Saturday, December 14, 2013

keadilan yang tidak adil ?

LHI telah ditetapkan sebagai terpidana lewat keputusan pengadilan Tipikor. LHI dikenakan hukuman 16 tahun penjara dan seluruh hartanya disita untuk negara. Walau selama persidangan tidak bisa dibuktikan secara materi LHI melakukan perbuatan sesuai dakwaan jaksa. Karena memang tidak ada bukti ( Uang dan saksi kunci ) dia melakukan. Tidak ada bukti dia menggunakan kekuasaannya sebagai pimpinan PKS untuk mempengaruhi menteri Pertanian yang kader PKS. Kesalahannya  LHI hanya satu yaitu dia berteman baik dengan pelaku yang terbukti secara materi melakukan suap yaitu Fathanah. Ya, KPK selalu menang di pengadilan. Tidak ada istilah SP3 untuk kasus yang ditangani KPK. Setiap orang yang dinyatakan tersangka maka dia akan berakhir menjadi terpidana. Saya termasuk marah dan benci dengan siapapun yang berlaku korupsi karena mereka bukan hanya mengkhianati negara tapi juga mengkhianati Tuhan. Mereka juga mengkhianati nilai nilai kemanusiaan yang harus mereka bangun dihadapan keluarga dan masyarakat sebagai makhluk yang bernama manusia. Kalaulah keputusan hukuman untuk LHI ada demi keadilan maka saya harus berpuas diri kepada KPK. Artinya cita cita reformasi untuk lahirnya masyarakat madani , masyarakat plural yang cinta perdamaian, kebaikan, kebenaran dan keadilan akan terjelma. Tidak perlu dirisaukan bila sampai kini korupsi terus terjadi karena hanya masalah waktu, itu akan habis dengan sendirinya seiring semakin kerasnya KPK bersikap. Yang jadi pertanyaan adalah apakah KPK benar diadakan sesuai amanah reformasi untuk tegaknya keadilan bagi rakyat dari para pelaku korupsi? Mengapa saya bertanya seperti itu ? 

Teman saya seorang  ahli telekomunikasi yang juga dosen ITB pernah diminta oleh pengadilan sebagai Saksi terdakwa kasus  Antasari. Teman ini  bukan orang yang doyan berpolitik dan tidak peduli soal intrik politik. Jadi dapat dipastikan dia akan menjadi saksi ahli yang bekerja sesuai dengan keahliannya tanpa bisa didikte karena alasan apapun. Kesaksiannya sangat menentukan untuk menghubungkan Antasari dengan peristiwa kematian Nasruddin, dimana satu satunya bukti adalah adanya SMS dari  Antasari yang mengancam Nasruddin. Tugas teman ini adalah membuktikan SMS itu benar berasal dari Antasari. Hasil penelitiannya bersama team, membuktikan bahwa SMS itu tidak pernah ada. Bukti SMS yang diajukan Jaksa adalah palsu. Seharusnya dengan bukti itu,  Antasari harus dibebaskan dari segala tuntutan. Apalagi menurut teman saya yang pengacara bahwa selama proses persidangan tidak bisa dibuktikan hubungan Antasari dengan kematian Nasruddin. Itu semua hanya keterangan dari berbagai saksi yang dihadirkan jaksa dan dari itu cerita dibangun untuk  memberikan keyakinan kepada hakim bahwa tersangka dengan meyakinkan melakukan tindakan pidana dan patut dihukum seberat beratnya. Dakwaan jaksa adalah pembunuhan berencana dan dijerat dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP pasal 340 dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati. Yang akhirnya hakim memutuskan hukuman 18 tahun penjara.

Ustad Abu Bakar Baasyir (ABB) dijatuhi hukuman 15 tahun karena dakwaan melakukan kejahatan terorisme. Selama persidangan tidak ada satupun bukti secara materi yang  bisa menjadikan  ABB sebagai terpidana. Semua bukti hanyalah berasal dari saksi yang kemudian dihubungkan hubungkan dengan ABB untuk memberikan keyakinan kepada hakim bahwa ABB memang pelaku teroris. Benarkah begitu ? Teman aktifis yang selalu hadir dalam persidangan ABB mengatakan bahwa dakwaan jaksa sangat lemah. Satu satunya yang mengaitkan ABB dengan teroris Aceh adalah adanya pembicaraan empat mata antara ABB dengan Dulmatin untuk melakukan pelatihan militer di Aceh. Padahal almarhum Dulmatin ditembak mati sebelum dimintai keterangannya. Bagaimana saksi yang sudah meninggal yang tidak pernah memberikan keterangan BAP dapat dijadikan bukti dipengadilan. Satu satunya kesalahan  ABB adalah dia memang pernah berhubungan dengan orang orang yang terlibat tindakan teroris dan makar namun itu dalam kapasitasnya sebagai Ustadz atau ulama yang mengharuskan dia bertemu dengan berbagai orang. Kalaupun sampai orang terpengaruh dengan dakwahnya tentang keharusan menegakan syariat islam dalam kehidupan bernegara maka itu bukanlah kejahatan. Karena dia menyampaikan keyakinannya berdasarkan agama yang diakui syah oleh republik ini. Tapi keyakinan ABB dijadikan dasar keyakinan Hakim untuk menjadikan dia terpidana teroris.

Ada cerita, ini kisah nyata tahun 80an. Seseorang diseret oleh warga penghuni komplek perumahan kekantor polisi karena kepergok ada diatas genteng rumah orang dimalam hari. Walau tidak ada barang bukti ditangan bahwa dia mencuri namun sudah cukup alasan bagi orang ramai dia adalah pencuri. Setidaknya dia patut diduga melakukan pencurian. Patut diduga saja sudah cukup membuat orang pesakitan. Begitulah hokum dinegeri ini. Dihadapan polisi, tersangka mengakui bahwa benar dia ada diatas genteng rumah orang dimalam hari dan terpaksa mengakui patut diduga itu. Namun apa yang terjadi dipangadilan? Ditangan seorang pengacara yang idealis, tersangka ini bebas murni. Mengapa ? Ada satu pertanyaan dari terdakwa kepada hakim dan hakim tidak bisa menjawabnya, apa bukti bahwa dia mencuri? Karena ini dakwaan mencuri maka harus ada bukti barang curian. Tanpa bukti barang curian maka dakwaan itu batal demi hokum. Kesaksian tanpa bukti justru membatalkan kesaksian itu sendiri. Jaksa gagal menyediakan barang bukti dihadapan hakim karena memang belum terjadi pencurian. Satu satunya bukti kesalahan tersangka hingga patut diduga mencuri adalah dia berada diatas atap rumah orang dimalam hari. Tapi logika realita bukanlah logika hukum untuk menjadikan seoran terpidana. Ada falsafah hukum yang hampir semua mahasiswa fakultas hukum diwajibkan untuk menghapal Azas Indubio Proreo  “Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Artinya Lebih baik membebaskan orang yang diragukan bersalah daripada terlanjur menghukum orang tidak bersalah. Prinsip hukum ini sudah ada sejak zaman Nabi.

Philosopi hukum seperti cerita diatas tidak berlaku bagi LHI, Antasari dan ABB. Mereka dijadikan tersangka karena “patut diduga” dan setelah itu mereka menjadi terpidana karena proses persidangan yang berhasil menciptakan opini sehingga memberikan “keyakinan“ hakim bahwa terdakwa bersalah. Baiklah, itu sistem hukum di republik ini dimana Hakim punya kebabasan untuk bersikap. Andaikan kasus LHI, Antasari, ABB dijadikan jurisprudence untuk kasus Bank Century, Hambalang maka dipastikan akan banyak elite politik dari penguasa yang masuk penjara. Karena walau tidak terbukti secara materi namun secara “meyakinkan” dapat dibuktikan dari sisi sosial kehidupan mereka yang berkuasa, yang langsung menjadi Orang  Kaya Baru yang bergelimang dengan kemewahan. Tapi hukum Indonesia hanya berlaku untuk yang bukan penguasa, dan kepada penguasa,  hukum harus berjalan dengan azas Indubio Proreo. Seorang perwira militer asing  yang bertemu dengan saya dalam acara wine party mengatakan bahwa Amerika dan Australia sangat kecewa dengan sikap Megawati yang lemah terhadap Terorisme terbukti Abu Bakar Baasyir (ABB) dijatuhi vonis hukuman ringan. Namun AS sangat bangga dengan rezim SBY karena bisa membungkam ABB dengan hukuman berat dan sekaligus merusak citra gerakan islam fundamentalis di Indonesia. Mereka ( AS dan Australia ) puas terhadap hasil peradilan kasus LHI karena LHI bukan hanya mengganggu ambisi AS dan Ausralia menguasai pasar daging di Indonesia tapi juga LHI adalah orang yang masuk dalam gerakan bawah tanah perjuangan islam international. Walau untuk itu harus menjadikan Antasari sang ketua KPK sebagai terpidana karena mencoba menguak konspirasi mereka menempatkan puppet sebagai pemimpin terpilih negeri ini...

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.