Era sekarang segala galanya diukur oleh indeks prestasi. Mahasiswa bangga bila IP nya tinggi. Apalagi dapat menyelesaikan studynya dalam waktu yang sangat singkat. Tak penting bagaimana meraihnya. Bila kenyataan begitu banyak mahasiswa selesai kuliah menjadi beban. Bukannya memberikan contribusi positip bagi masyarakat. Ilmu sebagai fundamental membangun tak nanpak kecuali semuanya tertuang dalam IP. Semakin tinggi IP nya semakin baik sarjana itu. Prestasi diatas kertas sudah menjadi budaya untuk menentukan kelas seseorang. Sebuah realitas hidup dalam cermin bukan realitas. Negara yang dikelola oleh Sarjana seperti itu, juga mengandalkan IP dalam bentuk angka ekonomi growth. Prestasi gemilang untuk dijual dan dihormati agar tetap terpilih dan dihormati.
Ditengah kebanggaan negara memacu pertumbuhan ekonomi nasional, ditengah kebanggaan menjadi negara yang tergabung dalam G20, ditengah kebangagaan negara paling demokrasi, ditengah kebanggaan pertumbuhan ekonomi paling tinggi di ASEAN yang dilanda krisis global, kini diseluruh wilayah harus merasakan pemadaman listrik bergilir. Sebuah realitas bahwa pembangunan selama ini tak lebih hanya berbicara diatas kertas. Pejabat tampil plamboyan digedung megah namun miskin visi. Diera globalisasi dan kompetisi kebutuhan listrik adalah harga mati yang harus dibela sampai mati oleh rezim manapun. Tapi dinegeri kita itu tak nampak.
Padahal disadari oleh semua pihak bahwa selain sektor industri, berbagai kegiatan dalam kehidupan kita pun tidak lepas dari perlunya ketersediaan tenaga listrik. Kegiatan rumah tangga, pendidikan,ekonomi,serta kegiatan yang lain yang menunjang kehidupan kita sehari-hari sangat tergantung pada listrik. Jika ketersediaan tenaga listrik berkurang, berbagai kegiatan sehari-hari tidak akan berjalan optimal. Konsekuensinya, target pertumbuhan ekonomi 6% dan pertumbuhan industri di atas 5% tampaknya sulit tercapai. Tapi dengarlah para pemimpin kita dengan gagahnya berkata ” Kalau Tiongkok atau Malaysia bisa kitapun bisa ”
Kondis kelistrikan di Indonesia sangat buruk. Indonesia berada pada urutan ke-11 dari 12 negara sekawasan. Rasio elektrifikasi saat ini sekitar 64,3% dan rasio desa berlistrik sebesar 91.9%. Artinya lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka masih ada 34 % wilayah Indonesia tidak berlistrik. Walau rencana kelistrikan adalah tercapainya rasio elektrifikasi 67,2% pada 2010,dan 93% pada 2025. Keliatannya sulit dicapai. Masalahnya kini, kemampuan PLN dalam mengimbangi konsumsi listrik yang ada masih minim. Hal ini disebabkan oleh ketidak mampuan financial capability PLN untuk membeli energy. Juga sumber pendanaan untuk membangun Power Plant baru semakin sulit dan mahal. Kendala ini diketahui tapi tak pernah diselesaikan kecuali asik mengumbah janji “akan diselesaikan tahun sekian…”
Masalah kebutuhan dana investasi untuk negeri ini bukan hanya listrik tapi begitu banyak infrastructure yang dilanda krisis dan semua itu hanya soal waktu akan meledak sebagai bukti pemerintah memang tidak qualified mengelola sumber daya dalam negeri untuk kepentingan rakyat banyak. Indonesia membutuhkan dana sebesar Rp. 2000 triliun selama lima tahun agar meraih pertumbuhan ekonomi 7%. Itu artinya setiap hari dibutuhkan lebih dari Rp. 1 triliun. Akankan ini dapat dicapai oleh pemerintah yang doyan bicara dan komplik internal antar elite. Apalagi president yang terlalu banyak berpikir dan telat bertindak.
Bila RA Kartini menulis buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, barangkali sudah saatnya kita menulis drama ekonomi Indonesia dengan judul “Habis BBM Terbitlah Krisis Listrik”. Tanpa upaya serius menyelesaikan krisis listrik dengan cerdas dan tidak kontra-pertumbuhan, drama deindustrialisasi babak berikutnya akan berlanjut.
▼
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.