Thursday, May 16, 2024

Obsesi Prabowo?

 


Sepertinya Prabowo terobsesi jadi pembicara international. Sebelumnya dia menulis di Majalah Economist tentang geopolitik dan geostrategis. Kemudian tampil dalam wawancara dengan Al Jazeera. Menurut saya apa yang disampaikan Prabowo itu kontraproduktif kalau tujuannya untuk meningkatkan trust di hadapan dunia dan pasar. Bahkan dalam tulisanya di majalah Economist, justru blunder. Karena dia seakan mengabaikan konstitusi kita yang berpolitik bebas aktif atau non block. Makanya dalam wawancara dengan Al Jazeera dia koreksi sendiri.  


Nah terakhir, Prabowo Subianto mendapat kesempatan menjadi pembicara di Forum Ekonomi Qatar, Rabu (15/5) yang diadakan oleh Bloomberg. Prabowo mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terendah di dunia. Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang mengedepankan prinsip hati-hati dalam mengelola fiskalnya. ini juga bias. Karena tingkat kehati hatian fiskal itu yang menjadi sorotan pasar bukan rasio  utang terhadap PDB tetapi (1) Debt service Ratio dan (2) rasio pendapatan  terhadap pembayaran  bunga dan cicilan utang.


Apa itu debt service ratio (DSR) ? ratio penerimaan valas ( eksport) terhadap pembayaran cicilan utang dan bunga.  Nah perhatikan situasi Indonesia. Saat sekarang utang luar negeri kita (kuartal I 2024 ) mencapai US$ 403,9 miliar atau setara Rp 6.489 triliun (kurs Rp 16.068). Akhir desember 2023, tercata DSR masih 17-19%. Tetapi April 2024 sudah meningkat menjadi 38-39%.  Artinya lebih sepertiga pendapatan valas habis untuk bayar bunga dan cicilan utang. Ini sudah lampu kuning.


Kemudian rasio penerimaan ( Tax ) negara terhadap pembayaran utang dan bunga, yang kini berkisar 47% atau hampir setengah penerimaan pajak digunakan untuk bayar utang dan bunga. Batas sehat sesuai pagu IMF apabila ratio dibawah 10%. Hal ini menunjukkan, beban bunga utang terlalu besar sehingga cukup menggerus penerimaan negara. Ruang fiskal menjadi menyempit. Dan tentu ekspansi sosial tidak bisa lagi diambil dari surplus APBN tetapi dari utang lagi. Nah jebakan yang mematikan. 

Rasio utang terhadap PDB tinggi seperti AS, Jepang, Singapore, itu tidak ada masalah. Tax ratio mereka tinggi terhadap PDB. Jadi rasio bayar bunga dan cicilan terhadap penerimaan valas rendah. Ratio pembayaran bunga dan utang terhadap pendapatan  rendah. Artinya utang semakin besar semakin bagus. Karena leverage meningkatkan pendapatan. Contoh AS ratio utang terhadap PDB mendekati 100% (97%) tetapi tax ratio sebesar 30%. Jepang ratio utang terhadap PDB sebesar 261%. Tetapi tax ratio  35% dari PBD. Lah kita walau rasio utang terhadap PBD hanya 40% tetapi tax ratio hanya 10%.  PDB itu hanya potensi pendapatan, bukan cash yang bisa langsung bayar bunga dan utang.


Kejatuhan ekonomi di negara manapun bukan karena rasio utang terhadap PDB. Dulu sebelum collapse. Rasio utang terhadap PDB venezuela hanya 30% (di bawah Indonesia). Tetapi dia collapse. Mengapa ? karena rasio pembayaran bunga dan hutang luar negeri terhadap penerimaan valas terlalu tinggi. Sehingga mengancam kekuatan devisa menopang kurs. Akibatnya kurs melemah sampai akhirnya terjun bebas. Ditambah lagi tax ratio rendah mendorong pemerintah cetak uang. Ya, hiperinflasi. Jatuh tuh negara.  Saya rasa bukan hanya negara. Perusahaan atau personal juga hidup matinya tergantung cash flow, bukan omzet. Karena kan belanja dan bayar utang pakai uang cash. Engga bisa dengan data potensi omzet.


***

Dalam forum Ekonomi di Doha itu, Prabowo optimistis ekonomi Indonesia mampu mencapai pertumbuhan hingga 8 persen dalam kurun waktu dua sampai tiga tahun ke depan. Bahkan, Prabowo bertekad melampaui angka tersebut. “ Saya sangat yakin, saya sudah berbicara dengan para pakar dan mempelajari angkanya. Saya yakin kita dapat dengan mudah mencapai 8 persen. Saya bertekad melampauinya," kata Prabowo.


Saya mengerutkan kening mendengarnya. Kalau Prabowo tetap melanjutkan program Jokowi tanpa ada perubahan yang radikal, tidak mungkin bisa mencapai pertumbuhan ekonomi seperti yang diyakini itu. Jangankan 8%, 5% saja berat. Kalau dipaksakan pertumbuhan ekonomi lewat spending APBN, itu akan memberatkan fiskal. Tambah utang lagi dan tentu berujung rasio DSR dan rasio penerimaan APBN terhadap bayar bunga dan utang semakin besar.  Lama lama bukan naik ekonomi malah jatuh tengkurap.


Kalau itu lewat peningkatan  tax ratio, itu tidak mungkin bisa 3 tahun naik growth 8%. Karena kita perlu restrukturisasi sektor real yang transformatif dari SDA ke industri, Itu butuh waktu lama. Paling cepat 10 tahun. Itupun dengan syarat Prabowo mau perang dengan konglomerat yang kaya raya karena rente. Giring semua pejabat korup yang membuat rente terjadi, ke depan regu tembak. Apa mungkin? Entahlah..

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.