"Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya. Yang dibuka itu sedimen, sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal. Sekali lagi bukan, kalau diterjemahkan pasir, beda lho ya," kata Jokowi di Menara Danareksa, Jakarta Pusat, Selasa (17/9). Dalam aturan Mendag yang mengacu PP No. 26 Tahun 2023, pasir laut dengan spesifikasi pasir alam yang berasal dari pembersihan hasil sedimentasi di laut adalah yang memiliki ukuran butiran D50 kurang dari 0,25 mm atau D50 lebih besar dari 2,0 mm.
Saya tidak tahu sejauh mana Jokowi mendapatkan informasi lengkap terhadap program dibukanya kembali izin ekspor Pasir laut. Padahal sudah 20 tahun dilarang. Karena alasan yang disampaikan Jokowi tidak tepat. Mengapa ?
Pertama. Sedimen itu merupakan faktor fisik penting dari lingkungan laut. Zat dasar laut, yang juga dikenal sebagai substrat, yang sangat penting sebagai fondasi sekaligus produk dari lingkungan atau ekosistem. Jadi engga bisa dibuang karena alasan mengganggu alur kapal. Itu kerja alam. Risiko ekologis yang sangat besar dari exploitasi sedimen, seperti kematian karang, degradasi hutan bakau, dan abrasi pantai.
Kedua. Katanya Potensi sedimentasi laut sekitar 23 miliar meter kubik [812 miliar kaki kubik] per tahun. Yang jadi pertanyaan adalah apakah benar potensi sedimen sebesar itu? Kalau benar? Dimana aja lokasinya? Sampai kini belum ada penelitian ilmiah yang bisa menjamin potensi itu. Hanya perkiraan saja.
Artinya potensi ekonomi sebesar itu belum pasti, namun yang pasti Singapore adalah pihak yang paling diuntungkan, dan bisa saja China juga akan ambil peluang sebagai buyer. Bisa jadi rencana pembukaan izin ekspor pasir dengan alasan sedimen itu memang by order dari asing. Jangan jangan pejabat yang ada dibalik keluarnya izin ini dapat cuan engga kecil. Maklum pada sedimen itu terdapat bukan hanya pasir tetapi juga unsur mineral lain, yang punya nilai ekonomi tinggi dan penting untuk downstream industri.
Yang pasti lingkungan rusak. Karena tidak ada jaminan izin diberikan sesuai dengan aturan. Nikel saja yang sudah jelas dilarang ekspor mentah. Nyatanya 5 juta ton lebih di ekspor mentah ke China. Kasusnya engga jelas. Dari Beacukai sampai Pemda saling buang badan. Fakta selama ini kita gagal mengatasi dampak lingkungan dari adanya ekstraksi mineral. Semua aktifis lingkungan seperti Greenpeace sudah mengingatkan bahaya kerusakan ekosistem. Bahkan World economic forum sudah juga mengingatkan.
“ Mungkin ada Menteri atau pejabat yang ngarang cerita kepada Jokowi dan sekaligus cari muka sebagai solution provider mengatasi APBN yang difisit. Maklum, potensi pertahun 23 miliar meter kubik dengan harga per meter kubik Rp 180.000. Itu jumlahnya engga kecil. Masalah defisit APBN bisa diatasi, bahkan utang luar negeri bisa dilunasi cepat. Tapi ngayal.” Kata teman. Saya hanya menghela napas.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.