Tuesday, March 1, 2011

Dana membangun

Sabtu minggu lalu saya berkunjung ke Pulau Bintan untuk menghadiri peresmian project wisata terpadu. Project dibangun oleh konsorsium yang terdiri dari local dan asing dengan dana investasi total mencapai Rp. 20 triliun selama jangka waktu 10 tahun. Namun investasi itu barulah rencana dengan segudang syarat yang harus dipenuhi oleh Pemerintah. Syarat utamanya tersedianya infrastruktur Bandara untuk pulau Bintan. Karna target market dari investasi wisata itu adalah asing ( Asean dan Jepang ) maka Bandara yang harus dibangunpun haruslah berkelas international. Dalam sambutan peresmian project itu, Presiden menyampaikan ulasan pentingnya investasi wisata untuk Bintan. Nampak oleh saya , Pak SBY sangat menguasai masalah soal Investasi. Dia berbicara tanpa teks dengan analitis yang jelas dan konkrit. Sebagai seorang pemimpin, saya dapat tegaskan bahwa SBY memang dibekali kecerdasan yang lebih. Dan tahu secara luas soal SWOT analisis negeri ini dalam menarik dana invstasi.

Upaya SBY untuk menarik investor private dalam bidang infastruktur memang tak kenal lelah. Awalnya dia berkuasa, dia memilih strategi dengan memperhatikan geopolitik ekonomi secara global. Makro ekonomi dijadikan strategi utama untuk diperkuat. Karena ketika awal dia berkuasa makro ekonomi Indonesia sangat lemah setelah berdarah darah menghadapi kasus BLBI dengan skema BPPN yang sarat korup. Mungkin inilah Presiden didunia yang bisa mendongkrak APBN tercepat didunia dan mengangkat GNP negara dari rating unqualified menjadi sejajar dengan negara maju dan tergabung dalam G20 diakhir periode pertama kekuasaanya. Secara ekonomi , makro yang kuat tentu akan memperbaiki rating Indonesia dipasar uang international dan tentu akan menjadi target arus dana global bagi kemajuan sektor riel yang bertumpu kepada kekuatan sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Tapi upaya kerja keras yang luar biasa itu, terhadang kepada penyediaan insfrastruktur ekonomi. Investor global memang tertarik akan kehebatan makro ekonomi Indonesia, politik yang stabil dibawah payung demokrasi. Namun , lagi lagi , dana private adalah raja diatas raja didunia kapitalis ini. Mereka bukan hanya butuh karpet merah untuk menyambut mereka tapi juga butuh senyuman ikhlas serta kemudahan untuk menanamkan modalnya yang pada akhirnya juga aman dari segala resiko akibat insfrastruktur yang carut marut. Inilah yang menjadi dilema oleh SBY. APBN yang begitu besar ternyata hanya menyediakan dana untuk infrastruktur sebesar 1,8 % dari GDP. Ini sangat kecil dibandingkan dengan negara Asean lainnya yang rata diatas 5%. Itulah sebabnya survey Global Competetiveness Report melaporkan kondisi infrastruktur keseluruhan berada pada peringkat 91 dari 134 negara yang disurvei.

Padahal kebutuhan dana insfrastruktur dari tahun 2011- 2014 tidak sedikit, yaitu Rp 1.429,34 triliun yang sebagian besar diharapkan datang dari sektor swasta. APBN tidak mungkin punya daya untuk menjelontorkan dana sebegitu besar karena harus menjaga posisi difisit anggaran. Janji pihak swasta untuk membangun infrastruktur dari tahun ketahun hanyalah pepesan kosong. Hal ini sempat dilontarkan oleh SBY pada pertemuan Asosiasi pekerja BUMN di Istana Bogor. Sumber dana kelembagaan untuk percepatan pembangunan insfrastruktur dilakukan dengan sistematis. Dibentuknya Perusahaan Penjaminan Insfrastruktur yang merupakan patungan antara pemerintah, World Bank dan ADB. Juga mengusulkan kepada DPR untuk merevisi undang undang Asuransi dan Dana Pensiun agar dana Lembaga ini dapat diperluas portofilonya untuk investasi langsung. Upaya inipun belum memperlihatkan pengaruh significant terhadap ketersediaan dana insfrastruktur.

Sekali lagi, kita melihat suatu fakta didepan mata, bahwa kehebatan SBY dengan strategynya menjadikan indonesia sorga bagi investor dengan menjaga makro ekonomi dan stabilitas politik , tidak otomatis membuat investor bersegera melempar dananya. Ingatlah berhadapan dengan dana adalah berhadapan dengan kapitalis alias predator. Sebaik apapun fasilitas yang disediakan negara untuk kenyamaan investor , mereka tidak pernah berpikir jangkan panjang. Apalagi ditengah dunia yang serba terbuka dan kesempatan yang begitu luas terbentang dilima benua, membuat investor begitu mudah datang melihat dan segera pergi ketempat lain. Sudah seharusnya pemerintah mengkaji ulang strategi menjaga makro dengan all at cost itu.

Ya, Setidaknya SBY sudah bekerja dengan sistem yang dimana dia telah melakukan terbaik yang bisa dia kerjakan. Tugas kita belajar dari itu semua untuk perbaikan yang lebih baik dengan kembali kepada akar kekuatan mandiri berdasarkan kapasitas yang mungkin bisa dikerjakan. Kemandirian itu tak lain adalah merekat seluruh jaringan masyarakat dalam satu barisan yang kuat. Perekat untuk itu adalah Agama. Amerika Latin berhasil menjadikan agama sebagai kekuatan menjadi something. Iran, juga berhasil menjadikan agama sebagai kekuatan menjadi something. Ya, Agama selain bagai elang (águila) yang terbang dengan idealisme spiritual yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan pribadi, tetapi juga membumi bagai induk ayam (gallina) yang terlibat secara etis dalam keseharian. Kalaulah Islam sebagai platform bernegara dan berbangsa, impian akan surga sudah akan terwujud kini dan di sini.

Mungkinkah ?

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.