Soeharto jatuh. Kemudian lahirlah era reformasi. Menolak monopolitik asas tunggal Pancasila yang diterapkan orba. Lantas apa pilihannya di era reformasi? kelompok islam menginginkan terbentuknya masyarakat madani. Sementara kelompok lain menginginkan Civil society. Karena masyarakat madani lebih berlandaskan pada tata cara kehidupan bermasyarakat dengan landasan keagamaan dalam Islam. Sedangkan, civil society berlandaskan semangat menuju kesetaraan dalam sebuah tatanan demokrasi, maka civil society lebih mengemuka. Sementara masyarakat Mandani hanya bergaung di ormas Islam dan Partai islam.
Disaat negara memilih jalan demokrasi tapi civil society tidak tumbuh subur, maka dapat dipastikan negara itu akan terjebak dalam demokrasi procedural yang melahirkan oligarki. itu sama saja dengan totaliterian. Mengapa ? dialektika mati. Kebenaran menjadi persepsi yang dijejalkan atas nama UU dan aturan. Padahal seharusnya civil society dan demokrasi saling mempengaruhi, terkadang demokrasi dapat dijadikan variabel dependen dan disisi yang lain demokrasi dapat dijadikan variabel independen. Itu baru sehat.
Sejak reformasi, terjadi amandemen UUD 45 yang memungkinkan struktur bangun politik Indonesia mengacu kepada demokrasi tanpa penguatan civil society. Itu dibuktikan dengan amanat UUD 45, UU Pemilu, dan UU Partai Politik. Ketika seorang anggota dewan dipecat sebagai anggota partai, maka secara otomatis tidak bisa lagi menjadi anggota DPR/DPRD, karena yang duduk sebagai anggota DPR/DPRD harus anggota partai politik. Artinya, walau anggota DPR/D dipilih langsung oleh rakyat, hidup mati karir politiknya tergantung partai. Jadi penguasa sebenarnya adalah Partai, bukan rakyat.
Apakah dengan aturan tersebut cukup? tidak. Ada lagi aturan yang berkaitan dengan parliamentary threshold. Walau anggota DPR/D anda pilih dan dia memenuhi batas suara menjadi anggota DPR/D, tetap saja dia belum tentu bisa duduk di DPR kalau partai asalnya tidak memenuhi ambang batas perolehan kursi diatas 3,5% dari total kursi DPR/D. Artinya hak suara anda dianggap sampah oleh sistem Pemilu.
Apakah cukup ? belum. Ada lagi ketentuan Presidential threshold. Anda sebagai rakyat tidak punya hak menentukan siapa capres yang pantas anda pilih. Yang berhak adalah Partai. Itupun syaratnya yang bisa mengajukan Paslon adalah partai atau gabungan partai paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Apa artinya? Civil society itu udah dibonsai. Menutup celah siapapun di luar partai atau partai kecil bisa mencalonkan Capres. Kebenaran hanya milik partai besar atau koalisi doang. Di luar itu sampah.
Dengan uraian diatas, kita bisa memahami dan bersikap cerdas. Bahwa kita sebagai rakyat yang bukan politisi, elite atau kader partai adalah bagian dari civil society. Maukah kita serahkan masa depan anak cucu kita kepada gerombolan elite. ? Kalau kita cerdas, maka jangan biarkan hak civil society itu dirampas. Caranya ?
Pahami literasi hak dan kewajiban yang berkaitan dengan profesi atau lahan hidup kita. Kalau ada kebijakan yang merugikan anda, ya kritik. Bila perlu seperti Pemilu di Taiwan. Tahun 2000 civil society berhasil menjebol status quo sistem kekuasaan dari Partai Kuomintang (KMT). Tidak demo tapi diam saja saat pemilu. Kalau dibawah 50% partisipasi pemilu, maka siapapun yang berkuasa tidak cukup legitimasi secara international. Pasti jatuh sendiri.
***
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto mengatakan, risiko tertinggi pada pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 adalah friksi politik koalisi pemerintah. Risiko tersebut diketahui usai Lemhannas mengkaji risiko-risiko lain dalam kontestasi Pemilu tahun depan. Hasilnya, risiko friksi politik bahkan lebih besar dibandingkan dengan risiko keamanan.
Saya rasa peringatan dari Lemhannas itu ada benarnya. Maklum koalisi pemerintah saat ini bukan bersatu tapi terpolarisasi. Dan ini sangat berbahaya. Berdampak friksi politik; Saling jegal dan berbuat curang. Masing masing partai koalisi pemerintah itu berusaha menguasai institusi demokrasi yang terlibat dalam proses Pemilu, seperti TNI dan POLRI, KPU, Mendagri, Gubernur, Walikota, Bupati. Gimana cara mereka berbuat curang?
Menurut Bawaslu. Pertama, ada 5.744 TPS yang sulit dijangkau baik secara geografis, cuaca, dan Keamanan. Kedua, sebanyak 11.559 TPS tidak ada jaringan internet dan ada 3.039 TPS tidak ada aliran listrik. Untuk yang pertama dan kedua ini hanya TNI dan POLRI yang bisa mengurus TPS nya. Itu suara berpotensi ditelah oleh partai yang menguasai TNI dan POLRI.
Kemudian ada pemilih tidak memenuhi syarat seperti meninggal dunia, terdaftar ganda dan tidak dikenali sebanyak 14.534 TPS. Nah bagi partai yang kuasai Gubernur, Bupati, Walikota sangat mudah makan TPS ini. Ada juga terdapat pemilih memenuhi syarat yang tidak terdaftar di DPT 6.291 TPS. Nah ini santapan dari KPU dan KPUD. Yang kuasai KPU dan KPUD itu jelas dapat suara mudah. Belum lagi TPS yang ada di instasi pemerintah, kawasan industri dan di luar negeri, yang umumnya TPS nya ada dalam ruangan. Yang mudah diselewengkan.
Kalau total TPS seluruh indonesia mencapai 820.161 TPS diperkirakan 20% suara berpotensi ditelan oleh partai dari koalisi pemerintah. Entah siapa itu. Engga jelas. Tapi adu kuat dan adu uang yang paling banyak yang bisa kuasai intitusi demokrasi. Karena tanpa uang engga mungkin petugas bisa dibayar berkiblat ke partai tertentu.
Kembali kepada hasil studi Lemhannas, penyebab utama karena semua partai dan paslon praktis mulai dari nol. Semua partai koalisi tidak happy dengan PDIP sebagai rulling party. Tentu mereka tidak ingin PDIP menang lagi. Ini akan keras sekali friksinya. Bagi mereka to be or not to be. Bisa saja jeopadis. Daripada kalah dalam friksi antar koalisi pemerintah terutama terhadap PDIP, lebih baik nyeberang ke oposisi secara silent, dan akhirnya kisah 2004 dan 2014 terulang lagi. Dimana koalisi pemerintah, TNI dan POLRI diam diam dukung oposisi untuk berkuasa dan setelah itu bagi bagi kue kekuasaan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.