YMP Prabowo sudah membuat keputusan terhadap peran Bulog yang tidak lagi sebagai Lembaga komersial berbadan hukum Perum dibawah Meneg BUMN. Tetapi dikembalikan fungsinya seperti sebelum reformasi, yaitu Badan Urusan Logistik. Jadi kembali menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Selanjutnya BULOG bertanggung jawab langsung dibawah Presiden.
Bahwa peran BULOG nantinya yang diinginkan YMP adalah sebagai offtaker market ( penampung produk pertanian). Dengan adanya offtaker, petani dapat kepastian pasar dan harga. Sehingga bisa mendorong petani lebih productif dan tidak dirugikan oleh mekanisme pasar. Pada waktu bersamaan, subsidi pupuk dan BLT kepada petani dapat efektif mencapai tujuan swasembada pangan.
Saya akan memberikan tiga catatan terhadap rencana pemerintah mengubah status BULOG itu.
Pertama. Di Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Perpres Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, BULOG masih dibawah Bapanas. Tentu dengan BULOG jadi LPND, akan saling berbenturan dengan tugas Bapanas. Tujuan swasembada pangan dan ketahanan pangan akan jadi costly dan tidak efektif. Mismanagement.
Kedua. Sebagai catatan bahwa perubahan peran BULOG jadi Perum karena perubahan paradigma tehadap system ekonomi dan moneter kita paska reformasi. Kita menganut moneterisme dimana segala sesuatu ditentukan oleh pasar dan dinilai dari pasar. Nah kalau kita kembalikan BULOG sebagai offtaker itu bertolak belakang dengan system ekonomi kita.
Misal, kalau terjadi disparitas harga dalam negeri dengan harga impor sangat lebar. ? Katakanlah harga impor beras lebih murah daripada harga dalam negeri. Seperti sekarang. Apakah pemerintah ( BULOG) tetap membeli harga tinggi dari petani? Kalau itu dilakukan, APBN akan bleeding. Bagaimanapun itu adalah subsidi harga. Pada waktu bersamaan konsumen membeli dengan harga lebih tinggi dari impor. Itu sudah distorsi terhadap hukum pasar. Sistem ekonomi kita jadi paradox, tidak efisien.
Ketiga. Swasembada pangan menjadi sangat sulit dicapai karena faktor iklim dan bertambahnya jumlah populasi, yang pada waktu bersamaan lahan dan komunitas petani semakin berkurang. Situasi itu tidak pernah dipetakan dengan tepat sejak awal reformasi saat kita mengadobsi neoliberal. Cenderung responsif terhadap demand atau pragmatis. Tidak berorientasi kepada produksi tetapi kepada ketersedian pangan (impor), dengan mendorong peningkatan kemampuan daya beli ( ekonomi) masyarakat akan pangan yang berizi. Contoh, kita lebih memilih BLT agar rakyat bisa berkonsumi daripada program kemandirian produksi.
Atas tiga hal masalah diatas, dan mendukung program besar YMP Prabowo Subianto untuk menyukseskan swasembada pangan. Usulan saya dan sekaligus masukan adalah sebagai berikut.
Pertama. Harus ada perubahan paradigma ekonomi dari pro pasar ke system pasar terpimpin atau market regulated. Engga bisa abu abu. Harus jelas hitam putih. Regulated atau free market. Mengapa ? pasar butuh kepastian atau konsitensi kebijakan. Caranya? Mudah saja. Batalkan UU Omnibus law dan UU BUMN. Kembalikan fungsi BUMN sebagai agent of development. Engga lagi business oriented. Yang kadar PSO nya rendah, ya di privatisasi saja. Ngapain negara ngurus bisnis.
Kedua. Batalkan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Perpres Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional. Revisi UU itu dengan penguatan peran dan fungsi BULOG sebagai Badan Urusan Logistik, dan sekaligus sebagai stabilisitor harga dan regulator niaga pertanian.
Ketiga. Kalau saran pertama dan kedua, tidak mungkin. Karena APBN kita terjebak hutang dan harus patuh dengan OECD, IMF ya sebaiknya lakukan reformasi Tata niaga Pertanian dengan jadikan BULOG sebagai supply chain business pertanian. Atas dasar UU Resi Gudang No 9/2011, Bulog bangun warehouse ecommerce market place yang dilengkapi Supply chain financial untuk minimal 9 komoditas pertanian unggulan. Kemudian perkuat infrastruktur Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Kalau dikelola dengan professional, BULOG akan jadi supply chain pangan berkelas dunia, yang tentu akan mendorong tumbuhnya peluang usaha pertanian. Potensi ekonomi lahan pertanian kita yang luas akan menjadi potensi financial. Yang tentu akan menjadi magnit bagi masuknya investor dalam dan luar negeri (FDI).
***
Kita sepakat bahwa populasi Indonesia sebanyak 280 juta perlu pangan. Pasti makan. Artinya ada demand market pangan yang sangat besar. Kita konsumsi gandum 8 juta ton lebih per tahun dan itu akan terus meningkat. Maklum semakin bokek orang semakin doyan makan mie instant. Belum lagi beras, gula, garam dan lain lain. Demand besar banget.
Yang jadi masalah adalah gandum kita impor 100%. Kedelai 97 persen kita impor, bawang putih 100 persen impor, gula 70 persen impor, susu sapi 80 persen impor. 10 tahun Jokowi berkuasa. Malah impor komoditas pangan telah mengalami kenaikan hampir dua kali lipat, terutama besar dipenghujung kekuasaanya meningkat pesat.
Lalu bagaimana cara swasembada pangan? Kalau anda berpikir linear. Pasti tidak mungkin bisa tercapai swasembada pangan. Karena begitu jauhnya kemampuan berproduksi untuk memasok demand market domestic. Sementara demand terus meningkat dari tahun ke tahun. Kalau kita tidak cerdas menghadapi situasi ini, bukan tidak mungkin pada saat usia emas Indonesia, kita jadi importir 100% semua kebutuhan pangan.
Lantas dimana kita harus bermain ditengah situasi ini? Dan tidak jadi korban pasar. Setidaknya kita bisa dapatkan keuntungan, yang pada waktu bersamaan bisa memacu produksi dalam negeri. Sederhana aja caranya. Kita harus jadi player dan untuk itu negara harus lead. Engga bisa lagi diserahkan kepada swasta. Karena begitu besarnya kepentingan nasional terhadap pangan. Jadikan BULOG sebagai supply chain pangan secara nasional, tentu dilengkapi infrastruktur supply chain berkelas dunia.
Gimana bisnisnya? Contoh. Kita impor Gandum 8 juta ton setahun. BULOG yang impor. Engga boleh swasta. BULOG juga yang berhak jual ke pasar. Sehingga peluang bisnis pabrik makanan olahan seperti mie, kue bisa diakses bukan hanya oleh pengusaha besar tetapi juga oleh UKM. Karena engga perlu beli dalam jumlah besar dan tidak perlu stok besar. Begitu juga dengan gula, kedelai, jagung, dan lain lain.
Dengan adanya system supply chain pangan, Otomatis kita akan jadi bursa pangan ke lima terbesar di dunia. Kita key player yang diperhitungkan. Nah karena demand dan supply dikendalikan negara, ada rente dari proses itu. Tapi yang menikmati rente itu negara. Tentu cuan nya gede banget. Itu bisa digunakan untuk program swasembada pangan. Pertanian tidak lagi dikelola secara tradisional, tetapi dengan mindset industry. Maklum Supply chain institusi itu bagian dari GSCI ( Global Supply Chain Industry).
Demikian usulan dari saya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.