Di bawah hukum kolonial Belanda, orang Tionghoa termasuk juga Arab dan India dikategorikan sebagai golongan ‘Timur Asing’ (Vreemde Oosterlingen). Mereka dipisahkan dengan golongan Eropa yang menempati posisi teratas dan bumiputera yang dikelompokkan pada strata terbawah. Pengkategorian ras tersebut berperan dalam menciptakan sekat-sekat di antara kelompok etnis di Indonesia.
Paska Proklamasi Kemerdekaan. Revolusi meletus. Perang kelas terjadi begitu saja. Banyak laskar atau milisi atas nama rakyat memanfaatkan balas dendam kepada etnis Tionghoa, yang dianggap kelas menengah dan anak emas Belanda. Peristiwa kekerasan acap mewarnai perjuangan di berbagai tempat, terutama di Jawa dan Sumatra. Penculikan, penghilangan paksa, penembakan, perampokan, hingga pembunuhan terjadi hampir setiap harinya.
Yang tragis adalah peritiwa pembantaian Etnis Tionghoa di Tangerang. Menurut laporan Star Weekly, 16 Juni 1946, sebanyak 40-50 perkampungan luluhlantak; 1.200 rumah rata dengan tanah; lebih dari 700 orang Tionghoa terbunuh, 200 korban di antaranya wanita dan anak-anak; 200 orang Tionghoa dinyatakan hilang; dan kerugian materi. Belum lagi ribuan pengungsi yang memutuskan meninggalkan Tangerang guna mencari tempat aman.
Setelah insiden Tangerang, meletus juga berbagai peristiwa anti-Tionghoa di Bagan Siapi-api, Palembang, Bekasi, Cilimus, Jember, Madiun, Malang, dan sebagainya. Genosida terhadap etnis Tionghoa terjadi meluas. Berbagai peristiwa yang terjadi di pengujung 1945 dan awal 1946 menimbulkan kecemasan di kalangan warga Tionghoa. Tidak adanya jaminan perlindungan keamanan pada masa revolusi yang serba kacau itu mendorong mereka mengambil langkah sendiri untuk melindungi diri.
Tsiang Chia Tung kemudian mengusulkan kepada pihak Republik agar orang Tionghoa diperkenankan untuk membentuk organisasi pertahanan sendiri. Melalui Radio-Batavia, Tsiang menginformasikan kepada presiden Soekarno dan perdana menteri Amir Sjarifuddin mengenai rencana pembentukan Pao An Tui (PAT/Barisan Pertahanan Tionghoa) yang sepenuhnya akan dibiayai oleh penduduk Tionghoa. 28 Agustus 1947 PAT resmi berdiri. sesuai dengan Ordonansi No. 516 tanggal 12 September 1947. Kemunculan PAT membawa angin segar bagi masyarakat Tionghoa. Mereka berlomba-lomba memberikan bantuan seperti meja, peralatan masak, peralatan makan, ke barak militer PAT yang terletak di Mangga Besar 47, Jakarta.
Pada agresi militer Belanda tahun 1947, Simon Hendrik Spoor, panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia, melihat kemunculan PAT sebagai sinyalemen positif. Belanda pengaruhi pihak oportunis yang ada di PAT. Bahwa Republik Indonesia pasti gagal. Kekuasaan akan kembali ke Belanda. Bebarapa oportunis terpengaruh. Apalagi Belanda menyetujui untuk memberikan PAT seragam, senjata, dan pelatihan militer di Cimahi, Bandung.
Belanda juga memanfaatkan segelintir elite PAT untuk melaksanakan berbagai operasi militer. Namun pada waktu bersamaan Belanda memprovokasi agar rakyat marah kepada Etnis Tionghoa atas ulah PAT. Tujuan Belanda adalah terjadinya bentrokan horisontal antar etnis. Sehingga Indonesia lemah. Kelak pada akhirnya Tentara Republik marah kepada PAT, dan milisi juga marah. Itu karena politik adudomba Belanda. Sementara rakyat Indonesia dari etnis Tionghoa tidak tahu menahu politik kebaradaan PAT yang digagas elit politik Tionghoa yang disponsori para saudagar kaya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.