Namanya Muamar khadapi. Orang mengenalnya dengan sebutan Collonel. Memang pangkat terakhirnya yang membawanya kepuncak kekuasaan di Libia adalah Kolonel. Tahun 2009 Khadapi berbicara keras dihadapan Kongres setelah membubarkan cabinet. Dia berkata “ Is there anyone rich who is loved in
Cara praktis ini ditentang habis oleh elite politik Libia. Karena akan menelan ongkos mahal dan menekan anggaran nasional. Khadapi tidak peduli. Dia harus mengambil keputusan. Benarlah. Memang mahal sekali ongkos redistribusi penghasilan ini. Maka dapat ditebak ujungnya yaitu Khadapi mulai mengungkit ungkit kotrak revenue sharing pengolahan ladang minyak oleh pihak asing.. Khadapi minta agar kontrak revenue sharing itu direvisi untuk lebih besar, lebih adil bagi rakyat Libia. Tak pelak lagi, hampir semua perusahaan raksasa yang mengolah ladang minyak di Libia merasa terganggu kenyamanannya, dan hampir sebagian besar mereka telah melepas sahamnya dibursa London dan New York. Ini adalah mimpi buruk bagi mereka. Khadapi tidak peduli dengan semua itu. Dia tetap dengan tekadnya seperti news yang saya baca pada The african Finance Jurnal tahun 2009 “ Libyans, this is your moment in history. Your country, your oil and the government are in your hands. This is a chance at complete freedom. Why would you let this opportunity pass you by”
Sebetulnya ide pendistribusian yang adil atas ladang minyak Libia kepada rakyat sudah dicanangkan Khadapi sejak 30 tahun lalu. Tapi tekanan international yang begitu hebat secara langsung maupun tidak langsung melalui smart approach kepada orang orang terdekat sang kolonel ini telah membuat Khadapi menerima kompromi untuk mengikuti konsep distribusi hasil secara konseptual.Tapi yang konsepsual , yang sistematis menurut mereka , sampai 30 tahun tidak ada hasil yang konkrit. Justru Libia menghasilkan banyak orang kaya dan super kaya. Sementara yang msikin tetap miskin. Para elite politik Libia telah menjadi broker hebat untuk asing menguasai sumber daya minyak Libia. Mereka kaya raya dan bercengkrama dengan investor migas kelas dunia dipusat pusat keuangan internatioanal. untuk memperkaya diri dari hasil minyak. Khadapi dikondisikan untuk benci dan lunak dengan pihak Barat/ AS karena ulah elite politiknya ini. Selama hampir 40 tahun , Bila Khadapi mulai mengungkit kontrak minyak, maka para elite ini memprovokasi ancaman dari Barat. Begitulah seterusnya.
Sejak tahun 2009 upaya gencar untuk me redistribusikan hasil minyak kepada Rakyat dicanangkan, sejak itu pula keadaan politik semakin memanas. Puncaknya bulan lalu paska kejatuhan Mubarak di Mesir , terjadi keributan di Libia. Keributan itu diawali dari Benghazi, yang merupakan wilayah yang diisi oleh mayoritas kelompok oposisi. Maklum saja wilayah ini tadinya adalah wilayah bekas Raja Idris yang dikudeta oleh Khadapi. Para elite yang dekat dengan Khadapi namun tidak seide dengan Khadapi soal meredistribusikan minyak kepada rakyat, berusaha untuk mengambil keuntungan dari situasi ini. Namun Polisi maupun militer berada dibelakang Khadapi. Beda dengan Mesir yang membuat Mubarak lemah karena militer tidak lagi seratus persen mendukung. Makanya upaya revolusi seperti di Mesir sulit terjadi di Libia. Dan seperti biasanya, karena ini agenda bisnis minyak bagi AS dan Barat, maka bila upaya pressure internal tidak efektif maka upaya militer dan politik embargo digunakan bagi Libia.
Demi alasan demokrasi dan HAM , pihak AS dan Barat lewat dewan keamanan PBB telah memberikan sangsi kepada Libia dalam bentuk embargo ekonomi. Aset keluarga Khadapi yang ada di Barat dan AS dibekukan. Sebagian kita mungkin larut dengan propaganda tentang kekejaman Khadapi dan kakayaan keluarganya. Tapi satu hal kita lupa berapa kekayaan yang dirampok oleh AS dan Barat atas ladang minyak Libia hingga membuat pundi wallstreet dan London melimpah tak terbilang. Ini tidak pernah dibuka oleh media massa Barat. Sebagaimana Libia, Indonesia juga sama , dalam soal minyak kita mendapat sedikit , Barat/AS mendapat banyak. Soal demokrasi, kalau AS memang pejuang demokrasi mengapa tidak aktif mendorong sistem demokratsisasi di negara ”boneka ”nya seperti Arab, Dubai, Emirat Arab yang jelas jelas monarkhi absolute ? Mengapa ? jawabnya sudah pasti ! ini bukan soal HAM , bukan soal Demokrasi. Tapi soal Minyak, soal Uang. !
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.