Winston Churchill hampir tidak percaya ketika dia kalah dalam
Pemilu paska perang dunia kedua tahun 1945. Padahal reputasinya sedang tinggi
sekali karena dia berhasil membawa inggeris bersama Amerika keluar sebagai pemenang
dalam perang dunia kedua melawan jerman. Peranannya sebagai ahli strategi, orator,
diplomat dan politisi terkemuka menjadikan Churchill salah satu dari tokoh
paling berpengaruh di dunia ketika itu. Mengapa rakyat pada akhirnya lebih
memilih Partai Buruh dibandingkan dia? Rakyat memang terpesona dengan cerita dan
berita kehebatan Churchill namun pada akhirnya rakyat tidak hidup dalam jargon
dan retorika pemikiran Churchill. Rakyat tidak bisa menerima seorang pemimpin
yang hidup dalam mimpinya dan berharap meraih kenyataan dari mimpi itu. Rakyat ingin hidup dalam dunia nyata.Nyatanya perang
dunia kedua hanyalah ambisi Churchill yang akhirnya membuat Inggeris bangkrut
terlilit hutang akibat perang yang menurut sebagian besar rakyat inggeris, tak
ada gunanya. Andaikan Churchill mau menerima konsep perdamaian dengan Hitler, perang
tidak perlu terjadi. Korban akibat perang ,tidak perlu ada. Namun yang terjadi terjadilah. Churchill
merasa rakyat terlalu bodoh untuk memberikan mandat kepada Partai buruh yang
hanya pandai mengeluh setiap hari. Bukan soal mengeluh atau apa, tapi justru
buruh yang banyak berkorban untuk ambisi perang Churcill. Pemilu adalah
pengadilan terbaik dihadapan Rakyat tentang siapakah yang dipercaya. Rakyat
bersikap dan Churchill harus kalah.
Ada tiga teori tentang loyalitas
pemilih dalam pemilihan umum. Yang partama adalah teori Identification atau
Michigan Model ( 1997) yang menjelaskan bahwa pemilih mengindentifikasikan diri
dengan partai politik yang mereka dukung. Artinya pemilih menentukan pilihannya
sesuai dengan paham partai tersebut ( demokrat, sosialis atau nasionalis ).
Kedua, adalah pendekatan social loyalty, dikenal dengan Europe model yang
mengatakan variable identitas sosial adalah faktor lain penentu perilaku
pemilih dalam pemilihan. Artinya dalam teori ini pemilih tidak lebih sebagai
alat penegasan pemilih ( voters affirmation ) terhadap loyalitas sosial
tertentu seperti agama, etnisitas komunitas dimana mereka dilahirkan, atau
kesamaan profesi dll. Ketiga, adalah teori kompetensi dan integritas calon.
Artinya pemilih lebih tertarik pada kualitas kandidat yang berlaga dipemilihan atau isu kampanye yang dikomunikasikan pasangan calon, tanpa mempersoalkan
identitas sosial kandidat. Di Indonesia sejak menerapkan pemilihan langsung, sejak Pacasila dinyatakan ramai ramai sebagai dasar
Partai maka teori pertama tidak lagi berlaku. Namun kelihatannya ada sebagian elite
partai masih percaya dengan social
loyality. Nyatanya walau sudah menjadikan partainya berazaskan islam , tetap tidak berhasil menjadi pemenang walau mayoritas penduduk beragama islam. Teori ketiga ,
juga tidak efektif terbukti banyak tokoh hebat seperti Amin Rais gagal jadi
capres. Banyak artis dan tokoh tenar juga gagal ke Senayan. Mungkin ada benarnya Fukuyama dalam tesisnya yang terkenal “the End of History” sebagai akhir dari sejarah. Bahwa konflik ideologi telah hilang dan digantikan dengan alasan-alasan demokratik yang rasional. Semakin maju orang berpikir semakin rasional dia bersikap, yang tentu tidak mudah ditaklukan dengan magic word bernuasa agama, sosialis,nasionalis.
Seorang teman nampak geram karena
Aceng Fikri yang jelas jelas amoral karena menceraikan istri nikah sirinya
karena alasan subjective dan akhirnya dilengserkan sebagai bupati oleh kekuatan
politik DPRD. Nyatanya kini terpilih sebagai anggota DPD (Senator) mewakili
Jawa Barat. Padahal untuk menjadi
anggota DPD lebih berat dibandingkan menjadi anggota DPR. Aceng Fikri harus mendapatkan suara diatas 1
juta pemilih dan dia berhasil meraih 1.139.556 suara. Ini bukan hal yang
sederhana. Sementara banyak artis tenar, tokoh masyarakat,elite partai gagal
meraih suara untuk duduk di Senayan, bahkan enam anggota keluarga keraton Solo
juga gagal menjadi legislatif padahal
secara defacto mereka keluarga
terhormat di Solo. Ada apa ini? Memang demokrasi liberal adalah system yang
memastikan tidak ada superioritas. Semua pemilih dan dipilih adalah equal. Pemilih
tidak bisa didikte dalam bentuk apapun karena kebebasannya dijamin oleh undang
undang. Karenanya sehebat apapun anda dengan visi nasionalis, agamais, sosialis
,moralis pada akhirnya anda harus membuktikan dihadapan pemilih bahwa anda memang patut dipilih untuk mewakili
mereka. Kata kata tetaplah kata kata, niat
tetaplah niat namun pada akhirnya orang memilih anda karena memang anda pantas dipilih.
Mungkin saja ada kecurangan dalam Pemilu dan itu tidak bisa dihindari namun
yang harus diingat bahwa pemilu itu memungkinkan by system orang bebas
mengawasi dan memastikan orang tidak bebas mencurangi. Kalaupun ada pelanggaran
, tidaklah massive. Itu rasio yang tidak significant sehingga bisa merubah
pilihan mayoritas.
Apakah ini sehat untuk kehidupan
bernegara? Bagi orang yang senang dihormati oleh orang banyak karena patron , primordial (emosi keagamaan, profesi, etnis) maka demokrasi liberal sangat tidak nyaman. Apalagi
terbiasa dengan memaksa orang patuh
secara totaliter atas kebenaran dari persepsi atas nama agama
atau idiologi, tentu demokrasi liberal bukan system yang baik. Bahkan Soekarno
merubahnya menjadi demokrasi terpimpin. Soeharto merubahnya menjadi Demokrasi
Pancasila. Yang pasti ketika mereka bersandar kepada ketidak-setaraan , pada
saat itu mereka berlaku menjadi penjajah atau tiran.Atas nama Pancasila ,
Soeharto menjadikan lawan politiknya pesakitan. Atas nama Revolusi, Soekarno menjadikan
lawan politiknya pesakitan. Demokrasi liberal seakan memberikan isyarat kepada
siapapun kalau ingin terpilih maka mereka harus bisa menaklukan hati pemilih.
Satu satunya yang membuat orang takluk hatinya adalah apabila “diberi”. Namun
pemberian yang tidak ikhlas mudah ditebak menjadi pemberian yang memalukan.
Banyak caleg yang memberi ketika masa kampanye tapi tetap gagal mendapat
korsi. Pemilih punya prinsip ambill
uangnya tapi jangan pilih orangnya. Jadi tidak seratus persen pemilih itu orang
bodoh yang mudah dibeli. Mereka cerdas dan tahu bagaimana harus memilih. Ketika
pemilu rakyat yang buta hurup namun tidak buta hati,tidak sulit menilai Partai
mana yang peduli kepada mereka dan mana yang hanya retorika. PDIP dan Garindra
menjadi pilihan utama Rakyat Jakarta karena mereka bisa merasakan hasil yang
dicapai oleh Jokowi dan Ahok selama hampir 2 tahun memimpin Jakarta.
Yang pasti mereka yang bisa menaklukan hati pemilih itu kebanyakan
adalah bukanlah orang kaya raya atau keluarga keraton tapi malas bersosialisasi
dengan rakyat banyak. Bukan Da'i yang hanya datang kalau dikasih uang saku. Atau
ulama yang rajin nulis buku tapi miskin spiritual sosialnya. Bukan aktifis yang
hanya sibuk onani tentang konsep pemikiran hebatnya namun hidup bergantung dari donasi orang lain.
Bukan ketua LSM yang hanya sibuk jadi
pengamat di mediamassa dan menerima bayaran karena itu. Bukan ekonom / budayawan/
sosiolog/insinyur yang hanya sibuk berceloteh dan menghujat pemerintah tapi
miskin tindakan dan tidak pernah bisa mandiri. Mereka yang terpilih itu adalah orang biasa saja namun dia selalu
dekat kepada rakyat dan ikut terlibat dalam karya nyata membantu rakyat tentang
bagaimana menyelesaikan masalah keseharian. Tentu itu tidak dilakukan hanya
ketika menjelang Pemilu tapi memang sudah menjadi kesehariannya selalu ada
untuk orang banyak. Yang pasti mereka ini dimanapun berada selalu menentramkan. Mereka bagian dari rakyat dan akrab lahir batin. Karena itupula demokrasi liberal lambat namun pasti menciptakan kekuasaan berdasarkan kerakyatan yang rasional, dan tentu hanya masalah waktu liberalisme akan tereliminasi dengan sendirinya. Karena demokrasi dan liberalisme ibarat
air dan minyak.Tidak akan pernah bersatu. Marx pernah berkata bahwa demokrasi
yang sesungguhnya adalah masa depan dari masyarakat komunis dimana kekuasaan
akan kembali pada rakyat dan rakyat-lah yang akan mengatur diri mereka sendiri. Ya hanya mereka yang akrab lahir batin dengan rakyatlah yang berhak memimpin dan dipilih...