Thursday, July 15, 2021

Benarkah kebijakan PPKM dan PSBB ?

 





Sebetulnya UU No 4/1984 tentang wabah penyakit menular, itu sudah lengkap sebagai solusi mengatasi wabah. Mengapa ?protokolnya jelas. Bisa dikatakan wabah dan dilakukan penanggulangan apabila sudah ada penyelidikan epidemiologis. Yang terjadi di Indonesia, wabah covid 19 diumumkan karena tekanan politik. Dan yang dijadikan rujukan adalah pendapat WHO dan berita media massa yang terjadi di luar negeri.  Padahal amanah UU tidak begitu seharusnya. 


Pemerintah harus menunjuk team independen untuk melakukan investigasi atas wabah covid itu. Itu tidak perlu lama. Mengapa ? Pada tanggal 7 Januari 2020, autoritas China mengumumkan telah ditemukan jenis virus korona baru yang diberi nama 2019-nCoV. 2019 adalah tahun penemuan, n untuk singkatan novel (baru) dan CoV untuk corona virus. Pada tanggal 8 Januari 2020, struktur virus tersebut dikirim ke WHO. Urutan genom virus korona kemudian diumumkan kepada masyarakat secara daring pada 10 Januari dan urutan genomnya di beri nama Wuhan-Hu-1 dengan nomor MN908947 pada data bank gen. 


Nah dengan laporan dari china itu team ahli kita bisa melakukan investigasi dan hasilnya diberikan kepada presiden. Itu jadi dasar dokumen negara dalam melasanakan amanah UU. Selanjutnya kalau ada pendapat lain tentang apa itu covid ya jangan lagi didengar. Bila perlu tangkap orang itu berdasarkan UU tentang wabah. Tetapi sepertinya pemerintah tidak mengacu kepada UU saat mengumumkan pandemi covid itu. Makanya penanggulangannya pun tidak menggunakan UU No. 4/1984 tentang wabah. Yang dilakukan pemerintah adalah kebijakan PSBB sebagai response tekanan dari WHO. Jadi benar benar sudah politik. 


Apa dampaknya ? Ya karena dasar UU tidak ada maka wajar saja kebijakan juga tidak bisa tegas dilapangan. Dasar hukum menindak orang melanggar aturan penanggulangan wabah lemah secara hukum. Namun karena kebijakan skala  nasional tetap juga dikeluarkan, ya anggaran tersedot ke sistem desentralisasi semacam PSBB. Uang habis hasil tidak jelas. Pertanggungan jawab juga engga jelas. Karana sudah diproteksi oleh Perpu 1/2020. 


Kebijakan PPKM bukanlah kebijakan mendasar memerangi covid. Itu hanya merespons RS overload saja. Sama saja dengan PSBB. Jadi orang dilokalisir  agar beban RS berkurang, yang sakit bisa tertolong. Tapi What next ? Tetap saja harus efektifkan vaksin. Hanya vaksin satu satunya solusi. Dan kemudian dibarengi dengan penyuluhan ( pengetahuan tentang covid ) kepada masyarakat. Semua berita yang menakutkan tentang covid harus dihentikan. Kewaspadaan itu bukan dengan berita menakutkan tapi lewat pengetahuan. Pengetahuan itulah yang akan jadi senjata orang melawan predator termasuk covid.  Semoga Tuhan melindungi kita semua.


***




“ Kalian tidak bisa dagang. Ini PPKM darurat. Hayo bubar.” Kata petugas kepada pedagang kaki lima dengan ramah.


“ Ya pak. Tetapi kami perlu makan. Kalau tidak dagang darimana kami dapat makan?


“ Ya tapi aturan PPKM dilarang berdagang. Tutuplah daganganya” Petugas ramah.


“ Terus gimana kami makan ? 


“ Tahu engga aturan PPKM? Dilarang dagang.”


“ Tahu pak. Tapi gimana kami makan? 


Petugas mulai emosi. Wajar. Dia berbicara dengan bahasa sederhana dan dia sedang bertugas. Tetapi ada rakyat yang tidak paham tugasnya dan tak mau mematuhi aturan. Kalau dia tidak bisa melaksanakan tugasnya, dia akan bermasalah dengan atasanya. Karirnya akan bermasalah.Ini juga soal perut. Lain cerita ada Polsek melarang orang berdagang. Dia larang tapi pada waktu bersamaan dia jadi solution provider. “ Berapa keuntungan sehari berdagang? 


“ Rp. 200.000.” Kata pedagang.


“ ini saya kasih uang Rp. 200.000. Tetapi tutup ya dagangannya.” Kata Polsek itu. Pedagang tersenyum. Deal terjadi atas dasar win to win. Yang jadi masalah adalah Polsek itu berkorban karena empati dia. Sadar tugas yang diembannya adalah paradox terhadap keadilan. Yang seperti Kapolsek itu tidak banyak. Mungkin 1 dari 1000 petugas di lapangan.


Bahasa yang disampaikan Jokowi kepada petugas PPKM. “ Tegas, tapi jangan keras dan kasar “. Itu menyiratkan PPKM tidak akan efektif sebagai sebuah kebijakan publik. Kalau dipaksakan pasti bermasalah. Mengapa ? PPKM yang menurut Muhadjir Effendy adalah darurat militer dalam  penanganan pandemi,  jelas tidak mungkin bisa diterapkan saran jokowi : “ Tegas tapi tidak keras. “ Artinya kalau mau PPKM berhasil sesuai  target mengurangi penyebaran virus, ya harus keras dan engga tegaan. Tak perlu penduli korban emosi dan kehilangan pendapatan bagi orang miskin. Kalau engga, ya bubarkan saja PPKM daripada habisin ongkos.


Pak LBP melihat PPKM itu dari kaca mata militer. Jenderal berprinsip memenangkan perperangan lebih penting daripada petempuran. Artinya korban itu biasa. Toh cara meminimalkan korban sudah ada program Bansos. Yang jadi masalah, lindung pasukan dalam militer untuk meminimal korban, itu tidak bisa diterapkan dalam kebijakan publik. Perang yang dihadapi adalah perang mental, bukan perang phisik.  Bansos itu sama saja merendahkan nilai nilai kemanusiaan. Tidak ada orang lahir mau tangan dibawah. Orang butuh  negera karena orang butuh keadilan sosial. Keadilan proporsional. Camkan itu.


Sudah saatnya politik damai dan manusiawi ditempuh. Kalau ingin juga dilanjutkan PPKM,  silahkan. Tetapi jangan bersifat darurat sehingga menghalangi mobilitas orang. Utamakan pendekatan politik kepada patron yang masih didengar oleh rakyat. Siapa itu? Tokoh agama. Jangan gunakan politisi atau pemerintah untuk mendekati tokoh agama. Harus diakui bahwa LBP itu bad news bagi oposan. Terutama islam. Jadi siapa ? gunakan tangan TNI. Mengapa ?


Karena satu satunya yang masih dipercaya dan didengar umat islam adalah TNI. Tunjuk ketua PPKM nya KASAD. Saya yakin komunikasi TNI secara kelembagaan dengan tokoh agama akan bisa menciptakan atmosfir positif dalam perang menghadapi pandemi ini. Ekses negatif akan bisa dieliminit. Inteligen TNI bisa dengan cepat menghabisi mafia yang dapat keuntungan dari  Pandemi ini. Semangat kebersamaan dalam menjaga prokes akan terbentuk. Itu jadi kekuatan moral kita memenangkan perang melawan covid-19 ini

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.