Wednesday, October 6, 2021

Rente mengepung kita

 



Tahun 1967 Gordon Tullock, lewat publikasinya berjudul The Welfare Cost of Tariffs, Monopolies, and Theft, dia menulis tentang hubungan pemberian hak monopoli kepada pengusaha oleh penguasa. Kemudian, berkembang dengan penjelasan bahwa pemburu rente adalah pengusaha yang mendapatkan lisensi khusus, monopoli, dan fasilitas lain dari penguasa sekaligus menghambat pelaku lain masuk pasar. Dari situ kemudian lahir teori perburuan rente (theory of economic rent-seeking). Kata rente di sini tidak sama dengan pengertian rente yang dijelaskan Adam Smith. Rente dalam pengertian Adam Smith adalah sewa yang berarti memperoleh keuntungan dari jasa sewa-menyewa. Sementara, pemburu rente dalam kajian ekonomi politik adalah perburuan untuk mendapatkan fasilitas lisensi, monopoli, ataupun cara-cara memperdagangkan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan bisnis. Mereka mencari keuntungan bukan melalui persaingan yang sehat.

***


Sesuai aturan, kiri kanan 100 meter  rel kereta, itu lahan negara. Tidak boleh ada tempat tinggal. Tetapi nyatanya, itu tempat tinggal pavorit kaum miskin perkotaan. Mengapa dibiarkan? karena Lurah dan Camat serta aparat Pemda dapat fee dari mandor yang sewakan ruman dan tahan di lokasi ini. Bahkan RT dan RW juga kebagian.   Bantaran kali yang merupakan aliran pengendali banjir juga adalah lahan negara. Tapi jadi tempat tinggal kaum miskin perkotaan? itu juga sama. Linkaran rente dari RT , RW, Lurah dan Pemda ikut menikmati rente. Ada juga kawasan tambang galian  C yang banyak ilegal. Itu juga bisa eksis karena para petugas dari RT, RW, Lurah dan Pemda ikut menikmati rente. Bahkan ruang publik seperti jalan dan trotoar, taman kota di rentekan oleh aparat untuk PKL.


Lahan PTPN milik negara yang tidak lagi berproduksi, juga dijadikan rente oleh lurah, sampai Pemda, untuk disewakan kepada rakyat sebagai lahan garapan. Yang miris,  hak garapan ini diberikan kepada patron seperti tokoh masyarakat.  Kalau sudah penuh sesak, lahan itu sulit untuk dibebaskan. Nah, nanti datang pengusaha yang mau membeli lahan itu dengan membayar harga tanah sesuai kesepakatan — pasti murah— dengan plus ganti rugi bagi penggarap. Lambat laun asset negara dipreteli begitu saja. Jadi jangan kaget kalau ada rente di level atas. Itu sudah budaya kita. 


Kalau level bawah aneksasi lahan secara ilegal namun permissive,  di level atas, bukan lagi pemissive tetapi dilegalkan. Yaitu izin HPH/HTI/HGU dan bayar biaya izin. Dengan alasan Hutan Tanaman Industri/ Kebun Sawit, Hutan produktif ditebang untuk tanam kayu bahan baku kertas atau CPO.  Dari hasil tebang kayu hutan saja,  pengusaha sudah untung besar. Kemudian Izin lahan itu ditrasfer ke perusahaan offshore di luar negeri, untuk dijadikan agunan hutang . Andaikan proyek engga jalan, mereka sudah kaya dari hasil tebang kayu hutan, sementara lahan tergadaikan dengan asing. Tambang juga sama. Ribuan hektar lahan tambang diserahkan kepada swasta atau BUMN. Sebelum diolah, pengusaha utilize konsesi tambang itu dalam bentuk PI ( participant interest ) kepada investor. Tanpa keluar modal dan kerja keras, pengusaha dapat fee dari setiap ton produksi tambang. Bisa beli private jet, bayar selir,  beli pecun, hidup hedonis ,manjakan pejabat, termasuk jadi donatur partai.


Karena hasrat, manusia saling membutuhkan dan saling memudahkan. Namun karena itu kelas terbentuk. Kelompok yang segelintir menindas rakyat yang lemah. Negara hanya jadi mediasi saja. Sebagai pembatas kelas itu. Mengapa? Saya teringat dengan kata kata teman di China” Dengan beras kasar yang kumakan, dengan air yang kuminum, seraya lenganku bertelekan ke sebuah bantal—masih kurasakan sukacita pada benda-benda.” Materi memang memabukan walau karena itu harus jadi predator dan dimangsa. Hukum rimba tak terelakan. Mark gusar kepada kapitalisme tetapi Mark, tidak punya solusi ketika mayoritas rakyat mati kelaparan akibat tidak ada produktifitas. Ternyata mimpi komunis adalah utopia, hanya sebatas membangkitkan hasrat terhadap benda tetapi lupa bagaimana struggle menciptakan benda. Memang hidup tidak ada yang ideal. Apapun itu idiologi.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.