CEO JPMorgan Jamie Dimon saat berbicara di Institute for international finance mengatakan adanya potensi terjadinya Perang Dunia 3. Tentu dia berbicara itu atas dasar historis perang dunia pertama dan kedua, dan prologh yang ada sekarang dianggap sudah masuk fase perang dunia ke 3. Saya akan membahas nya dari sisi ekonomi saja, yang tentu terkait dengan geopolitik dan geostrategis. Kalau kita cermati konflik yang terjadi di beberapa negara belakangan ini. Tak bisa dilepaskan dengan factor ekonomi yang jadi ajang persaingan perebutan sumber daya antar negara besar. Bukan lagi karena faktor idiologi. Mari kita bahas satu persatu.
Rusia- Ukraina.
Rusia perlu bersikap tegas saat Ukraina akan bergabung dengan Nato. Pelabuhan black sea yang ada di Crimea, wilayah Ukraina, sangat pital bagi Rusia sebagai pintu gerbang ke seluruh dunia. Sementara anggota Nato seperti Turkiye, Bulgaria, dan Rumania juga punya kepentingan yang sama. Apa jadinya kalau sampai Ukraina bergabung dengan NATO?. Udah pasti Rusia akan terjepit. Padahal Black sea jalur utama Rusia untuk mengerahkan pengaruhnya sampai ke Mediterania, Timur Tengah, Afrika Utara, hingga Eropa Selatan yang kaya sumber daya.
Palestina - Israel.
Wilayah Mediterania Timur – yang meliputi Mesir, Lebanon, Turki, Israel, Palestina, Siprus, dan Yunani – merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya gas. Ambisi Mesir untuk menghubungkan Laut Merah dan Laut Mediterania melalui Terusan Suez merupakan peluang bagi Israel untuk mengembangkan Leviathan, ladang gas lepas pantai di Cekungan Levant, bagian dari Mediterania Timur. Terletak di perbatasan laut antara Israel, Lebanon, Jalur Gaza, dan Siprus.
Leviathan merupakan ladang gas alam raksasa yang dipublikasikan pada tahun 2010 dengan potensi raksasa produksi minyak dan gas. Dan ini membuka tabir niat Israel menguasai Gaza. Jalur Gaza, lokasi strategis yang terhubung langsung dengan Laut Mediterania. Tentu dibalik ini melibatkan investor kelas dunia yang siap membayar ongkos konflik. Bukan hanya Eropa dan AS, yang menjadikan Israel sebagai proxy, tetapi juga China dan Rusia juga bermain dengan menjadikan Iran sebagai Proxy. Kini konflik antara Israel dan Iran sudah terbuka saling serang.
Perang saudara Sudan.
Di Sudan, negara yang telah terluka oleh konflik selama puluhan tahun, perang saudara kembali meletus pada bulan April 2023. Gagalnya perundingan perdamaian antara pemerintah militer dan Rapid Support Forces (RSF) yang merupakan kelompok paramiliter telah menjerumuskan negara tersebut ke dalam kekacauan. Mengakibatkan bencana kemanusiaan dengan jutaan orang mengungsi dan banyak korban jiwa.
Rusia, AS China ikut bermain dari perang saudara ini. Tentu masing masing melalui proxy nya seperti UEA, Iran, Mesir, dan lainnya. Mengapa ? Sudan sebagai salah satu produsen minyak terbesar di Afrika, yang menghasilkan hampir 500.000 barel per hari pada tahun 2008.
Perang saudara Myanmar
Terjerumusnya Myanmar ke dalam perang saudara dimulai setelah kudeta militer pada Februari 2021, yang menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis. Konflik dari kelompok etnis dan pasukan pro-demokrasi terhadap junta militer. Junta iliter berjuang untuk mempertahankan kendali di tengah meningkatnya kecaman internasional. Dibalik perang saudara ini. Militer didukung oleh China dan Thailand. Sementara pro demokrasi di dukung Eropa dan AS. Lagi lagi itu karena kompetisi berebut sumber daya.
Myanmar memiliki cadangan gas alam, yaitu cadangan Shwe dan Shwephyu yang berada di lepas pantai Teluk Bengal. Pada tahun 2021, Myanmar memproduksi gas alam sebanyak 16,9 miliar kaki kubik dan mengekspornya ke Tiongkok dan Thailand. Myanmar juga punya cadangan minyak bumi di Chauk dan Penangyng. Juga kaya akan sumber daya mineral seperti emas, nikel dan lain lain.
Ethiopia.
Di Tanduk Afrika, konflik internal Ethiopia, yang terutama berpusat di wilayah Tigray, terus menghancurkan negara tersebut. Meskipun ada gencatan senjata singkat pada tahun 2022, pertempuran kembali terjadi pada tahun 2023, yang melibatkan banyak kelompok etnis dan mengakibatkan situasi kemanusiaan yang mengerikan. Konflik tersebut telah menyebabkan pengungsian massal, kelaparan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang parah, yang membuat Ethiopia berada di ambang kehancuran.
Itu karena tahun 2022 di temukan Gas alam. Ethiopia mengumumkan penemuan 7 triliun kaki kubik gas alam di Cekungan Ogaden, wilayah seluas 350.000 km persegi di Negara Bagian Regional Somalia. Cadangan gas ditempat lain jauh lebih besar daripada apa yang sudah ditemukan. Yang dapat konsesi adalah Chinese Poly GSL. AS melalui proxy nya Turki dan EA juga terlibat dalam konflik berebut sumber daya alam.
Konflik Meksiko
Konflik yang sedang berlangsung di Meksiko, yang dikenal sebagai Perang Narkoba Meksiko, merupakan perebutan kekuasaan yang brutal di antara berbagai kartel narkoba dan antara organisasi kriminal ini dan pemerintah Meksiko. Awal eskalasinya pada tahun 2006, ketika pemerintah melancarkan tindakan keras yang dipimpin militer terhadap kartel, konflik tersebut telah merenggut ratusan ribu nyawa dan menyebabkan ketakutan dan ketidakstabilan yang meluas.
Pada tahun 2024, kekerasan masih belum terkendali, dengan kartel-kartel kuat seperti Kartel Sinaloa dan Kartel Generasi Baru Jalisco (CJNG) yang saling berebut untuk mendominasi rute dan wilayah perdagangan narkoba. Konflik ini ditandai dengan kebrutalan ekstrem—pembunuhan, penculikan, dan pembunuhan massal telah menjadi hal yang biasa, membuat masyarakat hancur dan ketakutan. Seluruh wilayah, terutama di negara bagian seperti Michoacán dan Guerrero, dilanda kekerasan ini, dengan penduduk setempat terperangkap dalam baku tembak.
Meskipun pemerintah berupaya memulihkan ketertiban, termasuk mengerahkan Garda Nasional, kartel-kartel tersebut terus memegang kendali yang signifikan. Pengaruh mereka sangat melekat dalam tatanan politik dan ekonomi negara tersebu. Suka tidak suka bisnis narkoba sudah menjadi bagian dari operasi pencucian uang yang sebagian besar banker di dunia perlu dana murah untuk mengamankan likuiditas globalnya.
Ketegangan di Laut Cina Selatan dan Selat Taiwan.
Laut China Selatan tidak ada masalah serius. Negara ASEAN yang bersinggungan dengan China, sebisa mungkin menempuh jalur pengadilan international menyelesaikan konfilik di LCS. Namun menjadi serius terhadap posisi Taiwan. Dari awal sejarahnya, China menganggap Taiwan itu bagian dari negaranya. Kemerdekaan Taiwan di PBB selalu di veto oleh China.
Selama sekian decade China berusaha menahan diri atas sikap AS yang berusaha melindungi Taiwan dan menjadikan Taiwan sebagai Hub pengembangan Hightech untuk Kawasan Asia Pacific. Sebagian besar Perusahaan tekhnologi AS ada di Taiwan. Kebetulan juga China diuntungkan dengan kemajuan tekhnologi Taiwan.
Namun kekuatan tekhnologi Taiwan khusus nano tekhnologi dalam microchip dan AI, menjadi ancaman serius bagi AS atas sikap China yang berupaya memanfaatkan keahlian teknologi Taiwan melalui berbagai strategi, termasuk investasi, kolaborasi, dan akuisisi perusahaan Taiwan. Keadaan ini memicu konflik, yang kadang antara AS dan China saling provokasi menciptakan ketegangan. AS tidak ingin kehilangan control nya atas Taiwan.
***
Ketika AS muncul sebagai pemenang perang dunia kedua. Hegemoni AS semakin kuat saat memenangkan perang dingin dengan USSR. Keadaan dunia bisa dianggap relative tenang. Karena setiap ada konflik, peran AS sebagai polisi dunia sangat efektif meredamnya. Namun seiring dengan kebangkitan China sebagai kekuatan global yang menantang dominasi Amerika Serikat, dunia menjadi semakin multipolar. Pergeseran ini menyebabkan meningkatnya persaingan dan meningkatkan risiko konflik karena negara-negara berebut pengaruh dan kendali atas kawasan-kawasan strategis.
Pengaruh AS lewat Lembaga international seperti PBB, IMF, dan lain lain tidak lagi efektif sebagai alat diplomasi hegemoni politk global AS. Rusia dan Cina semakin mengabaikan norma-norma internasional, khususnya keinginan mereka untuk menggunakan kekuatan militer guna mencapai tujuan mereka, yang mengikis stabilitas yang disediakan oleh norma-norma tersebut. Tren ini membuat penyelesaian konflik melalui diplomasi menjadi lebih sulit dan meningkatkan kemungkinan bahwa pertikaian regional akan meningkat menjadi perang yang lebih besar.
Ditambah lagi karena sumber daya semakin langka, persaingan untuk mendapatkan kendali dan akses dapat menyebabkan konflik, di mana perubahan iklim membuka peluang baru. Persaingan ini dapat semakin memperburuk hubungan antara negara-negara besar, sehingga meningkatkan risiko konflik. Konvergensi konflik regional ini dan tren global yang lebih luas menciptakan lingkungan yang tidak stabil di mana risiko perang global, khususnya Perang Dunia III, semakin masuk akal.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.