Ketika saya lahir, Papa saya memberi nama saya Muhammad Yamin. Karena dia terinspirasi dengan tokoh Muhammad Yamin. Namun nenek dari ibu saya menolak. Karena nenek saya pendukung Masyumi. Sementara Muhammad Yamin berseteru dengan Masyumi. Tapi nenek saya terinspirasi dengan Kakek dari papa saya. Dia pedagang besar yang sukses namun rendah hati dan senang berbagi dengan hartanya. Kakek saya juga donatur gerakan Muhamamadiah yang berafiliasi dengan Masyumi. Nama saya diubah jadi Soleh seperti nama kakek saya. Ketika saya masuk sekolah TK, nenek saya mendaftarkan saya bernama Erizeli. Apa artinya? engga tahu. Yang jelas kelahiran saya menimbulkan harapan dari semua orang yang mencintai saya. Persepsi mereka berbeda terhadap bagaimana seharusnya masa depan saya.
Penduduk Sumatera Barat itu tidak banyak. Populasinya mungkin hanya sebanyak Kecamatan di Jawa. Namun sejarah mencatat bahwa dari komunitas kecil itulah lahir beberapa orang yang disebut bapak pendiri bangsa. Siapa saja itu. Muhammad Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Muhammad Yamin, Muhamamd Natsir, Hamka, Tan Malaka, HR Rasuna Said. Mereka semua adalah sahabat Soekarno semasa perjuangan merebut kemerdekaan dan paska kemerdekaan. Mungkin anda menganggap mereka semua satu aliran? tidak. Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, walau mereka sama-sama belajar Marxisme dan mendapat pendidikan Belanda namun mereka berbeda pandangan soal politik.
Secara adat, Tan mendapat kedudukan terhormat tapi miskin, sedangkan Hatta-Sjahrir dalam strata ekonomi adalah kelas menengah. Masa kanak Tan lebih banyak di desa belajar agama. Sedangkan Hatta dan Sjahrir besar di kota dan hidup di lingkungan keluarga pedagang kaya. Tan mendapat kesempatan belajar ke Belanda karena beasiswa, sementara Hatta dan Sjahrir atas biaya sendiri karena keluarga mereka mampu. HR, Rasuna Said juga anak saudagar kaya di Minang, namun karena dia wanita tidak punya kesempatan sekolah ke luar negeri. Namun Rasuna otodidak sejati dan besar dari geraka pembaharuan Islam. Agus Salim juga sama dengan Tan. Lahir dari keluarga miskin. Dia tida seberuntung Hatta, Sjarir dan Tan Malaka. Dia tidak sekolah ke Belanda walau RA Kartini mengorbankan beasiswa ke Belanda demi Agus Salim, namun ditolak oleh Agus Salim. Agus Salim belajar secara otodidak dan lebih banyak memahami Politik dari komunitas Syarikat Islam. Latar belakang itulah yang membuat mereka berbeda.
Hatta sangat menentang komunisme. Hatta menganjurkan koperasi dalam menegakkan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, Tan tidak menolak komunisme tapi menolak kerangka berpikir komunisme. Komunisme hanyalah metodelogi menjalankan revolusi. Makanya Tan percaya, jika digabung, Islamisme dan Komunisme, Indonesia akan digdaya. Namun baik Hatta maupun Tan Malaka punya pandangan sama soal bagaimana Indonesia merdeka. yaitu melalui revolusi Rakyat. Sjahrir ? Dia tidak sejalan dengan Hatta dan Tan soal itu. Sjahrir dan Rasuna Said percaya kemenangan hanya bisa dicapai lewat diplomasi. Dan itu perjuangan kaum terpelajar.
Tetapi Soekarno percaya kepada Sjahrir dan Rasuna Said. Perselisihan antara Tan Malaka VS Sjahrir makin meruncing ketika Sjahrir menjadi Perdana Menteri dan mengubah sistem politik dari presidensial menjadi parlementer. Praktis ia dan Amir Syarifuddin yang berkuasa. Karana itu Soedirman bergabung dengan Tan Malaka menentang kebijakan Sjahrir. Hatta menarik massa Islam Masyumi untuk mendongkel Sjahrir. Diantara konplik ini, Soekarno tetap berada ditengah. Walau karana itu Soedirman sempat kesal dengan Soekarno yang bersedia ditahan Belanda ketika class kedua dengan Belanda. Soekarno lebih mendengar saran Sjahrir daripada ikut Soedirman masuk hutan untuk bergerilya.
Dalam silang-sengkarut itu muncul putra Minang lain yaitu Muhammad Yamin. Yamin adalah diplomat ulung sebagaimana Sjahrir. Namun dia tidak begitu suka dengan Masyumi. Hatta walau dekat dengan Masyumi, bisa setuju dengan Yamin. Yamin gencar mengkritik secara terbuka politik diplomasi Sjahrir. Sikap frontal Yamin ini kian memanaskan situasi yang berakhir dengan mundurnya Sjahrir dari kursi perdana menteri pada 28 Februari 1946. Pada akhir medio 1950, muncul tiga dwitunggal yang punya jalan masing-masing menghadapi politik pecah belah Belanda: Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir, dan Soedirman-Tan Malaka. Ketiga Dwi tunggal ini semuanya ada putra minang.
Masing masing Ketiga Dwi Tunggal ini punya kekuatan bawah tanah. Soekarno -Hatta, kekuatan dominan dari golongan Islam. Soekarno dari NU dan Hatta dari Muhammadiah. Sjahrir- Amir Syarifudin didukung oleh kekuatan sosialis dan komunis, dengan motornya Aidit, yang ibunya berasal dari Minang ( Sumbar ). Tahun 1948, Amir Sjarifuddin dieksekusi mati karena pemberontakan PKI di Madiun. Dan kelak Aidit juga ditembak mati karena G30S PKI. Tan- Soedirman, didukung oleh TNI. Namun Tan dianggap sebagai duri dalam daging bagi Sjahrir, Soekarno dan Hatta. Karena Tan menolak politik diplomasi dengan Belanda.
Apakah selesai masalah ? Tidak. Soekarno tetap percaya kepada Sjahrir dengan memberinya mandat melanjutkan diplomasi. Keputusan ini membuat kubu Soedirman-Tan kembali meradang. Saking marahnya, tentara sempat menembaki mobil Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin yang akan masuk Istana Negara. Bahkan saling tangkap pun terjadi. Amir memerintahkan tentara menangkap Tan dan tokoh Persatuan lain. Soedirman membalasnya dengan memerintahkan pasukan Peta menangkap Sjahrir. Kedua kubu sama-sama membebaskan sandera ketika Soekarno turun tangan. Itulah kehebatan Seokarno. Yang tidak berpihak kepada konplik dan mengutamakan persatuan. Akhirnya Tan ditembak mati oleh Tentara. Entah siapa yang perintahkan. Sejarah masih kabur.
Sejarah indonesia mencatat bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia mencapai puncak legitimasi international berkat perjuangan diplomasi. Itu ide Sjarir. Namun itu tercapai berkat perlawanan rakyat semesta. Itu ide Tan Malaka, Hatta, dan Agoes Salim. Artinya perbedaan sikap itulah yang membuat mereka kuat mencapai tujuan. Mengapa ? Dalam sejarah walau Hatta, Tan, Sjahrir , Yamin berseteru karena perbedaan namun secara pribadi persahabatan mereka sangat hangat. Demi kepentingan nasional , mereka dengan mudah melepaskan sekat pribadi dan identitas, dan tak penting siapa berkorban atau dikorbankan. Mereka ikhlas.
Walau perbedaan terjadi diantara mereka. Namun mereka bisa berdamai dengan Pancasila. Sama halnya walau Papa saya inginkan saya menjadi nasionalis seperti Muhammad Yamin dan Nenek saya inginkan saya jadi Masyumi, namun akhirnya ketika saya masuk TK, justru nama saya Erizeli yang tidak ada identitas agama dan keluarga. Saya adalah produk masa depan. Sebuah kompromi yang indah.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.