang semakin tinggi mempunyai keterkaitan
dengan basis pemajakan yang lebih kecil dalam periode yang diteliti; dan bahwa
dampak ketimpangan tersebut meningkat dari 2007 ke 2011. Pengaruh ketimpangan
terhadap ruang fiskal bekerja melalui saluran basis pemajakan, dan pengaruhnya
besar: peningkatan 1 standar deviasi Gini coefficient, atau 10 dalam skala
0-100, terkait dengan basis pemajakan rata-rata yang lebih rendah sebesar 21
persen dari GDP di 2011.
Basis pemajakan riil memang tidak
dapat diubah dalam waktu singkat karena mencerminkan kontrak sosial. Kontrak
tersebut bergantung pada kapasitas negara untuk melakukan penindakan
perpajakan, yang bermuara pada persepsi publik terhadap keadilan dalam
perpajakan dan manfaat yang diperoleh dari pengeluaran sektor publik oleh
pemerintah. Pandangan ini konsisten dengan temuan kajian empiris baru-baru ini
yang menemukan bahwa kepatuhan dalam perpajakan dan kerelaan individu untuk
membayar pajak dipengaruhi oleh persepsi tentang keadilan dalam struktur pajak.
Seorang wajib pajak individu sangat dipengaruhi oleh persepsinya terhadap
perilaku wajib pajak lainnya (Alm dan Torgler 2006). Jika wajib pajak memandang
bahwa sikap mereka cukup terwakili dan mereka mendapatkan manfaat dalam bentuk
barang publik, rasa memiliki terhadap negara meningkat, dan karenanya kerelaan
untuk membayar pajak juga meningkat (Frey dan Torgler 2007). Dengan demikian, ketimpangan pendapatan yang
semakin besar akan membatasi kemampuan untuk melakukan kebijakan kontra fiskal.
Mengkonfirmasi logika tersebut, hasil temuan empiris dari Aizenman dan Jinjarak
(2012) menyatakan bahwa semakin terpolarisasi suatu masyarakat maka akan
semakin sulit untuk menyesuaikan diri dengan menaikkan pajak pada saat krisis.
Jadi estimasi pajak yang tinggi
itu karena dasarnya adalah upaya serius negara secara politik memperluas basis
pemajakan dan mengadopsi kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan.
Kombinasi dari kedua kebijakan tersebut akan meningkatkan persepsi masyarakat
terhadap keadilan dalam struktur pajak, mengurangi polarisasi, dan memperbaiki
kapasitas untuk menyesuaikan diri pada saat terjadi krisis. Kalaupun tidak
tercapai target maka bukan berarti itu salah. Kebijakan harus konsisten dengan
tetap meninggikan estimasi pajak agar negara (DPR) membuat semua UU dan aturan
yang bertumpu kepada pengurangan ketimpangan penghasilan di masyarakat.dengan
memperluas basis pemajakan. Seperti rencana revisi UU Pajak yang berkaitan dengan Tax Amnesty. Upaya keras pemerintah untuk memaksa Singapore dan negara lain untuk menandatangi Keterbukaan informasi di bidang perbankan dalam upaya mengejar pemilik dana yang menempatkan dana di luar negeri. Mendukung pembinaan usaha kecil dan mendorong mereka mematuhi pajak dan lain lain.Ini sedang berproses. Yang pasti hasilnya kini sudah nampak dimana walau ekonomi menurun secara global, Indonesia tetap mampu menarik pajak, bahkan tembus Rp.1000 triliun yang sebelumnya tidak pernah terjadi walau ekonomi lagi booming.
Sumber pembiayaan di luar APBN
juga dilakukan dengan mendorong agar
BUMN lebih kreatif menarik dana dari luar. Namun untuk menarik dana dari luar adalah tidak mudah. Karena ini berkaitan
dengan performance permodalan dari BUMN. Umumnya permodalan BUMN tidak semua
sehat. Rata rata DER mereka sudah diatas ambang batas untuk me leverage asset
nya sebagai trigger menarik dana dari luar. Itu sebabnya pemerintah menambah
modal disetor pada BUMN dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN ). Jadi PMN
itu bertujuan memperbaiki Performance Balance sheet agar lebih mudah menarik
dana dari luar. Jadi dana PMN itu tidak dipakai langsung untuk proyek. Contoh kasus
jalan toll sumatera. Itu sepenuhnya di biayai oleh perbankan melalui pinjaman yang
dilakukan SPV dimana BUMN ada didalamnya. Melalui dana PMN yang ada BUMN bisa
melakukan leverage minimal 10 kali. Artinya kalau PMN sebesar USD 400 juta maka
leverage nya mencapai USD 4 miliar..artinya semua anggaran proyek dapat di
biayai secara PPP. Juga menggandeng asing membangun infrastruktur dengan skema B2B murni tanpa melibatkan PMN dan APBN,seperti Kereta Cepat Jakarta - Bandung.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.