Ketika Soeharto jatuh dan PDIP
unggul dalam pemilu tahun 1999, tidak otomatis menjadikan Megawati sebagai Presiden. Permainan koalisi di Sidang Umum MPR hanya menempatkan Megawati sebagai Wapres
dengan Gus Dur sebagai Presiden. Megawati hanya jadi ban serep tanpa prestasi
apapun. Kemudian Gus Dur dijatuhkan oleh MPR dan menempatkan Megawati sebagai
Presiden. Apa prestasi Megawati ? Hanya dua yaitu mengeluarkan IMF dari Indonesia dan sekaligus stop utang luar negeri atau zero growth debt. Selebihnya kekuasaan dijalankan oleh kekuatan Poros Tengah dan Golkar. Praktis idiologi Marhaen tidak jalan sama sekali? Semua tahu bahwa Soekarno anti kapitalis tapi di era Megawati LNG Tangguh dikuasai asing dan menjual INDOSAT kepada
asing, serta diberlakukannya privatisasi BUMN. Semua tahu bahwa Soekarno penggali UUD 45 dan
Pancasila , dan di era Megawati amandemen UUD 45 terjadi secara luas sehingga
tidak layak lagi disebut UUD 45 tapi UUD 2002. Semua tahu bahwa ditangan
Soekarno lah nusantara berhasil direbut dari asing tapi di era Megawati pula Simpadan lepas ketangan Malaysia. Saya yakin ini sangat menyakitkan bagi Megawati ketika itu namun Megawati memilih diam. Dukungan kuat rakyat kepada
simbol Soekarno pada Megawati ini hanya berumur jagung dan mendulang kekecewaan
ketika Megawati tidak memberikan kebanggaan dan kepuasaan kepada rakyat selama
dia menjadi Presiden. Itulah harga yang harus dia bayar. Seorang teman yang juga aktifis Marhaen sempat berkata
kepada saya bahwa apakah Megawati tidak melihat realita dari dua kali PEMILU , PDIP dapat dikalahkan
oleh Partai Demokrat dan SBY unggul telak sebagai President. Mau berapa kali lagi PEMILU untuk meyakinkan
Megawati bahwa orang ramai tidak melihat Megawati similiar dengan Soekarno. This
is enough.
Kalaulah mau jujur sebetulnya
tidak semua kader PDIP suka dengan Megawati. Mengapa ? Ada jarak
yang sangat jauh antara Megawati dengan Marhaenisme. Megawati bukan pemimpin
yang merakyat. Ketika dia jadi Presiden dia memimpin bergaya Feodal,yang sangat
sulit diakses dan sangat tidak bisa menerima perbedaan. Perseteruannya dengan
SBY yang merupakan salah satu menterinya dulu juga sebagai bukti bahwa Megawati
bukan orang besar yang mudah mendengar dan mudah pula memaafkan. Ada segelintir kader PDIP yang hengkang dan membuat Partai sendiri yang konsisten dengan Marhaen tapi gagal meraih suara dalam Pemilu. Ini sebagai bukti bahwa bagaimanapun
perjuangan Idiologi Soekarno akan lebih efektif bila itu digerakan oleh Megawati atau trah Soekarno. Para kader sadar bahwa mereka butuh simbol hidup Patron Soekarno untuk menarik kaum tertindas untuk bergabung. Walau sebetulnya cara ini tidak lagi efektif
karena semakin meluasnya informasi semakin menyadarkan Rakyat bawah bahwa
Soekarno sudah tiada dan tidak akan pernah ada lagi Soekarno kedua atau
titisannya. Namun ditengah ketidak adilan dan semakin lebarnya gap kaya miskin akibat kapitalisme, marhanen memang laku dijual. Marhaenisme inilah yang ditampilkan kepermukaan oleh para kader
ketika berhadapan dengan akar rumput. Mereka mendekati rakyat dengan
keteladanan untuk berkorban. Mereka merasakan derita rakyat secara lahir maupun
batin. Hal ini tercermin dari program kerja mereka ketika mereka punya
kesempatan memimpin.
Keberadaan Ganjar, Jokowi dan Herman, Tri Rismaharini serta lainnya
adalah satu contoh generasi Marhaen sejati yang tumbuh dan berkembang dari akar
rumput. Umumnya mereka adalah kaum terpelajar yang mengenal Marhaen ketika
mereka sebagai aktifis di Kampus di era Soeharto. Usia mereka kini rata rata
diatas setengah abad. Kebanyakan mereka taat beragama namun tidak menggunakan agama sebagai simbol berjuang sebagaimana
mereka tidak menggunakan simbol Marhaen untuk mempengaruhi rakyat. Mereka lebih
mengutamakan keteladanan sebagai pribadi yang mengabdikan umurnya untuk berguna
bagi orang lain. Sikap hidup mereka
adalah pengabdian sebagaimana kata kata Bung Karno "Saya adalah manusia biasa.Saya tidak sempurna.Sebagai manusia biasa saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan.Hanja kebahagiaanku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah
Air, kepada bangsa. Itulah dedication of life-ku. Djiwa pengabdian inilah jang mendjadi falsafah hidupku, dan
menghikmati serta mendjadi bekal-hidup dalam seluruh gerak hidupku. Tanpa djiwa pengabdian ini saya bukan apa-apa. Akan tetapi dengan djiwa
pengabdian ini, saja merasakan hidupku bahagia,- dan manfaat."
Ya, PDIP pada awalnya berdiri
karena perjuangan seorang Megawati melawan kezoliman Soeharto. Berlalunya waktu
Mega disadarkan untuk lebih bijak apalagi setelah mengalami
kekalahan demi kekalahan dalam PEMILU. Mega sadar bahwa dia perlu kembali
kepada Marhaen sejati, bukan hanya simbol tapi memang sebagai idiologis yang
mengawal Pancasila dan UUD 45. Itulah sebabnya dalam Kongres di Bali tahun 2009
telah dibentuk Majelis Idiologi yang mewadahi arah gerak dan orientasi serta
dinamika PDIP sebagai partai ideologis agar sesuai dengan Pancasila 1 Juni
1945. Sejak itu Mega tidak lagi meng claim dialah yang patut menjadi Presiden
dan disimbolkan sebagai pewaris Patron Soekarno. Mega sudah menempatkan PDIP
sebagai partai kader yang besar karena idiologi dan bukan karena simbol orang
perorang. Walau sebetulnya masih ada didalam tubuh PDIP yang tetap bersandar
kepada simbol Soekarno yang umunya mereka berada diakar rumput. Mega tidak bisa
mengabaikan mereka karena itu sebuah realitas yang harus disikapi dengan bijak. Karenanya dengan bijak dan smart Mega tidak segera
mengumumkan Jokowi sebagai Capres. Itu akan diumumkan setelah PEMILU legislative. Alasannya sudah tentu untuk menjaga perasaan mereka
yang masih percaya dengan Soekarno sebagai simbol Patron dan Mega sebagai
titisannya.
Bila ternyata PDIP bisa memenuhi
batas minimum Presidential Threshold yakni suara kursi legislatif 20 persen dan
suara nasional 20 persen ,maka ini sebuah realita bahwa Trah Soekarno masih
kuat dan Megawati akan maju sebagai Capres sesuai amanah Kongres. Namun ini kecil sekali kemungkinannya. Yang pasti bila
batas minimum tidak tercapai maka itu suatu realita bahwa Mega harus mundur dan
menyerahkan Capres kepada Jokowi. Semua kader PDIP akan menjadi mesin partai yang efektif dan berjuang untuk menempatkan Jokowi sebagai Presiden walau untuk itu harus membangun koalisi dengan partai lain. Bagi
Megawati apapun yang terjadi itulah yang
terbaik dan akan diterimanya dengan suka cita. Kalaulah memang rakyat memilih
Jokowi sebagai Presiden karena pribadi Jokowi yang Marhaen maka itu yang terbaik bagi PDIP tapi bila rakyat memilih Jokowi karena PDIP dan Soekarnoisme maka
itu juga takdir yang harus diterima dengan penuh tanggung jawab. Seorang
aktifis Marhaen berkata kepada saya bahwa Pemilu yang akan datang adalah
pertarungan all out PDIP bersama Partai koalisinya (Nasdem dan Garindra ) untuk memenangkan pemilu. Bila mereka menang
maka agenda utama adalah mengembalikan UUD 45 kedalam pangkuan ibu pertiwi. UUD
2002 sebagai amandemen dari UUD 45 akan di removed masuk keranjang sampah.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.