Sejarah awal berdirinya kota karena faktor adanya magnit. Ada 4 magnit. Pertama, lokasi strategis seperti pelabuhan alam dan jalur pelayaran dunia. Atau berada di jalur perdagangan darat. Misal jalur pedagangan kuno atau dikenal jalur sutra telah melahirkan banyak kota di lintasan Timur Tengah dan Asia Barat, Asia Tengah, Asia Selatan, utara sepanjang Gurun Taklamakan, Dari Anxi/Dunhuang ke Chang'an (Xi’an), jalur timur semanjung korea dan Jepang, Samudera Hindia, Asia Tenggara.
Kedua. Sumber daya yang tersedia. Sejak ditemukannya Emas di Amerika, kota baru bermunculan di benua Amerika dan menjadi jalur perdagangan emas antara Asia, Eropa dan Amerika. Ketiga. Masuk era Modern abad 21. Kota modern berkembang bukan hanya karena dia berada di jalur strategis perdagangan dunia tetapi juga karena faktor SDM dan berkembangnya pusat riset. Umumnya mereka punya IFC. Seperti Hongkong, Singapore, London, Swiss, NY dan Dubai. Menjadi magnit berkembangnya investasi dijalur satelit kota itu.
Keempat. Kemudian berkembang lagi karena kebutuhan energi yang murah. Fenomena ini mulai nampak sejak negara timur tengah tidak lagi mengandalkan pendapatan dari MIGAS tetapi dari downstream bisnis dari adanya SDA Migas. Negara Arab memberikan subsidi gas kepada Pembangkit listriknya dan karena itu industri high tech berkembang di Timur Tengah. Itu juga di follow oleh raksasa MIGAS di Asia Tengah yang kini berkembang menjadi kota kosmopolitan seperti di Kazakhtan dan lainnya.
Ibu kota baru diciptakan berdasarkan model yang rasional dan komprehensif, dengan menekankan pada rencana besar. Para ahli menerapkan pendekatan perencanaan dari atas ke bawah , yang bertujuan untuk mendobrak tradisi dan memulai perubahan sosial. Karakter kota ditentukan oleh para perancang dan perencana, bukan berkembang secara organik seiring berjalannya waktu. Hal ini sering kali mengakibatkan terputusnya hubungan antara kota dan penduduknya karena besarnya skala proyek. Akibatnya, kota hanya terdiri dari tanah yang jarang dengan hanya sedikit bangunan arsitektur megah.
Semua pembangunan by design ibukota baru oleh negara lain terbukti gagal, seperti Rio de Janeiro ke Brasilia (Brasil), Dar es Salaam ke Dodoma (Tanzania), Karachi ke Islamabad (Pakistan), Lagos ke Abuja (Nigeria), Almaty ke Astana (Kazakhstan), hingga Kuala Lumpur ke Putra Jaya (Malaysia), Mynmar, Yangon dipindahkan oleh pemerintah ke Naypyidaw di sebelah utara kota Yangon atau selatan kota Mandalay. Juga Mesir gagal. Artinya tidak pernah ibu kota negara yang didirikan by design sukses. Karena tidak adanya faktor magnitud, yang memungkinkan terbentuknya komunitas kosmopolitan. Kota tampa gairah ekonomi akan jadi kota hantu, yang hanya dihuni oleh orang tua dan pengangguran.
Sampai kin saya masih terus bertanya tanya. Apa magnitude dari IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Biasanya tidak bijaksana untuk menerapkan strategi 'bangunlah dan mereka akan datang. Karena bisnis harus berlokasi di tempat yang secara alami menarik kekuatan pasar. Lokasi itu bukan jalur perdagangan dunia, seperti Selat Malaka, Selat Lombok dan Selat Makasar. Bukan pula tempat SDM berkualitas tinggl. Bukan pula tempat yang menyediakan energi murah seperti PLTA berkapasitas giga wat, yang bisa menimbulkan efek relokasi industri highTech manca negara dan mendorong terjadinya urbanisasi SDM berkualitas tinggi.
Sampai hari ini yang jelas pembangunan IKN itu sudah menelan dana APBN sebesar Rp. 60 triliun dari Rp 90 triliun alokasi anggaran atau 20% total anggaran sebesar Rp. 480 triliun. Sebesar Rp. 390 triliun dari swasta. Apa dasar pertimbangan bisnis sebagai magnit investor swasta keluar uang? Sampai kini gua masih..gelaaaap. Tadinya berharap mau ikutan lewat skema tukar guling lahan di Jakarta. Ternyata sulit banget. Makin hari baca beritanya semakin gua sadar betapa drama itu perlu diatas panggung kebodohan kolektif walau karna itu ongkosnya mahal..
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.